Allah SWT berfirman: "Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan" (QS 73:8). Ketekunan (al-tabatul) adalah keterputusan secara keseluruhan atau panggilan menuju Allah melalui keterpisahan dengan segala sesuatu. Tentang ini ada tiga manzilah.
Manzilah Pertama adalah Kelepasan
diri dari perhatian dan keterikatan dengan alam baik karena takut; karena
berharap atau kenangan peristiwa disebabkan harapan pada ridha; menundukkan
takut dengan penyerahan diri, dan meninggalkan perhatian melalui penyaksian
hakiki. Bahwa yang dimaksud adalah berusaha membersihkan hati dan pikiran dari
seluruh keadaan yang terkait dengan kehidupan duniawi. Baik harapan karena
dorongan keinginan atau rasa takut karena ancaman dan kekhawatiran akan
peristiwa yang akan terjadi atau juga peristiwa-peristiwa yang menggores hati
yang menimbulkan kesedihan, kebencian atau dendam atau juga sebaliknya dalam
upaya untuk menggapai keridhaan ilahi atas dirinya. Upaya ini melalui
penyerahan yang total dirinya atas ketetapan dan ketentuan Ilahi atas dirinya
bahwa ketetapan Allah SWT baginya adalah kebaikan sekali pun dianggap buruk
oleh manusia lainnya. Seperti halnya Nabi Yusuf as. ketika berkata: "Wahai
Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan
jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk
orang-orang yang bodoh" (QS 12:33).
Manzilah Kedua adalah melepaskan
diri serta memutus keinginan dari dorongan diri yang diliputi hawa nafsu,
mencium ruh kemesraan (al-uns), merasakan kilat mukasyafah.
Bahwa pada manzilah pertama melepaskan diri dari manusia; pada manzilah kedua
ini melepaskan diri dari nafs. Dorongan-dorongan yang muncul pada diri tidak
lagi diikuti, bahkan salik dianjurkan untuk melakukan tindakan yang berlawanan
dari dorongan nafsu tersebut. Hawa merupakan kehidupan bagi nafs, sekiranya
hawanya ditolak bagi nafs akan mati sehingga dengan demikian terbitlah cahaya
ruhani. Salik tidak bisa tidak pada tingkat ini menekan seluruh dorongan yang
muncul dari hawa nafsunya untuk membuka cahaya ruh ilahi masuk pada diiringan
sehingga muncullah rasa cinta dan kemesraan bersama dengan Allah. Tidak lagi
dihatinya ada tarikan dari alam yang rendah yang muncul justru sebaliknya
sebuah tarikan keras dari alam malakuti sebagai efek kedekatan dengan Tajalli
Ilahi. Ketika Tajalli tersingkap padanya maka kilat atau percikan penyaksian
ruhaniah tampil dihadapan kesadarannya untuk menariknya pada penyaksian hakiki.
Manzilah Ketiga adalah melepaskan dan memutuskan diri dari hal yang lalu dan terus menempuh perjalanan, tenggelam dalam tujuan untuk sampai, dan melihat pada kepermulaan maqom penyatuan (al-jam'). Yang dimaksud adalah meninggalkan segala tujuan sebelumnya untuk mencapai maqom sebelumnya dan kenikmatan berada pada maqom tersebut. Terus melakukan proses perjalanan ruhaniah tanpa akhir sebagaimana perintah Allah SWT: "Teruslah berjalan sebagaimana yang diperintahkan" (QS 6:41). Perjalanan dari Allah bersama Allah kepada Allah. Keadaan ini adalah keadaan keabadian setelah kesirnaan (al-Baqa ba'da al-Fana'). Tenggelam dalam tujuan untuk sampai bahwa dirinya tidak lagi memiliki ke sadaran akan diri dan usahanya akan tetapi tenggelam pada kesadaran al-Haqq dan Hanya Dia yang ada dan melakukan apa pun. Bahwa dirinya lebur dalam maqam Ahadiyah. Menyaksikan kepermulaan maqom penyatuan bahwa dirinya menyaksikan segala sesuatu sudah dengan mata-Nya. Sebagaimana hadis Qudsi: "Akulah yang menjadi pandangannya dan pendengarannya." Dalam kondisi ini salik berada adalah maqom keabadian (al-baqa) setelah sebelumnya lebur kepada-Nya. ***
Dr Kholid Al-Walid adalah
dosen filsafat STFI Sadra