Al-Quran menggunakan istilah hubuth yang umumnya dalam terjemahan Alquran sebagai “turun”.
ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ
Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah [2]:36)
Ada perbedaan antara nuzul dan hubuth walau memiliki kesamaan arti. Nuzul bermakna turun, namun realitasnya tetap ada juga pada asalnya seperti cahaya yang menyinari tetap ada pada sumbernya. Sedangkan hubuth berarti turun dan berpindah dari asalnya ke bawah. Seperti pesawat landing disebut sebagai hubuth.
Adam as dan Hawa turun dari realitas penciptaan dan alam kesucian ke alam material di muka bumi.
Tinggalnya manusia di bumi sebagai alam al-tazkhum, alam yang saling berhimpitan dan bergesekan ditambah dorongan hawa nafsu pada diri manusia akan menyebabkan permusuhan dan konflik terjadi.
Jadi, bukanlah sumpah Allah kepada Adam dan keturunannya menjadi saling bermusuhan satu dengan lainnya, tetapi karena dorongan nafsu manusia dan keterbatasan alam yang ditempati.
Berbeda halnya kehidupan yang tidak
dikendalikan oleh hawa nafsu maka tentu tidak akan terjadi permusuhan. Andai
seluruh Nabi, Rasul, Imam, dan Wali berada dalam satu tempat yang sama, maka
tidak akan terjadi konflik dan permusuhan karena mereka adalah manusia-manusia
yang telah terlepas dari pengaruh kerendahan hawa nafsunya. Setan sudah
tidak mampu menggoda mereka.
قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ
لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ
اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ
Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, karena Engkau telah menyesatkanku, sungguh aku akan menjadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka.” (Al-Ḥijr [15]:39-40)
Hakikat Adam as yang berasal dari alam ruhaniah menyebabkan di dalam fitrah dan hati Adam as dan keturunannya kerinduan untuk kembali ke kampung asalnya (alam ruhaniah). Keberadaanya di alam materi duniawi ini bersifat sementara, namun penuh kesulitan dan derita.
Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi Maknawi menggambarkan perpisahan itu:
Dengarkanlah lagu seruling bambu menyampaikan
kisah pilu perpisahan
Tuturnya, “Sejak daku tercerai dari indukku
rumpun bambu,
Ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.
Kuingin sebuah dada koyak disebabkan
perpisahan
Dengan itu dapat kupaparkan kepiluan cinta.
Setiap orang yang berada jauh dari tempat
asalnya
Akan rindu untuk kembali dan bersatu semula dengan asalnya."
*** (bersambung)