27/10/22

Lemah Abang Versus Konservatisme Agama [by Asep Salahudin]

Lemah Abang  adalah nama lain Syekh Siti Jenar. Seorang wali dari Persia  yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Nama kecilnya  Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail. Kelak setelah dewasa   bernama Sayyid Abdul Jalil. Dikenal juga sebagai Sunan Jepara, Syekh Sitibrit dan Hasan Ali.

Sosok Siti Jenar ini bukan hanya kematiannya yang masih diselimuti kabut misteri, namun juga ajarannya yang kerap kontroversi.  Di banyak daerah ditemukan jejak para pengikut dan faham yang diajarkannya sekaligus juga makamnya. Sebut saja di Cirebon, Demak, Jepara termasuk di Kota Pagaralam Sumatera Selatan.

Semasa hidupnya dikenal sebagai orang yang tak henti bergerilya dari satu tempat ke tempat lain mempromosikan kebaikan. Mengkampanyekan model beragama yang tidak terjebak pada konservatisme moral dan sikap-sikap tekstual yang hanya  berhenti sebatas kemeriahan upacara ritual namun lupa pada substansi. Siti Jenar menawarkan cara beragama yang tidak terlampau kaku dan melulu mengelola  urusan fikih, tapi lebih pada karakter positif yang bersifat universal. Untuk kepentingan bersama. Agama digeser pada olah batin agar memiliki kepekaan rasa sehingga lebih terang dalam melihat kenyataan kehidupan dan kematian, lebih awas dalam mencarikan jalan keluar dari masalah yang menghimpit kemanusiaan, tidak tergesa-gesa apalagi keliru dalam mencarikan jalan keluarnya.

Masyarakat yang terbuka

Syekh Siti Jenar   membangun   masyarakat progresif, egaliter dan terbuka di berbagai pedukuhan.  Masyarakat yang terus tumbuh menuju kedewasaan. Dalam istilahnya  serupa pohon Sidratul Muntaha. Menjulang menuju langit transendensi ketuhanan namun nilai-nilainya menghunjam  secara imanen ke bumi kemanusiaan. 

Ajaran Syekh Siti Jenar berporos pada spirit pembebasan kultural yang diacukan pada semangat “manunggaling kaula gusti”.  Menjadi insun sejati artinya menjadi pribadi yang tidak terkerangkeung  topeng formalisme agama, tidak tersendera struktur politik yang dominatif dan praktek ekonomi manipulatif. 

Manunggaling kaula gusti menjadi semacam platform yang bukan saja mengandaikan hubungan laten dengan Sang Kuasa, namun diharapkan dari hubungan  itu etik imperatifnya hadir dalam bentuk pikiran terbuka, hubungan sosial yang setara, tata kelola ekonomi yang tidak timpang serta sistem politik berkeadaban. Kalau menurut saya platform seperti ini jauh lebih menjebol ketimbang “Islam Nusantara” atau “Islam Berkemajuan”.

Syekh Siti Jenar memandang kehidupan manusia di alam dunia sebagai panggung kematian.   Sebaliknya, apa yang disebut kalangan umum sebagai kematian, justru dikatakannya sebagai awal dari kehidupan hakiki. Pandangan seperti ini membawa turunan berupa sikap untuk tidak terlampaui “serius” dalam melakoni kehidupan. Bahwa harta dan kuasa hanyalah sarana, bukan tujuan. Kekuasaan yang direngkuh siapa pun sebagai  alat untuk menghadirkan kemaslahatan publik.  

Siti Jenar menuliskan seluruh ajarannya dalam kitab   Balal Mubarak, Tal-misan dan Musakhaf . Tiga kitab penting ini “dihilangkan” karena dianggap bisa merontokan kemapanan iman. Ajarannya kemudian hidup dalam   bentuk suluk  dan menjadi subjek kajian para sastrawan keraton terutama pada abad ke-16, 17 dan 18. 

Konflik politik

Sejarah mencatat bahwa abad 15 Majapahit berada pada senjakala kekuasaannya. Pergolakan dan  pertentangan terjadi  di berbagai wilayah. Bukan lagi otonomi daerah, tapi berdiri kerajaan-kerajaan baru yang sepenuhnya terlepas dari Majapahit. Di sisi lain pada era itu Islam dengan giat menyebarakan ajarannya terutama ke berbagai lapisan masyarakat yang ada di tanah Jawa. Termasuk kelak mampu mendirikan kerajaan  bercorak Islam.   Seperti Demak, Mataram, selain Giri Kedhaton dan Cirebon.

Tentu setiap serpihan kerajaan yang muncul, mereka  bukan hanya terus berupaya mengokohkan pengaruhnya di tengah masyarakat namun juga mengantisipasi setiap kemungkinan yang bisa menjadi potensi ancaman kelangsungan eksistensinya. Di pusaran ini tersiarlah  seorang anak muda yang dipandang berbahaya  serta memiliki garis nasab dengan Majapahit yaitu Ki  Ageng Pengging yang notabene  muridnya Lemah Abang. 

Seperti disampaikan K.Ng. Agus Sunyoto  (2005) di lingkungan kerajaan Mataram dan Demak sendiri  keberadaan  Syekh Siti Jenar banyak yang menentangnya. Dalam ajaran Siti Jenar, tidak dibedakan antara kyai dan santri, rakyat dan raja. Padahal dalam pemerintahan kerajaan seorang rakyat harus mengabdi sebagai kawulo kepada raja yang dianggap keturunan dewa. Kontroversi ajaran Syekh Siti Jenar inilah yang membuat sosok tokoh penyebaran Islam itu sangat diburu, dicari dan hendak dimusnahkan aparatus  kerajaan dan  Walisongo.

Raja dan warga yang setara

Ajaran kesetaraan raja dan warga, kyai dan santri ini yang pada gilirannya menumbuhkan kritisisme di kalangan massa. Siti Jenar memfatwakan bahwa   menghadap raja sambil nyembah itu terlarang. Raja jelmaan dewa menyebut dirinya intahulun, kulun atau ingsun. Rakyatnya kawula. Syeh Lemah Abang menyampaikan jangan menggunkan  kawulo atau kulo tapi ingsun. Sebuah perubahan dan kesadaran baru pentingnya masyarakat setara non diskriminatif.

Dalam penelitian Agus Sunyoto, di mata Siti Jenar, pengikutnya bukan kawulo tapi orang sederajat yang kerjasama atau dalam bahasa islamnya musyarakah. Orangnya atau  masyarakatnya sederajat dengan ulama. Sederajat dengan kyai. Kalau Siti Jenar menerapkan gerakannya hanya di Cirebon mungkin  tidak akan terlalu menuai  masalah. "Tetapi Siti Jenar membuka medan di berbagai wilayah Desa Lemah Abang, Karawang, Banyuwangi  dan sekitarnya sehingga membikin raja dan sultan marah. Siti Jenar dianggap telah mengubah tatanan aliran keraton atau kerajaan".

Pada sebuah kesempatan Syekh Siti Jenar amarahnya meluap  karena menemukan fakta sosial yang mengiris hatinya. Siti Jenar menjumpai masyarakat melarat. Pajak ditingkatkan, keringat mereka dihisap para pejabat dan diperlakukan sangat tidak manusiawi. Dipekerjakan dengan upah di bawah standar minimum. 

Siti Jenar terus menyuarakan ketimpangan. Membongkar muslihat kekuasaan. Menyerukan pentingnya politik dikelola akal sehat  dan menempatkan masyarakat sebagai subjek penting dalam pembangunan, masyarakat sebagai sehimpunan warga yang otonom. Pernyataan- pernyataan ini yang kemudian menimbulkan murka di kalangan elit  Demak.   Siti Jenar dianggap melakukan upaya pembangkangan, provokasi massa dan perlawanan kepada raja dan ulama di jajaran Walisongo.

Pada titik ini kita menjumpai  sejarah kelam yang tak henti berulang. Siti Jenar yang merefresentasikan blok Islam progresif dan membumi harus berhadapan dengan arus konservatisme agama yang telah bergandeng  tangan dengan kelompok kepentingan untuk mengawetkan kekuasaan lalim. *** 

Asep Salahudin, Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya

 Artikel dari KOMPAS, 7 Oktober 2022