Dalam kedamaian hati, lelaki bertubuh tegap itu sejenak terdiam. Ia sudah hampir sampai di dekat Ka’bah. Ia pandang dari kejauhan para penziarah Kabah datang dengan senyum kebahagiaan; kebahagiaan hendak berjumpa dengan rumah Tuhan. Ia menatap lempang bangunan Ka’bah dengan kerinduan yang tulus. Sering ia berkunjung ke Ka’bah, tetapi kunjungannya hari itu terasa lain bagi dirinya. Ia merasakan kehadirannya saat itu begitu sangat membahagiakannya. Wajahnya tengadah ke langit; mulutnya bergetar menahan haru karena rasa syukur dapat berjumpa dengan bulan yang sangat dicintai Allah, yaitu bulan haji.
Kini, ia telah tiba di tempat miqat, matanya terpaku memandang hening. Bulir air mata jatuh di pipinya karena menahan rasa haru; rasa bahagia menjadi tamu Allah. Inilah ziarah yang selalu dinantikannya, ziarah dengan bekal menggapai keridhaan-Nya. Ia rebahkan dirinya untuk bersujud; sujud syukur seorang hamba. Pada hatinya yang lembut, ia tetapkan niat untuk menanggalkan pakaian takabur, riya’, nifak, syubhat, dan segala bentuk kehinaan di sisi Allah dengan baju taat berbalut keikhlasan. Ketetapan niatnya untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada-Nya mengiringi lubuk hatinya; saat ia memulai mandi dan berihram untuk melaksanakan pekerjaan pertama pada hajinya. Ia pun tak lupa saat niat berihram untuk meneguhkan dirinya dengan membebaskan dalam benaknya segala yang diharamkan oleh Kekasihnya.
Dalam udara yang panas dan terik matahari yang menyapu bumi, sosok tubuh yang tegap itu gelisah dan cemas. Baru saja ia hendak melantunkan kalimat talbiyah, bibirnya yang kering tampak bergetar, lidahnya terbata kelu, dan wajahnya pucat pasi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena tak sanggup mengucapkan; Labbaik Allâhumma Labbaik. Yang teringat dalam pikirannya adalah bagaimana nasibnya jika Kekasihnya itu menyongsong seruannya dengan jawaban Lâ labbaik. Ia cemaskan dirinya, jika Tuhan menolak kehadirannya karena ia masih saja belum memurnikan jiwanya untuk menghadap kepada Sang Pemilik Rumah Allah.
Salat ihram yang ia kerjakan adalah awal yang berat yang dihadapinya pada pekerjaan hajinya. Seperti dalam salat-salatnya yang lain, kepucatan dan kegelisahan jiwanya ketika salat selalu menyertai dan hampir membuatnya kaku dan pingsan. Rasa takut dan cemas datang juga ketika ia hendak memulai salat sunat ihramnya. Pertemuannya dengan Tuhan menghempaskan dia pada pengakuan betapa rindunya ia pada kedekatan Tuhannya. Usai shalat tiada henti-hentinya ia bermunajat dan menangis. Berulang kali ia berdoa memastikan kecintaan dan tujuan hidupnya hanya untuk Allah semata. Perlahan ia beranjak dari sujudnya untuk mulai berangkat menuju Ka’bah.
Ka’bah berada tidak jauh dari hadapan-nya. Ia pandang keagungan rumah Tuhan dengan ketakjuban yang dalam. Ia diam terpaku. Pikiran-nya menerawang ke masa silam.Ia teringat pada datuknya, Muhammad saw. Tetes air mata tak henti-hentinya jatuh dari kelopak matanya yang sayu. Bibirnya terbata-bata mengatakan, “Duhai kakekku, betapa beratnya perjuanganmu untuk merebut dan membangun kembali rumah Tuhan ini. Deritamu adalah deritaku, lelahmu adalah lelahku. Salam bagimu, duhai kekasih Allah.”
Dalam putaran thawafnya, ia pastikan dalam hatinya bahwa ia sedang berjalan dan berlari menuju keridhaan Tuhannya yang Mahatahu dan Mahagaib. Hatinya yang bersih menyaksikan bahwa di atas langit Tuhan sana ada sekumpulan malaikat ikut serta berthawaf dengannya sambil melantunkan talbiyah mengelilingi Baitul Ma’mur.
Saat bergerak mendekati Hajar Aswad, kecemasan hatinya makin memuncak. Ia
merasakan tangannya berat untuk menyentuh batu hitam itu. Aliran darah dalam
tangannya mengalir deras menegangkan telapak tangannya yang putih; tangannya
seakan-akan berjabatan langsung dengan tangan Tuhan.
Lalu, ia berhenti dan berdiri di dekat makam Nabi Ibrahim, terbayang olehnya
perjuangan Ibrahim dalam menjalankan pesan Tuhan yang penuh dengan derita; dari
terpisahnya dengan ibu-bapaknya sampai harus dibakar hidup oleh musuhnya.
Ibrahim tetap sabar dan berpegang pada tali Tuhannya. Sejenak ia ucapkan salam
pada Ibrahim dan segera ia mengerjakan salat dua rakaat. Kekokohannya berdiri
di makam Ibrahim, ia tetapkan sebagai pengukuhan niat taatnya kepada Allah dan
pelepasannya dari pakaian kemaksiatan. Salatnya adalah pancaran hati yang
tunduk patuh mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan pengakuan penentangannya kepada
segala bisikan setan.
Perjalanan hajinya terhenti ketika ia melihat dari ujung Masjid Al-Haram para jamaah merapat menuju sumur Zam-zam; sumur cermin-an derita Ismail yang menantikan perjuangan ayah ibunya dalam mencari air untuk mengusap dahaganya. Sumur sejuk pancaran kasih sayang Tuhan kepada kekasihnya. Bayangan ini meng-antarkan Imam Ali Zainal Abidin pada keterpu-kauan akan kasih sayang Allah yang luas. Ketika ia mendekati tempat itu, ia tunjukkan pada dirinya pandangan mata yang teduh pada sumur Zam-zam; pandangan yang menggambarkan bentuk kepatuhannya kepada Allah dan pembebasan matanya pada segala tatapan maksiat.
Kini, Sa’i mengantarkan pada ingatannya sebagai bentuk pengorbanan dan kecintaan Ibrahim dan Hajar kepada anaknya serta kekhawatiran akan tidak tercapai maksud mereka. Karena itulah sambil berlari-lari kecil, ia lakukan Sa’i dengan tiada henti-hentinya berdoa mengharapkan rahmat Allah dan pengakuan takut akan azab Allah.
Perjalanan haji berikutnya mengantarkan ia pada suatu tempat yang disebut Mina. Di kota itu ia teguhkan hatinya untuk menjaga dengan sungguh-sungguh hati dan tangannya agar tetap membuat orang lain merasa aman dari segala perbuatannya.
Ketika wukuf di Arafah, ia benamkan dirinya dalam makrifat kepada Allah dengan untaian doa dan permohonan ampunan kepada Kekasihnya. Di tempat ini pun ia tak henti-hentinya menangis; mengakui dosa pada Kekasihnya. Bayangan terberatnya adalah akankah rasa panas di Arafah ini, ia alami kelak di Padang Mahsyar pada hadapan Tuhannya karena kehinaan ruhaninya. Persaksian rasa malu akan cinta kasih Tuhan pada dirinya menyeretkan dia pada sujud yang panjang di tanah putih itu.
Jabal Rahmah yang tinggi dan terjal, ia daki dengan ketulusan dan sabar. Pada ujung pendakiannya, tiada henti ia mengungkapkan dambaan akan rahmat Allah dan bimbingan-Nya bagi kaum muslim. Baginya tempat mulia itu adalah tempat yang menjadi saksi atas segala bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya.
Di Wadi Namira, ketetapan hatinya mengatakan bahwa ia tidak akan memerintahkan berbuat baik dan mencegah kejelekan kepada orang lain, sebelum dirinya mampu berbuat baik dan mencegah diri dari kemungkaran.
Usai melewati ‘Alamain, hati dan seluruh tubuhnya pun bersaksi dan sekaligus meneguhkan diri tidak akan bergeser selain dari agama Islam.
Ketika menuju Muzdalifah dan memungut batu di sana, ia masih saja menggoreskan dalam hatinya perasaan membuang jauh segala bentuk maksiat dan kejahilan terhadap Allah serta diiringi penegasan hati untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh-Nya.
Dan ketika melewati Mas’arul Haram, ia isyaratkan dalam hatinya agar dirinya bersyi’ar seperti orang-orang yang penuh dengan ketakwaan dan ketakutan pada Allah.
Pengakuan yang tulus akan kasih sayang Allah yang telah memenuhi hajat dan memudah-kan perjalanannya, ia lantunkan ketika menuju Mina untuk melempar Jumrah.
Pada lemparan Jumrahnya, dengan perasaan yakin, ia lempar Iblis dan berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi iblis dalam seluruh hidupnya.
Usai mencukur rambut, ia lanjutkan perjalanan menuju Masjid Khaif. Tidak henti-hentinya ia mencemaskan dirinya karena takut akan dosa dan ketakutannya hanya kepada Allah semata.
Saat memotong hewan kurban, ia sandarkan niat untuk memotong urat ketamakan dan memegang sikap wara’ yang sesungguhnya pada dirinya. Ia pun teringat pada Ismail yang dengan tulus menjalankan perintah Tuhan, dan kesabaran Ibrahim dalam mengemban titah Tuhan sebagai peristiwa yang harus diteladani. Air matanya mengalir deras membayangkan peristiwa suci itu semua.
Pada saat di Mekah, ketika Haji Ifadah, ia tetapkan niat berifadah dari pusat
rahmat Allah serta senantiasa kembali kepada kepatuhan, kecintaan, dan
mendekati diri kepada-Nya.
Di akhir hajinya, ia lanjutkan perjalanan suci itu menuju Madinah. Ketika merapat mendekati kota Madinah, Ia pandang bangunan kota Madinah dengan ingatan bahwa di sinilah kota tempat kakeknya tinggal. Di sinilah tempat tepian hijrah Muhammad dalam menyebarkan titah kekasih-Nya. Di sinilah pula tempat rebahnya jasad suci yang damai terbaring panjang di pelukan cinta Tuhan.
Ia bergumam: Ya Allah,inilah tempat suci tempat kediaman Rasul-Mu.Maka jadikanlah ia bagiku sebagai penangkal dari api neraka serta penyelamat dari azab dan hisab yang buruk.
Dalam perjalanannya menuju Masjid Nabawi, ia saksikan bahwa inilah jalan tempat datuknya melangkah dan di sinilah kekhusyuan cinta hamba mengumandang di malam-malamnya; di sinilah keringat lelah jatuh menebar harum menyejukkan bumi Madinah.
Sebentar lagi ia hampir tiba di pusara kakeknya, Muhammad saw. Kerinduan memuncak dalam dadanya. Matanya berkaca-kaca karena ia akan berjumpa dengan pusara kekasih Tuhan.
Begitu ia sampai di depan pusara Muhammad saw, air mata jatuh membasahi janggutnya. Ia tatap pusara datuknya sambil tak henti-hentinya bershalawat kepadanya. Dalam keguncangan hati, terbayang dalam pikirannya bahwa sudah begitu jauh dirinya meninggalkan sunnah datuknya. Rasa malu mengoyak hatinya. Harapannya adalah akankah Rasul Allah menjenguk dan menyapa dia di hadapan Tuhan nanti, ataukah ia berpaling dan menjauhi dirinya tanpa sapa dan salam. Celakalah sudah dirinya.
Dalam kesedihan dan kerinduannya yang panjang, ia berucap: “Salam bagimu, duhai kekasih Allah. Salam bagimu, duhai nabi Allah. Salam bagimu duhai pilihan Allah.. Salam untukmu, wahai yang paling utama di antara makhluk Allah.. Salam untukmu, wahai kecintaan Allah. Salam bagimu, wahai penghulu para utusan Allah. Salam untukmu, wahai utusan Tuhan semesta alam. Salam bagimu, duhai pemimpin para pembela kebenaran. Salam untukmu dan anggota keluargamu yang Allah telah menghapus dosa mereka dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Salam untukmu dan untuk para sahabatmu yang baik-baik, serta istri-istrimu wanita-wanita suci dan ibu-ibu bagi kaum mukmin.
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa engkau adalah hamba serta utusan-Nya; dan orang kepercayaan-Nya dan pilihan-Nya di antara makhluk-Nya. Dan aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah,dan senantiasa tulus ikhlas kepada ummah. Dan bahwa engkau telah berjihad di jalan Allah, dengan sebaik-baik jihad.
“Maka atas semuanya itu, semoga Allah bershalawat dan melimpahkan rahmat, kedamaian, kemuliaan, serta keagungan atas dirimu dan seluruh anggota keluargamu yang baik, untuk selama-lamanya....” (Percakapan Imam Ali Zainal Abidin as dengan Al-Syibli dalam Kitab Al-Hajj: Ibâdah wa Tarbiyah).
Banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka telah tertipu oleh sangkaan sendiri.
Betapa sering kita menyangka bahwa kita adalah orang yang terbaik di antara
kawan-kawan kita atau di antara lingkungan keluarga kita dalam hal amal ibadah
atau dalam hal lainnya. Padahal sangkaan kita itu sering menipu dan menjatuhkan
kita ke derajat yang terendah. Al-Quran meng-gambarkan sangkaan ini seperti
orang yang melihat fatamorgana di tengah padang pasir. Kita melihat fatamorgana
yang kita sangka sebuah oase. Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi:
103-104). *** (bersambung)