Di dalam kitab Matsnawi karya Maulana Jalaludin Rumi (1207-1273 M) dituturkan bahawa ada seseorang yang sangat dahaga dilecut oleh keinginan yang kuat untuk mendapatkan air. Orang itu berdiri di sebuah tembok yang tinggi. Di bawahnya sana ada sebuah sungai dengan air yang sangat jernih mengalir. Air itu berkecipak-kecipak, semakin mengukuhkan dahaga orang itu.
Orang yang dahaga itu adalah simbol bagi seorang salik atau bagi siapa pun yang sedang menempuh perjalanan rohani menuju kepada Allah Ta'ala. Tembok yang sangat tinggi itu tak lain merupakan lambang bagi segala hijab yang menjadi penghalang antara si salik dengan hadiratNya. Dan air yang jernih di sungai itu adalah isyarat yang mengacu kepada hakikat.
Siapa pun aku, siapa pun engkau, siapa pun dia, siapa pun mereka, siapa pun kita, siapa pun kami, seharusnya menjadi para salik yang dirundung dahaga sebagaimana yang telah mendera dia yang berada di atas tembok itu. Dengan dahaga yang sangat mencekam itu siapa pun akan melakukan pencarian atau perjalanan agar sampai pada genangan air yang sangat jernih dan senantiasa berkecipak-kecipak itu.
Semakin kuat rasa dahaga itu mencengkram kita, maka dapat dipastikan bahwa perjalanan rohani kita akan menjadi lebih semangat. Dengan demikian, betapa pentingnya memantik bara rohani itu untuk kemudian menumbuh-kembangkan dan merawatnya secara seksama. Tanpa adanya bara rohani itu, perjalanan seseorang berarti telah padam dan ambruk di tengah jalan. Begitu malang, begitu menderita.
Tembok penghalang yang menjulang itu tidak lain adalah bayang-bayang dari segala hasrat yang tertuju kepada apa atau siapa pun yang selain Allah Ta'ala. Jadi, betapa gamblangnya bahwa apa yang disebut sebagai hijab itu sebenarnya merupakan hasil produksi manusia sendiri yang bahan-bahannya memang disediakan oleh hadiratNya jua.
Walaupun tembok itu menjadi penghalang yang serasa dinding penjara, bukan tidak mungkin itu bisa dilemahkan atau bahkan malah diambrukkan sekaligus. Dan seandainya hal itu masih belum dimungkinkan, si salik masih bisa menghibur dirinya dengan melemparkan sekepal tembikar kering ke atas air itu. Bunyi air lantaran lemparan itu sudah cukup menghibur dia yang sedang disandra oleh dahaga.
Bagi sufi agung kelahiran kota Rum itu, setidaknya ada dua faidah dari mendengarkan bunyi air yang merupakan respon terhadap lemparan sekeping tembikar itu. Pertama, bagi siapa pun yang didera dahaga, hal itu serupa bunyi musik yang begitu indah dan sangat menghibur. Atau seperti suara terompet Israfil yang menjadikan orang-orang mati menggeliat menjadi hidup. Artinya adalah bahwa ada energi hidup yang muncul di situ.
Kedua, satu batu-bata saja yang lepas dari tembok itu bisa dipastikan merupakan suatu indikasi bahwa sebuah pengharapan semakin mempertegas jalannya untuk sampai kepada apa yang diinginkan oleh sang salik itu. Ada energi hidup yang bangkit lantaran suara air itu dan hal tersebut identik dengan semakin menipisnya tembok penghalang yang memisahkan sang salik dengan hakikat yang merupakan tajalli dari hadiratNya.
Dan seberapa pun tebalnya hijab itu, kita mesti mengikisnya sedikit demi sedikit dari sekarang. Semoga sebelum usia kita habis, hijab itu sudah sepenuhnya amblas dan sirna. Amin. Wallahu a'lamu bish-shawab. ***