27/06/22

Imamah: Otoritas Agama Islam Setelah Nabi Muhammad Saw

Kaum Muslimin Syiah meyakini bahwa pemandu agama (Nabi) diangkat oleh Tuhan, maka begitu pula Imam. Nabi Muhammad saw dan beberapa nabi lainnya adalah pemandu sekaligus pemimpin. Namun berakhirnya kenabian tidak berarti berakhirnya kepemimpinan Ilahiah. Nabi dan Imam adalah dua hal yang berbeda dan dua kondisi yang berbeda. Nabi Ibrahim as dan Muhammad saw adalah Nabi sekaligus Imam. Al-Quran mengatakan: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia” (QS al-Baqarah: 124); dan “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah Allah)” (QS al-Maidah: 99). Pokok masalah pembahasan kita sekarang adalah "imamah". 

Bagi kaum Syiah, Imamah sangat penting dan sebagai prinsip (pokok) agama atau dasar-dasar agama Islam yang mesti diyakini. Imamah bermakna pelanjut setelah Nabi yang memberikan bimbingan kepada umat Islam, yang sosoknya disebut Imam. Bisa juga disebut yang memiliki wewenang dalam urusan agama Islam (otoritas) setelah Rasulullah Muhammad Saw. Al-Quran mengatakan, “Kami tunjuk mereka sebagai Imam yang memberikan panduan dengan izin Kami (QS al-Anbiya: 73).

Kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa masyarakat (umat Islam) membutuhkan pemimpin dan panglima tertinggi setelah Nabi Muhammad saw. Di sinilah timbul masalah khilafah. Kaum Syiah mengatakan bahwa Nabi sendiri telah menunjuk penerusnya dan mengumumkan bahwa sepeninggal dirinya, Imam Ali yang memegang kendali urusan kaum Muslimin. Kaum Sunni menyatakan Nabi tidak menunjuk siapa pun sebagai penerusnya, dan tugas kaum Muslim sendiri untuk memilih pemimpin. Kaum Syiah meyakini Nabi Muhammad saw menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya sekaligus otoritas keagamaan. Kaum Syiah percaya bahwa para imam maksum (terjaga dari dosa) dan berperan menjelaskan agama secara terperinci. Yang membedakan Imam dengan Nabi adalah Nabi menerima wahyu langsung dari Allah dan Imam menerima ilmu yang didapatkan dari Nabi.

Mazhab Syiah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan Imam setelah wafat Rasulullah saw yang telah ditetapkan di Ghadir Khum sebagai mawla yang perlu diikuti umat Islam. Tentu dalam urusan pelanjut ini Rasulullah saw memilih sosok manusia dari sahabat dan dari keluarganya sendiri, yaitu Ali bin Abi Thalib. Terkait dengan Ali, ada hadis yang populer, “Aku kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya” (Al-Hakim, Mustadrak al-Shahihain, 3: 126); “Yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar, yang paling keras dalam agamanya adalah Umar, yang paling malu adalah Utsman, dan yang paling paham agama di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib” (Sunan Ibnu Majah 125, 155, yang disahihkan oleh Albani dan Ibnu Baz mentakhrijnya dalam Hasyiyah Bulugh al-Maram, 564). Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, “… Ali adalah yang paling paham agama di antara kami.”

Secara historis keunggulan Ali lebih tampak saat Rasulullah saw hidup. Misalnya dalam Perang Khandaq, Ali menjadi pahlawan karena bersedia dan berhasil mengalahkan Amru bin Abduwud dari pihak musuh. Dalam perang Khaibar, Rasulullah saw mengutus orang-orang untuk bertarung dan berperang, tetapi menderita kekalahan dan tidak berhasil menaklukkan benteng Khaibar. Kemudian Ali ditugaskan untuk memimpin perang melawan Yahudi sehingga kaum Yahudi Khaibar mengalami kekalahan. Ali pula yang diutus oleh Nabi ketika membacakan surah At-Taubah dalam prosesi ibadah haji di Makkah. Ali dipercaya oleh Nabi untuk menyelesaikan persoalan di Yaman dan ditetapkan untuk menjadi wakil di Madinah oleh Rasulullah saw saat pergi ke Tabuk untuk berperang. Bahkan saat peristiwa malam hijrah, Ali yang mengganti posisi tidur Rasulullah saw sehingga menjadi sasaran dari penyiksaan kaum Quraisy Makkah.[1]

Dalam peristiwa Perang Khaibar, Nabi Muhammad saw bersabda, Sungguh aku akan serahkan panji perang esok hari kepada seseorang yang karrar (senantiasa mengejar dan menerjang) bukan farrar (kabur).”[2] Sejarah membuktikan bahwa orang yang mendapatkan panji perang itu Ali bin Abi Thalib. Dalam Perang Khandaq, Nabi Muhammad saw meminta salah seorang dari sahabat untuk tampil melawan Amr bin Abduwud. Namun, hanya Ali yang menyanggupinya. Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya telah berperang Islam seluruhnya dan kekufuran seluruhnya.”[3] Tentu yang teramat penting berkenaan dengan Ali adalah posisinya sebagai mawla ditegaskan dalam Ghadir Khum sehingga menjadi jelas keberadaannya sebagai Imam setelah wafat Rasulullah saw. ***



[1] Banyak buku sirah Nabawiyah yang menyebutkan peran dan kontribusi Ali dalam sejarah Islam periode awal. Silakan baca buku-buku karya Jafar Subhani, Ira M. Lapidus, Muhammad Husein Haekal, Shafiyyurahman Al-Mubarakfurry, atau Sirah Ibnu Hisyam. Bahkan seorang ulama  bernama H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini menulis buku secara khusus tentang Ali bin Abi Thalib ra dengan menguraikan keunggulan dan keistimewaan Ali bin Thalib dibandingkan sahabat lainnya.

[2] Jafar Subhani, Furugh Abadiyat, halaman 647 dan Sirah Halabi, jilid 3, halaman 41.

[3] Jafar Subhani, Furugh Abadiyat, halaman 647 dan Sirah Halabi, jilid 3, halaman 41.