23/06/22

Mimpi Bertemu Rasulullah saw

Pernah muncul pertanyaan mengenai mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw dalam pandangan Syiah. Tentu saja mazhab Syiah mengenal konsep ini. Dalam mazhab Syiah, ada yang meyakini bahwa kita bisa bertemu dengan Nabi Khidhir as secara langsung. Juga ada keyakinan bahwa siapa saja yang mimpi bertemu dengan Rasulullah saw pasti mimpinya itu benar karena setan tidak mungkin bisa menyerupai manusia sesuci Rasulullah saw.

Ayatullah Jawadi Amuli saat menafsirkan surah Al-Hijr ayat 40 dan 42, menyatakan bahwa ketika seorang hamba sampai pada tingkatan “dijaga kesuciannya” oleh Allah Swt, maka tidak ada makhluk yang bisa menguasainya. Termasuk menguasai di sini adalah menyerupainya untuk kemudian mendatangi orang lain dalam mimpi. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, harus dibedakan antara “orang yang bertemu dengan Nabi” dengan “orang yang mengaku-aku bertemu dengan dengan Nabi”. 

Mimpi bertemu Rasul adalah benar. Tapi tidak setiap orang yang menyatakan (mengaku atau mengklaim) bertemu dengan Nabi, maka pengakuannya itu benar. Kalau kita baca sejarah Islam, kita akan mendapati adanya pernyataan orang-orang tertentu yang mengaku bertemu Rasul dalam mimpi, dan Rasul membenarkan kata-kata orang itu (katakanlah si A). Akan tetapi, kita akan dibuat bingung ketika mendapati pengakuan lain dari orang lain yang juga menyatakan diri bermimpi dengan Rasul. Anehnya, dalam mimpi itu, Rasul mengecam kata-kata si A. Dari sisi ini, kita mengambil kesimpulan bahwa pastilah salah satu dari kedua orang itu ada yang berbohong. Atau bisa jadi, kedua-duanya berbohong.

Kedua, mimpi bertemu tersebut harus sampai pada tahap “yakin”. Terkadang, orang bermimpi yang biasa saja (bermimpi sesuatu yang lain). Tiba-tiba saja, mimpinya meloncat secara tiba-tiba, dan secara samar “mengira” melihat sosok Nabi. Mimpi seperti ini tidak sampai pada tahap yakin, sehingga tidak bisa disebut sebagai mimpi yang benar. Karena itu, kita tidak boleh terburu-buru mengklaim bermimpi benar bertemu Nabi, kalau mimpinya masih samar-samar.

Ketiga, mimpi bertemu Nabi sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum syar’i; sama sekali tidak bisa menjadi landasan legitimasi. Mimpi bertemu Nabi hanyalah untuk panduan akhlak bagi diri sendiri. Maksud kami, jika ada ada orang yang (mengaku) bermimpi bertemu dengan Nabi, lalu dalam mimpi itu dikatakan bahwa Nabi menyuruhnya menikahi seorang gadis “fulanah”, maka hal itu sama sekali tidak bisa menjadi dasar hukum yang menyebabkan di gadis fulanah itu harus menerima pernikahan orang yang bermimpi itu. Hal yang sama juga berlaku untuk jabatan. Jika seseorang mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi, dan Nabi dalam mimpi itu menunjuk si A menjadi presiden, itu tidak berarti bahwa orang yang tidak memilih si A sebagai presiden lalu dianggap berdosa. Kenapa demikian? Itu karena “mimpi” tidak pernah menjadi sumber hukum Islam. Sumber hukum Islam adalah Al-Quran, Sunnah (yang nyata, bukan mimpi), Ijma, dan akal.

Berdasarkan keterangan para ulama kami yang didasarkan kepada literatur-literatur yang terpercaya, isi dari mimpi bertemu dengan Nabi biasanya terkait dengan upaya penyucian jiwa seseorang. Misalnya, terkait amalan yang masih kurang. Terkadang juga dalam mimpi tersebut, Nabi Muhammad SAW berbicara mengenai takdir mu’allaq (tentatif) di masa depan. Tapi, itu hanya untuk memandu orang tersebut, terkait dengan apa yang harus dilakukannya menyongsong takdir tersebut. ***