Orang yang Menyangka dirinya ‘Alim
Salah satu tanda yang tertipu oleh sangkaan sendiri adalah orang yang menyangka atau merasa dirinya alim (pandai), padahal sesungguhnya dia adalah orang yang paling bodoh dan jahil. Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang berkata: Aku ini 'alim, maka sebenarnya dia itu bodoh.” (Bihârul Anwâr 2: 110).
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Musa as pernah diperintahkan Allah swt untuk belajar kepada Nabi Khidir as. Suatu saat, Musa as pernah berpidato di hadapan Bani Israil. Seseorang bertanya kepada beliau, ”Ayyun nâsi a’lamu? Siapakah orang yang paling pandai?" Musa menjawab, ”Ana a’lamu. Akulah yang paling pandai.” Karena jawabannya itu, Allah SWT menegur Nabi Musa as, ”Ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang lebih berilmu daripadamu. Sekarang dia berada di antara pertemuan dua laut.” Lalu terjadilah kisah Nabi Musa berguru kepada Khidir seperti yang diabadikan dalam Al-Quran.
Seorang sufi besar dari Mesir, Ibnu ‘Athaillah, mengatakan dalam kitabnya Al-Hikam, ”Seorang mukmin jika dipuji, maka ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ada pada dirinya.” (Al-Hikam, hikmah ke-143/154).
Sangkaan-sangkaan yang baik tentang diri kita seringkali menipu dan menjerumuskan kita kepada kecongkakkan yang tiada kita sadari. Betapa seringnya kita menyangka bahwa kita telah banyak bersedekah, salat tahajud, atau kita menyangka bahwa kita telah tawadhu atau termasuk orang-orang yang rendah hati. Banyak lagi sangkaan-sangkaan baik menipu diri kita sendiri, padahal tanpa kita sadari kita sudah menjadi orang yang tercela. Na’udzubillâh.
Hal ini semua disebabkan kita tidak mengembalikan segala kebaikan yang kita peroleh itu kepada Sang Pemberi karunia; yaitu Allah SWT.
Al-Quran berkisah tentang Qarun, seorang hartawan yang sukses pada masa Nabi Musa as. Qarun berkata, ”Sesungguhnya aku hanya diberi harta karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78). Tidak lama setelah itu sangkaan dan kesombongan Qarun menyebab-kan dia terbenam dan terhimpit bumi selama-lamanya. Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. (QS. Al-Qashash: 81).
Sebaliknya Al-Quran juga menceritakan Nabi Sulaiman as, yang tak ada seorang pun yang bisa menyamai kekayaannya. Al-Quran menyebutkan: Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana (Ratu Bilqis) itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Hâdza min fadhli rabbi. Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya “ (QS. Al-Naml: 40).
Orang yang menyangka dirinya Tawadhu
Orang seringkali tertipu dengan amal-amal ibadahnya sendiri; karena sangkaannya sendiri. Seperti orang yang menyangka (baca: merasa) dirinya sudah bersikap tawadhu kepada manusia lainnya. Padahal perasaan dan sangka-annya itu telah berubah menjadi ‘ujub yang sangat samar. Dalam hal ini pun Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Barangsiapa yang merasa rendah hati (tawadhu), berarti ia benar-benar sombong. Sebab tidak mungkin seseorang itu merasa tawadhu kecuali ia merasa besar atau tinggi.
Karena itu jika kalian menetapkan bahwa dirimu itu benar, maka kalian benar-benar sombong. Apabila kalian menetapkan diri bertawadhu padahal dirimu seorang besar dan tinggi, maka itu berarti dirimu benar-benar telah menjadi orang yang mutakabbir. Orang yang tawadhu bukanlah orang yang ketika bertawadhu merasa bahwa dirinya telah merendahkan diri. Tetapi seorang yang tawadhu adalah orang yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan itu.” (Al-Hikam, hikmah 238-239).
Dikisahkan dalam kitab Durud-i-Qasimi, Imam Ali kw menerima seorang berandal yang telah bertaubat untuk menjadi muridnya. Belum lama murid itu belajar, Imam Ali berkata kepada murid-muridnya yang lain, ”Orang ini akan menjadi manusia suci sesudah ia meninggalkan tempat ini, dan kekuatannya tidak akan ada yang menandingi.”
Imam Ali lalu meletakkan tangan kanannya di atas kepala murid barunya itu. Murid yang lain saling bertanya di antara mereka sendiri; mengapa mereka tidak mendapat restu seperti murid baru itu sehingga dalam sesaat mereka juga dapat memperoleh barakah dari sang Imam.
Imam Ali mengetahui kegelisahan murid-muridnya. Beliau berkata, "Orang ini memiliki kerendahan hati dan karenanya aku dapat mengalirkan barakah ke dalam dirinya. Kegagalan kalian untuk berendah hati telah mempersulit kalian untuk menerima barakah, karena kalian menutup diri kalian. Jika kalian menghendaki bukti akan keangkuhan kalian, dengarkanlah apa yang akan kusampaikan ini: orang yang rendah hati ini menganggap dirinya tidak dapat belajar tanpa jerih payah yang berat dan waktu yang lama. Akibatnya ia dapat dengan mudah dan cepat belajar. Orang yang angkuh menganggap dirinya sudah layak menerima barakah, padahal dirinya mungkin belum pantas untuk menerimanya. Memang menyedihkan menjadi manusia yang belum layak menerima barakah. Namun yang lebih menyedihkan lagi adalah manusia yang merasa bahwa ia adalah manusia yang rendah hati dan tulus, padahal kenyataannya tidak demikian. Tetapi yang paling menyedihkan dari semua itu adalah manusia yang tidak memikirkan sesuatu hal pun sampai-sampai apabila ia melihat orang lain, ia merasa dirinya jauh lebih unggul sehingga perbuatannya tidak terkendalikan lagi.” (Idries Shah, The Thinkers of The East). *** (tamat)
Artikel berjudul "Ridha Ilahi" bagian 1, 2, dan 3 merupakan karya KH Jalaluddin Rakhmat