Kisah kejatuhan manusia ke bumi (the falling man), bukan sekadar kisah biasa seperti yang kita baca selama ini, tetapi banyak sekali interpretasi terhadapnya. Seyyed Hossein Nashr, filosof Perenialis, membicarakan peristiwa ini dengan detail bahwa 'keterjatuhan' itu adalah ketercerabutan manusia dari hakikat primordialismenya.
Hakikat primodial yang dimaksud Nashr adalah diri hakiki manusia yang bersifat ruhaniah dan dalam liputan hakikat Ilahiah. Bagi Nashr, manusia adalah makhluk ruhaniah yang paling dekat dengan Tuhan dan pada dirinya seluruh nama-nama Tuhan terjelma. Namun karena manusia kemudian terhijabi dengan tabir material membuatnya kemudian terlepas dari hakikat itu, ia berubah menjadi makhluk setengah dewa yang justru kemudian melawan penciptanya sendiri.
Dalam tingkatan primordial tidak ada hijab yang membatasi dirinya dan Allah SWT. Karena itu, di sana hanya ada penyaksian.
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ
مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ
اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Namun kesadaran manusia tertutupi kabut gelap materialisme, sehingga dari tingkatan ruhaniah yang tinggi terlempar pada kesadaran paling rendah yang sangat terbatas dan gelap. Karena itu, manusia hidup dalam kegelapan pesona materi. Tidak ada lagi sakralitas yang ada hanya untuk dan demi penguasaan materi.
Inilah pohon yang Allah sampaikan kepada Adam as untuk tak didekati karena akan menjadi hijab yang menggelapkan kesadaran dari cahaya Ilahi.
Kitab suci Al-Quran menggambarkan:
وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ
الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ
الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
Tentu surga yang dimaksud bukan surga yang akan ditempati manusia setelah Kiamat, karena surga yang akan datang bersifat kekal dan abadi. Sedangkan surganya Adam adalah surga penciptaan, sehingga tidaklah kekal maupun abadi.
Kemudian Allah SWT menyebutkan:
فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا
فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ
عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ
Menariknya pada ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata syaithan yang menggelicirkan Adam as bukan Iblis. Pada kitab Tafsir al-Amtsal, Syaikh Makarim Syirazi memberikan penjelasan yang menarik bahwa syaithan bukan makhluk secara khusus, tetapi sifat yang dapat meliputi manusia maupun selainnya.
"Dalam ibarat lain, syaithan adalah segala jenis keberadaan yang jahat, merusak, memberontak dan menimbulkan keacauan." Sedangan Iblis merupakan salah satu dari syaithan yang bekerja untuk menghancurkan Adam as. Sebagian ulama menafsirkan bahwa tarikan hawa nafsu yang merupakan syaitan pada diri Adam yang membuat dirinya keluar ke alam dzahir (bumi).
Jika kita telusuri lebih jauh, Adam as memang oleh Allah diperuntukkan untuk dunia ini. Surga merupakan tempat asal keberadaan manusia. Surga adalah kampung hakiki manusia, ke sana dia akan kembali. Allah SWT menguji nafsu yang ada pada diri Adam dengan melarangnya untuk mendekati pohon keabadian. Namun nafsu itu mendorongnya justru mendekati larangan yang menyebabkan Adam terjatuh dan tersingkap darinya pakaian kemurnian ruhaniah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ
الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا
لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَا ۗ
Keterjatuhan dari surga bukan hukuman atas dosa larangan, namun kelaziman karena Adam as memang khalifah di muka bumi yang dibekali oleh Allah dengan nafsu.
San'ani dalam syairnya: