Kaum Muslimin Syiah meyakini bahwa pemandu agama (Nabi) diangkat oleh Tuhan, maka begitu pula Imam. Nabi Muhammad saw dan beberapa nabi lainnya adalah pemandu sekaligus pemimpin. Namun berakhirnya kenabian tidak berarti berakhirnya kepemimpinan Ilahiah. Nabi dan Imam adalah dua hal yang berbeda dan dua kondisi yang berbeda. Nabi Ibrahim as dan Muhammad saw adalah Nabi sekaligus Imam. Al-Quran mengatakan: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia” (QS al-Baqarah: 124); dan “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah Allah)” (QS al-Maidah: 99). Pokok masalah pembahasan kita sekarang adalah "imamah".
Bagi kaum Syiah, Imamah sangat penting dan sebagai prinsip (pokok) agama atau dasar-dasar agama Islam yang mesti diyakini. Imamah bermakna
pelanjut setelah Nabi yang memberikan bimbingan kepada umat Islam, yang
sosoknya disebut Imam. Bisa juga disebut yang memiliki wewenang dalam urusan agama Islam (otoritas) setelah Rasulullah Muhammad Saw. Al-Quran mengatakan, “Kami tunjuk mereka sebagai Imam
yang memberikan panduan dengan izin Kami (QS al-Anbiya: 73).
Kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa masyarakat (umat Islam) membutuhkan pemimpin dan panglima tertinggi setelah Nabi Muhammad saw. Di sinilah timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya, Imam Ali yang memegang kendali urusan kaum Muslimin. Kaum Sunni menyatakan Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai penerusnya, dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum Syiah meyakini Nabi Muhammad saw menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya sekaligus otoritas keagamaan. Kaum Syiah percaya bahwa para imam maksum (terjaga dari dosa) dan berperan menjelaskan agama secara terperinci. Yang membedakan Imam dengan Nabi adalah Nabi menerima wahyu langsung dari Allah dan Imam menerima ilmu yang didapatkan dari Nabi.
Mazhab Syiah meyakini bahwa Ali
bin Abi Thalib merupakan Imam setelah wafat Rasulullah saw yang telah
ditetapkan di Ghadir Khum sebagai mawla yang perlu diikuti umat Islam.
Tentu dalam urusan pelanjut ini Rasulullah saw memilih sosok manusia dari
sahabat dan dari keluarganya sendiri, yaitu Ali bin Abi Thalib. Terkait dengan
Ali, ada hadis yang populer, “Aku kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya”
(Al-Hakim, Mustadrak al-Shahihain, 3: 126); “Yang paling penyayang di antara
umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam agamanya adalah Umar, yang
paling malu adalah Utsman, dan yang paling paham agama di antara mereka adalah
Ali bin Abi Thalib” (Sunan Ibnu Majah 125, 155, yang disahihkan oleh Albani
dan Ibnu Baz mentakhrijnya dalam Hasyiyah Bulugh al-Maram, 564). Dalam riwayat
Bukhari dari
Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, “… Ali adalah yang paling paham
agama di antara kami.”
Secara historis keunggulan Ali lebih tampak saat
Rasulullah saw hidup. Misalnya dalam Perang Khandaq, Ali menjadi pahlawan
karena bersedia dan berhasil mengalahkan Amru bin Abduwud dari pihak musuh. Dalam
perang Khaibar, Rasulullah saw mengutus orang-orang untuk bertarung dan
berperang, tetapi menderita kekalahan dan tidak berhasil menaklukkan benteng Khaibar. Kemudian Ali ditugaskan untuk memimpin perang melawan
Yahudi sehingga kaum Yahudi Khaibar mengalami kekalahan. Ali pula yang diutus oleh Nabi ketika membacakan
surah At-Taubah dalam prosesi ibadah haji di Makkah. Ali dipercaya
oleh Nabi untuk menyelesaikan persoalan di Yaman dan ditetapkan untuk menjadi
wakil di Madinah oleh Rasulullah saw saat pergi ke Tabuk untuk berperang.
Bahkan saat peristiwa malam hijrah, Ali yang mengganti posisi tidur Rasulullah
saw sehingga menjadi sasaran dari penyiksaan kaum Quraisy Makkah.[1]
Dalam peristiwa
Perang Khaibar, Nabi Muhammad saw bersabda, “Sungguh aku akan serahkan panji perang
esok hari kepada seseorang yang karrar (senantiasa mengejar dan menerjang) bukan farrar (kabur).”[2] Sejarah membuktikan bahwa orang yang mendapatkan
panji perang itu Ali bin Abi Thalib. Dalam Perang Khandaq, Nabi Muhammad saw meminta salah seorang dari sahabat
untuk tampil melawan Amr bin Abduwud. Namun, hanya Ali yang menyanggupinya. Nabi
Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya telah berperang Islam seluruhnya dan
kekufuran seluruhnya.”[3] Tentu yang
teramat penting berkenaan dengan Ali adalah posisinya sebagai mawla
ditegaskan dalam Ghadir Khum sehingga menjadi jelas keberadaannya sebagai Imam
setelah wafat Rasulullah saw. ***
[1] Banyak buku sirah Nabawiyah yang menyebutkan peran dan kontribusi Ali
dalam sejarah Islam periode awal. Silakan baca buku-buku karya Jafar Subhani,
Ira M. Lapidus, Muhammad Husein Haekal, Shafiyyurahman Al-Mubarakfurry, atau
Sirah Ibnu Hisyam. Bahkan seorang ulama
bernama H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini menulis buku secara khusus tentang
Ali bin Abi Thalib ra dengan menguraikan keunggulan dan keistimewaan Ali bin
Thalib dibandingkan sahabat lainnya.
[2] Jafar
Subhani, Furugh Abadiyat, halaman 647 dan Sirah Halabi, jilid 3, halaman 41.
[3] Jafar
Subhani, Furugh Abadiyat, halaman 647 dan Sirah Halabi, jilid 3, halaman 41.