09/03/22

Dr KH Jalaluddin Rakhmat MSc, Arsitek Jembatan Mazhab Ukhuwah dan Rekayasa Sosial

 


Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc: 

Arsitek Jembatan Mazhab Ukhuwah dan Rekayasa Sosial ?[1]

by Azhari Akmal Tarigan[2]

 

A.    Pendahuluan

       Detailnya saya benar-benar lupa. Namun perkenalan saya dengan K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc adalah pada saat bedah buku “Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim” di IAIN Sumatera Utara kisaran tahun 1992 atau 1993.[3] Sebagai mahasiswa yang masih “cen-cen”, saya tidak banyak mengenal tokoh ini. Namun perjumpaan jarak jauh itu cukup mengesankan bagi saya. Bukan saja karena gaya retorika Kang Jalal yang sangat memikat audiens tetapi juga materi yang disampaikannya sangat menarik. Sejak saat itu saya menyenangi buku Islam Aktual kemudian Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus.[4] Tentu tidak hanya Kang Jalal sendiri, sayan juga meminati banyak karya intelektual Islam kala itu. Memang pada tahun tahun 1990-an, penerbit Mizan lagi gencar-gencarya menerbitkan karya-karya cendikiawan muslim Indonesia, sebut saja Nurcholish Madjid, M. Quraish Shihab, Amin Rais, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Fachry Ali dan lain-lain. Saya bisa mengakses buku-buku itu karena pada masa itu harga buku belum mahal seperti sekarang ini.

            Setelah itu saya mendapatkan satu karya Kang Jalal yang sampai sekarang menjadi rujukan saya dalam menyampaikan ceramah-ceramah agama. Buku itu berjudul, Tafsir bil Ma’stur: Pesan Moral Al-Qur’an (Remaja Rosdakarya:1993). Buku ini memuat 32 topik-topik yang dihidangkan dengan judul-judul yang menarik. Tema “Akan Muncul Penghuni Surga”, “Rintihan Pendosa di Malam Kadar”, dan “Adab Majlis Ilmu” adalah topik yang sangat saya gemari. Sebabnya topik ini sering saya ulang-ulangi dalam ceramah saya tentu saja dengan berbagai modifikasi. Namun esensinya tetap tidak berubah. Karya ini merujuk beberapa kitaf Tafsir seperti Tafsir Fakhrur Razi, Al-Durru al-Mansur, kitab hayat al-Sahabat, Nahj Al-Balaghah dan lain-lain.[5] Saya tidak tahu, apakah jilid kedua buku ini sudah terbit.

            Sejak saat itu, saya menyukai karya-karya Kang Jalal baik dalam bentuk buku, book chapter, buku antologi atau artikel-aertikelnya yang terbit di berbagai Jurnal terutama Al-Hikmah Yang diterbitkan oleh Yayasan Muthahari dan Ulum Al-Qur’an. Saya tahu karya Kang Jalal sejak awal yang sangat laris itu adalah Psikologi Komunikasi[6], Metode Penelitian dan Retorika. Mungkin karena bidang ilmu saya adalah ilmu Syari’ah, buku-buku yang tersebut terakhir jarang saya baca.

            Jika dipertanyakan, mengapa saya meminati karya-karya Kang Jalal ? Jawabnya karena Kang Jalal membicarakan Islam yang autentik, Islam yang rahmatan lil alamin. Bahkan jika hari ini diskurus Islam Washatiyyah, Islam Moderat, Moderasi Beragama, Islam tanpa Kekerasan, sungguh inilah yang diwacanakan Kang Jalal. Di samping itu Kang Jalal bicara dengan rujukan yang sangat kuat baik karya-karya ulama sunni ataupun Syi’ah. Namun lebih dari itu, Tulisan Kang Jalal menyentuh jiwa. Sederhananya beliu menulis dengan hati dan tidak semata-mata dengan akal. Sehingga untaian kalimat-kalimatnya terasa menyentuh jiwa. Bukan saja rasio kita yang terlibat tetapi juga qalbu[7]. Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan, Kang Jalal dalam menulis sama baiknya ketika ia berbicara.

B.     Posisi Kang Jalal dalam Konteks Diskursus Islam Indonesia.

Sungguh saya merasa kesulitan untuk menuliskan -walau artikel singkat- tentang Kang Jalal. Berbeda Ketika kita menyebut simpul-simpul pemikir Islam Indonesia lainnya. Sebut saja Cak Nur yang pemikirannya dapat disimpul pada tiga kata kunci penting, Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan. Ketiganya dirajut Cak Nur dengan sangat indah dan sekaligus menjadi trademarknya. Demikian pula halnya dengan Gus Dur yang gagasan besarnya adalah Pribumisasi Islam. Jauh ke belakang, satu kata untuk Prof. Harun Nasution dan Johan Effensi  adalah Islam Rasional. Kita juga bisa menyebut Kuntowijoyo sebagai penggagas Ilmu Sosial Profetik.[8] Lalu apa sebutan yang pas untuk Kang Jalal ?

            Kesulitan tersebut paling tidak disebabkan tiga hal hal. Pertama, Kang Jalal memiliki keahlian dalam beragam bidang ilmu. Kendatipun keahlian dasarnya jika merujuk Fakultas yang digelutinya adalah Ilmu Komunikasi. Namun Kang Jalal menguasai ilmu lain yang sama baiknya, Sebut saja Psikologi, Sejarah, Fikih, Tasawuf, Tafsir dan lain-lain.

Kedua, Kang Jalal memiliki banyak karya tulis dalam bentuk buku, artikel, opini bahkan tulisan-tulisan di jurnal dan bulletin, yang sekaligus menunjukkan minatnya yang cukup beragama. Sebagaimana disebut di atas, keahlian Kang Jalal yang beragam itu tercermin pada buku-bukunya yang juga beragam. Untuk menyebut diantaranya adalah, Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak (Kaifa:2010). Cetakan pertama buku ini pada tahun 2005 oleh MLC. Berikutnya Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Mizan, Cet 1, 2003), Meraih Kebahagiaan (Simbiosa:2004). Disamping itu Kang Jalal juga menulis, Tafsir Sufi AL-Fatihah: Mukaddimah (Rosda:2000) dan Tafsir Kebahagiaan: Pesan Al-Qur’an Menyikapi Kesulitan Hidup (Serambi:2010).  Di saat yang lain Kang Jalal menulis sejarah Fikih dengan dinamikanya sebagaimana terlihat pada Dahulukan Akhlak di atas Fikih (Mizan: 2007).  Jangan lupa Kang Jalal juga menulis buku Renungan-Renungan Sufistik (Mizan:196),   Meraih Cinta Ilahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah (IMaN:2008), The Road to Allah (Mizan: 2007), The Road to Muhammad (Mizan:2009), Memaknai Kematian (IMaN:2006), Jalan Rakhmat: Mengetuk Pintu Tuhan (Quanta: 1432H) dan lain-lain.

Judul-judul buku yang dijadikan contoh di atas membuktikan paling tidak keahlian Kang Jalal pada Psikologi, Fikih dan juga Tasawuf. Di samping beliau juga ahli dalam Komunikasi, Retorika, Tafsir, Hadis dan juga sejarah.

Satu lagi yang ingin saya ungkap adalah berkenaan dengan satu buku yang menurut saya sangat unik. Judul buku itu adalah, Afkar Penghantar Sekumpulan Pengantar (2016). Buku ini khusus memuat kata pengantar yang dimintakan kepada beliau dalam kurun waktu yang cukup Panjang. Buku setebal 595 halaman ini memuat 55 tulisan dengan rincian 52 Kata Pengantar, 1 Kata sambutan dan 2 Epilog. Jika kita setuju bahwa Kata Pengantar diberikan oleh orang yang ahli dalam bidang tertentu sesuai dengan buku yang dimintakan kata pengantar, kitab bisa memehami betapa luasnya lautan keilmuan Kang Jalal. Lihatlah di dalam buku itu dibagi ke dalam beberapa sub, sub Berpikir (Buku-buku yang berkaitan dengan Otak). Bab dua tentang Belajar (buku-buku yang berhubungan dengan manusia; Psikologi, sejarah dan teori belajar). Bab Tiga tentang Beragama (buku-buku tentang tafsir, Filsafat, Tasawuf, Fikih dan lain-lain). Bab Empat tentang Bahagia, bab lima tentang Cinta dan bab terakhir tentang Ukhuwah.[9] 

Menariknya, bagi para pembaca Afkar, segera memahami bahwa buku itu bukan sebatas pengantar asal jadi apa lagi penuh basa-basi. Pengantar itu adalah pengantar yang kaya perspektif.

Ketiga, Kang Jalal adalah pemikir yang juga sangat kontroversial sebagaimana Gus Dur dan juga Cak Nur. Bedanya dengan Gus Dur dan Cak Nur, Kontroversialnya Kang Jalal di jalan sunyi. Kontroversialnya Gus Dur tetap ada saja yang membelanya dan beliau memiliki basis massa yang massif yaitu NU. Demikian pula halnya dengan Cak Nur dengan HMI-KAHMI-nya dan juga kelas menengah perkotaan yang akan membela Cak Nur. Lalu bagaimana dengan Kang Jalal. Kendatipun beliau awalnya adalah tokoh Muhammadiyah yang kemudian “disebut Syi’ah”, namun Kang Jalal tetap saja tidak punya basis massa yang solid. Sependek pengetahuan penulis beliau pernah menyebut dirinya “Syi’i wa Sunni”, namun tidak pernah terdengar keduanya menjadi barisan Tangguh di belakangan Kang Jalal. Justru beberapa informasi  yang penulis dapatkan, ketika Kang Jalal dituduh Syi’ah dan pengajiannya dihentikan khususnya di Bandung, Gus Dur dan Cak Nur adalah “penyelamat” Kang Jalal untuk tetap eksis dalam dakwah. Kontroversi itu justru memperluas jangkauan Kang Jalal dan sekaligus menjadi jalan bagi beliau untuk menembus Ibu Kota.[10]  

Paling tidak tiga argument di atas membuat penulis sulit membuat simpul pemikiran dan Gerakan Kang Jalal. Ulil Abshar Abdalla menyebut Kang Jalal cukup berjasa dalam meramaikan percakapan Islam di Indonesia. Zuhairi Misrawi menyebutnya sebagai Ulama Ensiklopedis Mendunia, yang menunjukkan keragaman keahlian dan penguasaan ilmu agama.  Abdul Muqsith Ghazali menyebut kang Jalal sebagai Intelektual yang bebas dan berani. Kang Kendatipun banyak yang memuji Kang Jalal, tak satupun ada yang dapat menyimpul gagasan besar Kang Jalal. Kang Miftah F. Rakhmat menyebut Kang Jalal sebagai Intelektual yang membumi. Sebutan ini hemat penulis tepat, karena Kang Jalal tidak saja intelektual yang berpikir dan menulis tetapi berbuat. Kang Jalal mendirikan SMU Plus Muthahhari, Mendirikan Pusat Kajian Tasawuf Tazkia Sejati di Jakarta, Pendiri IJABI dan lain-lain.

C.     Membangun Jembatan Ukhuwah

Pada beberapa karya Kang Jalal baik dalam bentuk tulisan ataupun transkip wawancara, Kang Jalal sangat concern pada persoalan ukhuwah. Walaupun pada masa mudanya sebelum berangkat ke Amerika dan bertemu dengan bang Imad (Imaduddin Abdul Rahim yang menulis buku saku yang sangat terkenal   Kuliah Tauhid), Kang Jalal termasuk pengusung TBC-nya Muhammadiyah kala itu. Diceritakan ia berhasil menurunkan Bedug di masjid kampungnya dan merubah azan Jum’at dari dua kali menjadi satu kali. Tindakan Kang Jalal meresehkan orang kampung dan konflik di dalam keluarga tidak terhindari. Tentu saja pada masa itu, kesadaran perlunya ukhuwah dikalangan internal umat Islam belum muncul. Kang Jalal masih mendahulukan Fikih dari Akhlak.

Agaknya kesadaran ini muncul setelah Kembali dari Amerika dan Kang Jalal mulai memperkenalkan pemikiran-pemikiran Syi’ah. Sebenarnya pintu masuk Kang Jalal dalam memperkenalkan Syi’ah di Indonesia lewat pembelaannya terhadap kaum tertindas, lemah tak berdaya, terpinggirkan, kelompok yang didiskriminasikan dan kaum al-mushtad’afin lainnya. Pembelaan Kang Jalal terhadap kelompok tersebut sangat jelas, tegas dan terang-terangan. Di samping itu, ia juga bicara tentang system politik dan spiritualitas Syi’ah.

Perjalanan panjangnya sebagai intelektual muslim dan juga sebagai pendakwah dan ini membedakannya dengan Cak Nur dan Gus Dur, Kang Jalal menyadari pentingnya membangun jembatan ukhuwah ketimbang membangun benteng pertahanan mazhab sendiri-sendiri. Dalam konteks inilah, Kang Jalal masuk dari pintu akhlak. Bukunya yang berjudul, Dahulukan Akhlak di atas Fikih sesungguhnya adalah manifesto Kang Jalal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konflik dan paling tidak meredakan ketegangan dikalangan internal umat Islam.

Fikih yang pada awalnya adalah al-fahm (paham) dan karenanya dapat beragama bergeser menjadi doktrin tunggal dan kemudian menjadi absolute. Pada titik ini, pengikut mazhab fikih atau paling tidak pendapat fikih tertentu merasa dirinya paling benar dan menganggap paham orang lain salah. Pemahaman fikih seperti ini tidak akan bisa membawa kepada persaudaraan (ukhuwah), saling memahami dan menghormati. Sebaliknya yang terjadi justru saling menyesatkan. Timbullah benturan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Lewat buku, Dahulukan Akhlak di atas Fikih (Mizan, 2002), di pengantar Edisi Revisinya, Kang Jalal menuliskan sebagai berikut:

Sabtu, 21 Oktober 2006. Di Makkah Al-Mukarramah. Tokoh-tokoh Sunni dan Syi’ah dari Irak dan dari delapan negara Islam lainnya seorang demi seorang memberikan tanda tangannya pada Deklarasi Makkah. Di belakang mereka ada gambar Ka'bah yang dikelilingi oleh ratusan ribu orang yang bertawaf. Peristiwa ini disiarkan langsung oleh Al-Jazirah ke seluruh dunia. Kedua mazhab besar dalam Islam saling mengakui dan saling memuliakan seraya memutuskan saling pengakuan ini dalam deklarasi yang bersejarah. Inilah muktamar besar pertama Sunni dan Syi'ah sejak 1947.

"Muslim ialah siapa saja yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan-Nya. Prinsip dasar ini berlaku sama bagi Sunni dan Syi'ah tanpa kecuali. Kesamaan di antara kedua mazhab ini berkali-kali lebih banyak daripada perbedaan dan penyebab perbedaannya. Perbedaan di antara keduanya hanyalah perbedaan pendapat dan interpretasi dan bukan perbedaan esensial dalam akidah atau substansi rukun Islam. Dari segi syari ah, tidak boleh salah satu dari kedua mazhab itu mengucilkan, membid'ahkan, atau dengan cara apa pun melemparkan kecaman pada keimanan dan kepercayaan pengikut mazhab  yang lainnya, atas dasar sabda Rasulullah Saw:

"Jika salah seorang di antara kamu memanggil saudaranya: Kamu kafir, salah seorang di antara mereka akan menjadi kafir dan bertanggung jawab atasnya.

Darah, harta, kehor matan, dan harga diri Muslim adalah suci berdasarkan ayat suci Al-Quran: Dan siapa saja yang membunuh orang beriman dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal di dalamnya. Allah murka kepadanva dan melaknatnya dan Allah mempersiapkan baginya azab yang besar. (QS Al-Nisà' [4]: 93)

….. karena itu, seorang Muslim, baik Sunni maupun Syiah, tidak boleh dibunuh atau disakiti, dintimidasi, diteror, diserang atas kekayaannya; tidak boleh juga diprovokasi untuk itu; tidak boleh dengan paksaan dipindahkan, dideportasi, atau diculik."

Pada 3-4 April 2007, di Istana Presiden, Bogor, Indonesia, para peserta Konferensi Internasional Pemimpin Islam untuk Rekonsiliasi Irak, telah bertemu untuk membicarakan konflik Sunni-Syi ah di Irak dan bertekad untuk mewujudkan rekonsiliasi secara penuh di antara bangsa Muslim Irak dengan mempromosikan Islam sebagai Rahmatan lil "Alamin. Saya beruntung mendapat kesempatan menjadi salah seorang peserta. Saya terharu ketika Kaftaru, mufti Suriah yang Sunni, berkata,' "Kalau Syl'ah berarti menentang penindasan Amerika di mana pun, kita semua adalah Syi'ah. Jika Sunni jalah melawan kezaliman Israel, maka kita semua Sunni."[11]

 

Saya sengaja mengutip Kata Pengantar Kang Jalal ini sangat Panjang, agar kita bisa merasakan suasana batin Kang Jalal. Merasakan getaran jiwa sekaligus keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam dunia dan juga di Indonesia. Ukhuwah yang diharap kan dapat menciptakan perdamaian, harus menjadi perhatian semua pihak tanpa kecuali. Orang bisa berbeda dalam pendapat dan pandangan fikih, namun orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks inilah, keberadaan Akhlak menjadi mutlak dan niscaya.

Saya Kembali ingin mengutip tulisan Kang Jalal di dalam bukunya, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan: (Serambi: 2006).

“Karena itulah kemudian saya berpikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: Kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fikih, saya akan dahulukan akhlak. Kalua datang ke Jama’ah NU yang qunut Shubuh, demi ukhuwah dan memelihara akhlak di tengah-tengah saudara saya, saya akan ikut qunut, walau saya misalnya orang Muhammadiyah yang tidak qunut. Tetapi ketika bergabung dengan orang-orang Muhammadiyah, saya mungkin tidak qunut demi menghargai jama’ah sekitar saya.[12]

Tentu saja memperdebatkan fikih boleh dalam rangka menemukan kebenaran atau yang paling benar. Namun upaya itu menjadi sia-sia jika diiringi dengan syahwat untuk saling mengalahkan dan lebih jauh dari itu mempermalukan orang lain. Debat dalam fikih juga mensyaratkan keterbukaan dan empati terhadap cara berpikir (manhaj) kelompok lain. Tanpanya debat hanya menjadi ajang unjuk kebodohan dan ketotolan.

Komitmen Kang Jalal untuk membangun jembatan ukhuwah, hemat penulis tidak perlu diragukan lagi. Kang Jalal telah memulainya dengan cara mengkomunikasikan pemikiran SYi’ah dengan cara yang santun dan beradab. Sulit untuk mencari bukti bahwa beliau sedang bekerja untuk mensyi’ahkan orang lain. Kesaksian muridnya cukup dijadikan bukti untuk pernyataan ini. Beliau hanya ingin membuka ruang dialog yang diharapkan masing-masing pihak bisa memahami. Sama halnya dengan Ustaz Quraish Ketika menulis tentang Sunni dan Syi’ah. Misinya tetap sama dalam rangka membangun jembatan ukhuwah dan menghancurkan tembok-tembok yang membuat kita saling bertahan dan sesekali bersiap untuk menyerang orang lain.

D.    Kang Jalal dan Rekayasa Sosial yang Belum Selesai !

Lepas dari diskusi tingkat tinggi yang dihidangkan Kang Jalal di dalam buku tersebut, saya menemukan satu hal yang luar biasa. Perhatikanlah judul-judul bahasan Kang Jalal, Karakteristik Paradigma Fikih, Karakteristik Paradigma Akhlak, Dari Syari’at ke Fikih, dari Ikhtilaf ke Khilaf, Dahulukan Akhlak dan sebagainya. Apa yang ingin dicapaik Kang Jalal dari tema-tema itu.

Sebelum menjawab masalah di atas, saya ingin kemukakan satu hal lagi karya Kang Jalal yang berjudul, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi (Rosda: 1999). Buku ini sudah dicetak ulang dengan tampilan terbaru yang diterbitkan oleh Simbiosa; 2021. Perhatikan bab-bab dalam buku itu. Kang Jalal memulainya dengan membahas Kerancuan Berpikir dan Mitos yang dimulai dengan kesalahan berpikir dan mitos-mitos so(cial. Pertanyaannya adalah mengapa dalam buku Rekayasa Sosial, Kang Jalal memulainya dengan “membenahi” logika, cara bernalar dan tentu saja cara berpikir.[13]

Saya ingin membandingkan dengan buku terbaru Fahruddin, Faiz Filosof muda yang mengisi kajian Filsafat di Masjid Jenderal Soedirman di Jogjakarta. Judul buku itu, Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical Fallacy.   Di Pengantarnya ia menulis beberapa pasal penting:

Pasal  1: Manusia adalah binatang yang berakal budi.

Pasal  2: Barang siapa yang ingin belajar berpikir runtut, jernih dan dapat dipahami, logika adalah kunci.

Pasal 3 : Logika menuntun Manusia berpikir dengan benar, menemukan dasar keputusan paling masuk akal, dan mendeteksi salah-cacat dalam mengambil kesimpulan.

Pasal 4 : Logika menjadi penopang kehidupan manusia sepanjang sejarah dalam membangun peradabannya.

Pasal 5 : Berpikir juga bisa salah, itulah mengapa kita harus serius belajar logika, juga mengenali jenis kesalahan berpikir.

Bertitik tolak dari apa yang dijelaskan Fahruddin Faiz, saya kira kita bisa mengerti dan memahami mengapa Kang Jalal membahas isu-isu penting itu dengan terlebih dahulu merubah paradigma berpikir, menggeser mind set dan juga cultur set. Sulit untuk membantah, tidak mungkin, membangun ukhuwah, saling memahami antara Sunni dan Syi’ah, apabila paradigma berpikir kita tentang Fikih belum tepat. Bagaimana mungkin kita melakukan perubahan sosial jika cara berpikir dan menalar kita belum tepat. Dan ini adalah kerja besar. Merubah cara berpikir dari mitos ke logos itu adalah kerja besar. Ini adalah kerja peradaban.

Saya teringat dengan Prof. Fadhil dalam satu kuliahnya mengatakan, “Merubah gadis kampung yang lugu menjadi gadis metropolitan atau gadis atau ibu-ibu sosialita itu mudah sekali. Tinggal bawa ke salon dan ke butik. Dalam waktu satu dan dua jam, gadis yang lugu dan polos itu akan berubah. Persoalannya adalah, apakah mind set dan cultur setnya akan berubah juga ?. Sama merubah IAIN menjadi UIN itu dari segi fisik hanya persoalan uang atau biaya. Gedung semegah apapun bisa dibangun. Namun membangun tradisi intelektual, menumbuhkan budaya akademik (kultur akademik) sebagaimana layaknya sebuah universitas, itu tidak mudah. Perlu usaha keras dan waktu yang Panjang. Namun jika berhasil, maka manfaatnya akan besar dan dapat merubah wajah dunia.

Sampai di sini, saya ingin mengatakan apa yang dilakukan Kang Jalal selama hidupnya sebenarnya adalah kerja-kerja peradaban. Menjadikan Islam sebagai lokomotif peradaban dunia. Hal ini pulalah yang dilakukan Cak Nur dan Gus Dur selama hidupnya. Kerja peradaban ini tidak bisa dilakukan satu atau dua generasi. Melainkan antar generasi. Oleh karena itu, kerja-kerja peradaban ini harus dilanjutkan oleh generasi hari ini. Boleh lewat jalur Cak Nur, atau jalur Gus Dur atau Jalur Kang Jalal, seperti yang dikakukan IJABI. Jalur manapun yang kita tempuh itu hanyalah thariqah atau jalan saja. Yang terpenting setiap orang harus menghormati sebagaimana ketiga tokoh itu juga saling menghormati dan menghargai kendatipun mereka memiliki cara pandang yang berbeda namun tetap memiliki persamaan yang jauh lebih besar.

E.     Penutup

Saya tidak tahu persis berapa banyak karya Kang Jalal, kendatipun saya merasa memiliki lebih dari separuh karya-karya Kang Jalal baik dalam bentuk buku, buku antologi ataupun artikel-artikel di jurnal-jurnal ilmiah.  Luasnya spektrum berpikir Kang Jalal ini membuat Kang Jalal tokoh unik. Saya mengatakan Kang Jalal memiliki kemampuan integrative, memadukan ilmu umum dan agama dengan sangat baik. Oleh karena itu, contoh atau model integrasi sains dan agama itu ada pada sosok Kang Jalal. Oleh karena itu kajian terhadap pemikirannya menjadi niscaya baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis ataupun disertasi.

Disamping itu, Keunikan Kang Jalal lainnya adalah, sebagaimana telah penulis kemukakan, kemampuan menulisnya dengan kemampuan retorikanya sama baiknya. Membaca buku Kang Jalal terasa sekali seakan-akan ia sedang berbicara atau berceramah di depan kita. Mendengarkan audio atau melihat video ceramahnya, juga seakan kita mendengar Kang Jalal sedang membaca tulisannya. Pilihan kata atau diksinya juga sangat baik.

Sungguh kita benar-benar kehilangan tokoh besar. Tugas kita adalah melanjutkan pemikirannya dan tentu saja mengembangkan dan mengkritiknya jika ada yang perlu dikritik. Semoga Allah mengampuni salah dan khilafnya dan membalas amal baik dan kesalehan intelektualnya.

Billahittaufiq wa Alhidayah,

 

 



[1] Pengantar Diskusi dalam Rangka Haul I K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Si yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam Abu Tahlib, Medan tanggal 15 April 2022.

[2] Pendiri Bengkel NDP HMI, Peminat Kajian-Kajian Keislaman dan Dosen UIN SU Medan.

[3] Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktua; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim,  Bandung: Mizan, 1991

[4][4][4] Buku ini sebenarnya lebih  dulu terbit dari Islam Aktual. Cetakan pertamanya tahun 1986 dan kala itu saya masih menjadi mahasiswa MAPK di Padang Panjang Sumbar. Buku yang ada pada saya cetakan ke V Tahun 1993. Namun agaknya Islam Aktual memiliki momentum tersendiri untuk melejitkan nama Kang Jalal. Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Islam ALternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, 1993.

[5] Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bil Ma’stur: Pesan Moral Al-Qur’an, (Remaja Rosdakarya:1993)

[6] Buku ini terakhir diterbitkan oleh Simbiosa. Di cover depan tertulis Edisi Revisi dan Best Seller. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Simbiosa, 2018

[7] Cermati karya Kang Jalal yang berjudul, Doa bukan Lampu Aladin (Serambi, 2012)  dan Tafsir Kebahagiaan (Serambi) yang kemudian diterbitkan ulang dengan penggabungan dua buku, Jalaluddin Rakhmat, Do’a dan Kebahagiaan: Etika Memohon Kepada Allah dan Menyikapi Kesulitan Hidup, Tangerang: Baca, 2021.

[8]Lihat M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: PAramadina, 1995. Bandingkan dengan Budhy Munawwar Rachman, “ Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No 3 Vol IV Tahun 1995, h. 4-29

[9] Jalaluddin Rakhmat, Afkar Penghantar Sekumpulan Pengantar, Bandung: Nuansa, 2016.

[10] Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik, Abdurrahmah Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, h. 139-156.

[11] Jalaluddin RAkhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, h.

[12] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan: (Serambi: 2006).

[13] Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa SOsial: Reformasi, Revolusi, dan Relasi Media-Agama atas Kuasa, Bandung: Simbiosa, 2021.