Hampir semua pemikir Muslim yang prihatin dengan keadaan umat Islam saat ini bersepakat bahwa akar masalah di balik semua keterbelakangan ialah matinya atau redupnya pemikiran yang berakibat pada tumpulnya kreativitas. Dulu Cak Nur menyebut umat Islam kehilangan “psychological striking force,” daya dobrak, yang dahulu menjadi motor gemuruh peradaban Islam.
Perbedaan di kalangan pemikir Muslim ialah dari mana “membuka kembali pemikiran umat” seharusnya dimulai. Cak Nur, misalnya, melihat langkah (pertama) yang harus dilakukan ialah memisahkan mana yang kudus atau ilahi dan mana yang tidak. Jika terlalu banyak hal dianggap kudus, maka ruang pemikiran menjadi sempit.
Gus Dur memberikan penekanan lain: ekspresi ke-Islam-an itu bukan Islam itu sendiri, sehingga dapat “dipribumisasikan” dalam konteks lokal. Artinya, jika Islam itu bersifat ilahi, ekspresi ke-Islam-an bersifat manusiawi. Yang ilahi dan kudus itu ada ruangnya sendiri. Itu ruang sacral yang punya kekuatannya sendiri. Maka aneh, kata Gus Dur, jika manusia mengerahkan tenaga untuk membela hal-hal yang bersifat ilahi. Tuhan itu sudah maha kuasa. Jadi, ndak perlu dibela. Yang perlu dibela dan membutuhkan intervensi akal pikiran itu ialah kemanusiaan dan berbagai ekspresinya.
Keduanya bersepakat bahwa problem utama umat ialah ketertutupan pikiran, namun memberikan solusi berbeda terkait darimana hendak dimulai. Muhammad Arkoun juga prihatin dengan sempitnya ruang pemikiran umat karena dalam konstruksi teologi Islam terlalu banyak hal yang dianggap “unthought” (tak terpikirkan) dan “unthinkable” (dianggap tak tersentuh pikiran).
Abid Jabiri di Maroko dan sejumlah pemikir Arab menegaskan perlunya memikirkan ulang warisan tradisi yang menyelimuti alam pikiran umat. Mereka berpikir keras bagaimana cara bersikap yang kreatif terhadap warisan tradisi (turats). Sebagian bersikap radikal, yakni tradisi harus dicampakkan jika ingin maju; sebagian lain mengusulkan sikap yang lebih apresiatif, yakni merekonstruksi, bukan membuangnya sama sekali.
Di kalangan pemikir Arab, soal penyikapan terhadap tradisi itu menjadi diskursus cukup dominan. Ada yang mendedah “awamil al-murunah” (elemen-elemen fleksibilitas) dalam tradisi Islam. Ada juga yang memperdebatkan mana elemen tetap alias tidak berubah (tabith) dan bagian mana yang bisa berubah (mutahawwil). Dan begitu seterusnya.
Baru-baru ini, penulis keturunan Turki Mustafa Akyol menerbitkan bukunya “Reopening Muslim Minds” dan menunjuk teologi Asy’ariyah sebagai “biang kerok” dari redupnya pemikiran umat dan dengan demikian penyebab dari keterbelakangan di segala bidang. Kemenangan Asy’ariyah atas Mu’tazilah menggiring pemikiran rasional berada di pinggiran. Bagi Akyol, dalam teologi Asy’ariyah, pemikiran rasional harus tunduk di bawah ketentuan Ilahi. Air mengalir dari atas ke bawah itu dianggap bukan karena teori gravitasi, melainkan karena kehendak Tuhan.
Dominasi teologi Asy’ariyah ini, masih menurut Akyol, mencapai kulminasinya pada kemasyhuran Ghazali dengan serangannya terhadap filsafat yang mematikan. Gagasan-gagasan filosofis cemerlang Ibnu Rusyd tenggelam. Tak pelak lagi, Akyol menuduh Ghazali berkontribusi besar terhadap redupnya pemikiran umat. Solusinya? Bagi dia, ayo kembali hidupkan Ibnu Rusyd!
Tentu saja, Akyol mengabaikan dinamika dalam teologi Asy’ariyah. Tapi itu urusan lain. Poin yang ingin saya sampaikan ialah bagaimana masing-masing pemikir mengajukan solusi berbeda darimana menyalakan kembali pemikiran umat seharusnya dimulai. Perbedaan titik-berangkat itu merupakan sesuatu yang wajar, karena didasarkan pada disiplin keilmuan dan keprihatinan yang berbeda.
Sebagai orang yang bergelut dengan teks, saya punya cara pandang berbeda. Saya sangat yakin dengan kekuatan kata-kata/teks. Al-Quran itu hanya kitab tak terlalu tebal, tapi pengaruhnya membentuk pikiran, sikap dan perilaku umat yang mengimaninya luar biasa dahsyatnya. Ghazali itu tidak lagi berbicara dengan kita sekarang, tapi kata-katanya dalam Ihya dan kitab lainnya begitu mendominasi cakrawala dunia pesantren.
Maka, cara kita memperlakukan teks/kata-kata telah dan masih akan menentukan situasi kita sekarang dan masa mendatang. Maksud saya, situasi kemandegan dan ketertutupan pemikiran umat saat ini merupakan konsekuensi dari bagaimana teks-teks Islam diperlakukan (tentu, oleh para ulama dan kaum terpelajarnya). Teks-teks Islam dibaca untuk mempertahankan ortodoksi, untuk meneguhkan dan membentengi satu pemahaman tertentu, dan menyesatkan yang berbeda.
Sikap kritis terhadap teks (khazanah klasik) dibungkam. Teks tidak lagi dibaca untuk kepentingan penelitian yang akan membuka cakrawala baru. Upaya menelusuri “Muhammad historis,” misalnya, menjadi tabu. Mempersoalkan “keadilan” para sahabat dianggap penistaan. Padahal, kenyataannya, para sahabat Nabi saling bunuh satu sama lain. Kitab-kitab hadis tak bisa dikritisinya karena dianggap sebagai sumber utama agama ini.
Bahkan, versi sejarahpun menjadi bagian yang disakralkan. Seperti pernah saya tulis, sejarah teks al-Quran versi Syi’ah, misalnya, nyaris tak terdengar di telinga karena ada satu versi sejarah yang disakralkan. Kita tak lagi familiar bagaimana para sahabat atau tabi’in dahulu saling merendahkan versi mushaf sahabat lain. Kita tak lagi mengetahui reaksi para sahabat terhadap mushaf Usman, atau sikap Umar terhadap Mushaf Ali.
Atau, bagaimana Ibnu Mas’ud mencibir kerja Zaid menghimpun mushaf, atau ancaman Hajjaj membunuh siapapun yang masih menggunakan mushaf Ibnu Mas’ud. Belum lagi soal perbedaan musahif yang dimiliki para sahabat. Padahal, semua cerita tentang mereka termaktub dalam kitab-kitab utama (ummahatul kutub) yang ditulis oleh ulama-ulama kita terdahulu.
Bukankah warisan tradisi tekstual itu terlalu mahal untuk diabaikan? Jika bukan kita yang mempelajarinya dengan sungguh2, lalu siapa? Sekarang yang terjadi adalah ironi. Kitab-kitab klasik kaum Muslim dikaji secara semarak di dunia Barat, tetapi sepi senyap di dunia Islam? Saya kerap mendengar sikap apologetik: Yang diperlukan bukan mempelajarinya, tapi mengamalkannya. Gimana mau mengamalkan jika tidak memahaminya?
Kita semua perlu berikhtiar membantu membuka pemikiran umat sesuai dengan kapasitas/keahlian dan disiplin kita masing-masing. Minimal, membuka pikiran kita sendiri. Jangan justru berkontribusi meredupkannya. *** (Prof Munim Sirry)