Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yang
menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat
Aisyah ra. “Kabarkan kepada kami apa
yang paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha. Siti
Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw
mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit
keduanya saling bersentuhan. “Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah
kepada Allah malam ini,” katanya. “Aku
senang dekat denganmu Rasulullah,” jawab Aisyah ra.
Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan
berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya.
Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam. Rasulullah saw
mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi
dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal
dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga
menangis. Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam
sampai Bilal ra datang untuk mengabarkannya azan subuh.
“Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal
Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra.
“Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak
melakukannya?” jawab Rasulullah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pengertian
syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini adalah
hakikat syukur yang disebutkan oleh al-Qusyairi. حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف
بنعمة المنعم على وجه الخضوع “Hakikat
syukur menurut ahli hakikat adalah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi
nikmat, dengan jalan ketundukan,” (Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul
Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 97).
Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yang
berbuat baik dengan menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba
kepada Allah adalah pujian kepada Allah dengan menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan
syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dengan menyebut kebaikan hamba-Nya.
Adapun kebaikan seorang hamba adalah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan
kebaikan Allah adalah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan
hidayah agar ia mau bersyukur. Syukur atas nikmat Allah diucapkan dengan mulut
dan disadari dengan hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dengan tiga
ekspresi, pengakuan dengan lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota
badan atas ibadah yang diperintahkan, dan syukur hati dengan musyahadah.
(Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 97-98).
Abu Ustman mengatakan, syukur adalah menyadari keterbatasan
kita untuk bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur karena bisa bersyukur
merupakan nikmat yang lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat karena kita
meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur.
Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya
pamannya di hadapan para jamaah: "Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat
kepada Allah dengan nikmat-Nya."
Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dengan
nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash
terkait pengertian dan pemahaman yang masuk ke dalam batin mereka.
Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat
bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat (batin)
tersendiri dari sisi-Mu.”
Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari.
Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan
mengambil barang berharganya. “Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau
pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata
At-Tustari. Wallahu a’lam. *** (Ustadz Alhafiz Kurniawan)
Sumber https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/syukur-dalam-kajian-para-sufi-c5i1A