22/06/22

Prinsip Keyakinan dalam agama Islam versi Mazhab Syiah

Sepuluh tahun setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, beliau memimpin kafilah jemaah haji. Itulah haji yang pertama, haji yang terakhir. Sepulang dari Makkah, jemaah haji berniat kembali ke daerah mereka masing-masing, tetapi Nabi Muhammad saw memberhentikan jemaah. Yang sudah jauh, dimintanya untuk kembali. Yang belum datang, beliau tunggu. Pada tanggal 18 Dzulhijjah itu, Nabi Muhammad saw meminta para sahabat membuat mimbar dari pelana kuda dan unta, kemudian naik ke atasnya bersama Ali bin Abi Thalib as. Setelah khutbah, Beliau saw bersabda, “Bukankah aku lebih kalian dahulukan dari siapa pun?” Para sahabat menjawab, “Benar ya Rasulallah.” Lalu terdengar Nabi bersabda, “Man kuntu mawlaahu fa hadza ‘Aliyyun mawlaahu. Barangsiapa menjadikan aku mawlanya, jadikan Ali mawla dia juga.”

Peristiwa 1400 tahun lalu itu telah mengubah wajah Islam setelahnya. Dunia kini mengenal dua mazhab besar dalam Islam: Sunni dan Syiah. Keduanya bersaudara. Keduanya dua sayap yang menerbangkan Islam bersama. Ada perbedaan kecil, tetapi mendasar di antara keduanya. Semua bermula dari peristiwa di Ghadir Khum sebagai hari wasiat Nabi. Tidak seorang pun Nabi diutus, kecuali ia meninggalkan seorang pengganti. Kata ‘Mawla’ dalam sabda Nabi itu diartikan ‘pemimpin’. Bagi Islam Syiah, inilah das Sollen.

Islam Sunni meyakini bahwa Nabi tidak meninggalkan pengganti. Siapa yang menjadi pelanjut, dipercayakan pada kemaslahatan umat. Inilah yang terjadi. Abu Bakar dipilih sebagai khalifah dalam sebuah musyarawah. Umar bin Khaththab setelahnya dengan penunjukan. Utsman bin Affan setelahnya dengan dewan formatur. Lalu Ali sebagai khalifah keempat dalam sebuah aklamasi. Inilah das Sein.

Kini, Islam Syiah dianut oleh sekitar 25% umat Islam di dunia. Di beberapa tempat, mereka mayoritas: Iran, Iraq, Azerbaijan, Libanon, Afghanistan, dan semisalnya. Di banyak tempat mereka minoritas, dan terkadang harus menghadapi hal-hal yang lazim dirasakan oleh kelompok minoritas.

Di antara yang membedakan kedua mazhab ini adalah pandangan mereka terhadap ketuhanan. Tuduhan yang kerap dilemparkan pada Islam Syiah adalah bahwa Rukun Iman mereka berbeda. Islam Sunni meyakini Rukun Iman itu ada enam: Percaya pada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Takdir. Islam Syiah meyakini hal yang sama. Hanya saja, ada sedikit perbedaan.  Ada bagian lain yang disebut sebagai ‘Pokok Agama’ (dasar-dasar agama), Ushul al-Din. Dan itu ada lima: Tauhid, ‘Adalah, Nubuwwah, Imamah, dan Ma’ad. Artinya: Keesaan Allah, Keadilan-Nya, Kenabian, Kepemimpinan, dan Hari Akhir.

Islam Syiah menempatkan keesaan Allah sebagai pokok yang pertama. Yang ada hanya Dia saja. Kita mempunyai dan berdoa pada Tuhan yang sama. Apa pun agama kita. Islam Syiah percaya siapa pun kita, sepanjang ia beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, ia diberikan pahalanya. Ini sesuai dengan ayat Al-Quran, “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS Al-Baqarah [2]: 62).

Prinsip keesaan Tuhan ini dilanjutkan oleh keadilan-Nya. Ia menjadi pokok yang kedua. Allah Ta’ala  adil pada siapa saja makhluk-Nya,  apa pun agamanya.  “…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS Al-Maidah [5]: 48).

Umat Islam pun dilarang memukul sama penganut agama yang berbeda, “Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan. Mereka menyuruh kepada yang baik, mencegah yang buruk, dan bersegera mengerjakan berbagai kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh” (QS Ali Imran [3]: 114).

Perbedaan sudut pandang terhadap nilai-nilai ketuhanan itu akan membuat perbedaan dalam pengamalan dan keseharian terhadap sesama. Dalam Islam Syiah, Tuhan Dzat Mahasuci yang Mahasempurna. Sehingga seluruh ciptaan-Nya sempurna. Dzat Mahaindah yang Mahabaik, sehingga seluruh karunianya indah dan baik. Manusia adalah makhluk sempurna yang terus bergerak menuju tingkat kesempurnaan setinggi-tingginya. Karena sempurna tanpa batas. Dialah awal, Dialah akhir.

Sementara itu, dalam Islam juga berkembang paham yang membaca teks sesuai adanya. Bila dikisahkan Allah Ta’ala punya wajah, maka Dia punya wajah. Atau tangan, atau juga betis kaki. Paham ini disebut mujasimah, atau musyabbahah. Sebagian menyebutnya Islam puritan. Dari paham yang harfiah seperti inilah muncul kecenderungan ke arah radikalisme dan bahkan terorisme. Karena mereka memahami teks secara apa adanya, terkadang tanpa penafsir dan keterangan pembantu untuk itu.

Islam Syiah mengambil penafsiran terhadap ajaran Islam pascawafat Nabi Muhammad saw itu dari Ali bin Abi Thalib as. Mereka menyebutnya Imam Ali. Imam artinya pemimpin. Ia bersama sebelas silsilah dari keturunannya menjadi duabelas pemimpin pascaNabi. Dalam Al-Quran, ada sistematika perulangan duabelas. Dalam kata: imam, bintang, yang terpilih, yang baik, dan semisalnya. Sebagaimana juga ada duabelas kabilah Nabi Musa as, ada duabelas putra Yaqub, atau dua belas bintang sebagaimana tertulis dalam Al-Kitab,“Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya, dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya” (Wahyu 12:1).

Dalam Islam Syiah, imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, dan Imam yang kedua belas diyakini masih hidup, digaibkan Allah Ta’ala untuk diturunkan pada akhir zaman. Namanya Imam Mahdi. Keyakinan terhadapnya disebut Mahdiisme atau Messianisme, Sang Juru Selamat akhir zaman. “Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya” (Wahyu 12:5).

Sesuai prinsip keesaan dan keadilan Tuhan itu, Islam Syiah memandang ada titik temu antar berbagai umat. Bahwa seruan “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) pada kalimat yang sama antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun…” (QS Aali Imran [3]: 64) berlaku universal. Semua umat berlomba untuk berbuat kebaikan. Semua bangsa tengah menanti janji Tuhan di akhir zaman.

‘Allamah Thabathabai, seorang penafsir Al-Quran dari Iran menyebutkan konsep al-katsratu fil wahdah wal wahdatu fil katsrah yang dirujuk dari berbagai sumber dalam riwayat teladan Islam. Jamak dalam satu dan satu dalam jamak. Bahwa sesungguhnya tiada yang kita sembah selain Tuhan. “Kamu tidak menyembah selain Allah, kecuali hanya nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu” (QS Yusuf [12]: 40). Perbedaan adalah sesuatu yang digariskan-Nya agar kita saling mengenal sesama lebih baik, berlomba dalam kebaikan, tetapi pada saat yang sama, anugerah terbesar itu selalu juga memperoleh ujian yang besar pula. Keragaman yang menjadi karunia bisa pula berujung bencana. Tatkala kita merasa lebih benar, lebih baik, lebih saleh dari yang lainnya.

Sebagaimana disebut dalam khutbah Imam Ali bahwa hanya Tuhan yang tidak bersekat, tidak berbatas, tidak diberi label dan identitas. Hanya Tuhan yang tidak dipilah, ditunjuk, disifati. Hanya konsep Tuhan seperti itulah yang akan mendatangkan persatuan di antara seluruh umat. Karena ia Tuhan bersama, bukan segelintir kelompok saja. Selama Tuhan masih diperebutkan, selama itu pula keragaman itu akan menjadi ancaman. Tanpa keesaan dan keadilan-Nya, kita tidak akan mengenal anugerah para utusan-Nya, para pemimpin-Nya, dan bagaimana mungkin berharap keselamatan, kelak di hari akhir dari-Nya. ***