Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc:
Arsitek Jembatan Mazhab Ukhuwah dan Rekayasa Sosial ?[1]
by Azhari Akmal Tarigan[2]
A. Pendahuluan
Detailnya saya benar-benar lupa. Namun perkenalan saya dengan K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc adalah pada saat bedah buku “Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim” di IAIN Sumatera Utara kisaran tahun 1992 atau 1993.[3] Sebagai mahasiswa yang masih “cen-cen”, saya tidak banyak mengenal tokoh ini. Namun perjumpaan jarak jauh itu cukup mengesankan bagi saya. Bukan saja karena gaya retorika Kang Jalal yang sangat memikat audiens tetapi juga materi yang disampaikannya sangat menarik. Sejak saat itu saya menyenangi buku Islam Aktual kemudian Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus.[4] Tentu tidak hanya Kang Jalal sendiri, sayan juga meminati banyak karya intelektual Islam kala itu. Memang pada tahun tahun 1990-an, penerbit Mizan lagi gencar-gencarya menerbitkan karya-karya cendikiawan muslim Indonesia, sebut saja Nurcholish Madjid, M. Quraish Shihab, Amin Rais, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Fachry Ali dan lain-lain. Saya bisa mengakses buku-buku itu karena pada masa itu harga buku belum mahal seperti sekarang ini.
Setelah itu saya mendapatkan satu
karya Kang Jalal yang sampai sekarang menjadi rujukan saya dalam menyampaikan
ceramah-ceramah agama. Buku itu berjudul, Tafsir bil Ma’stur: Pesan Moral
Al-Qur’an (Remaja Rosdakarya:1993). Buku ini memuat 32 topik-topik yang
dihidangkan dengan judul-judul yang menarik. Tema “Akan Muncul Penghuni Surga”,
“Rintihan Pendosa di Malam Kadar”, dan “Adab Majlis Ilmu” adalah topik yang
sangat saya gemari. Sebabnya topik ini sering saya ulang-ulangi dalam ceramah
saya tentu saja dengan berbagai modifikasi. Namun esensinya tetap tidak
berubah. Karya ini merujuk beberapa kitaf Tafsir seperti Tafsir Fakhrur Razi,
Al-Durru al-Mansur, kitab hayat al-Sahabat, Nahj Al-Balaghah dan lain-lain.[5]
Saya tidak tahu, apakah jilid kedua buku ini sudah terbit.
Sejak saat itu, saya menyukai
karya-karya Kang Jalal baik dalam bentuk buku, book chapter, buku antologi atau
artikel-aertikelnya yang terbit di berbagai Jurnal terutama Al-Hikmah Yang
diterbitkan oleh Yayasan Muthahari dan Ulum Al-Qur’an. Saya tahu karya Kang
Jalal sejak awal yang sangat laris itu adalah Psikologi Komunikasi[6],
Metode Penelitian dan Retorika. Mungkin karena bidang ilmu saya adalah ilmu
Syari’ah, buku-buku yang tersebut terakhir jarang saya baca.
Jika dipertanyakan, mengapa saya
meminati karya-karya Kang Jalal ? Jawabnya karena Kang Jalal membicarakan Islam
yang autentik, Islam yang rahmatan lil alamin. Bahkan jika hari ini diskurus
Islam Washatiyyah, Islam Moderat, Moderasi Beragama, Islam tanpa Kekerasan,
sungguh inilah yang diwacanakan Kang Jalal. Di samping itu Kang Jalal bicara
dengan rujukan yang sangat kuat baik karya-karya ulama sunni ataupun Syi’ah.
Namun lebih dari itu, Tulisan Kang Jalal menyentuh jiwa. Sederhananya beliu
menulis dengan hati dan tidak semata-mata dengan akal. Sehingga untaian
kalimat-kalimatnya terasa menyentuh jiwa. Bukan saja rasio kita yang terlibat
tetapi juga qalbu[7].
Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan, Kang Jalal dalam menulis sama baiknya
ketika ia berbicara.
B. Posisi Kang Jalal
dalam Konteks Diskursus Islam Indonesia.
Sungguh
saya merasa kesulitan untuk menuliskan -walau artikel singkat- tentang Kang
Jalal. Berbeda Ketika kita menyebut simpul-simpul pemikir Islam Indonesia
lainnya. Sebut saja Cak Nur yang pemikirannya dapat disimpul pada tiga kata
kunci penting, Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan. Ketiganya dirajut Cak
Nur dengan sangat indah dan sekaligus menjadi trademarknya. Demikian pula
halnya dengan Gus Dur yang gagasan besarnya adalah Pribumisasi Islam. Jauh ke
belakang, satu kata untuk Prof. Harun Nasution dan Johan Effensi adalah Islam Rasional. Kita juga bisa menyebut
Kuntowijoyo sebagai penggagas Ilmu Sosial Profetik.[8]
Lalu apa sebutan yang pas untuk Kang Jalal ?
Kesulitan tersebut paling tidak
disebabkan tiga hal hal. Pertama, Kang Jalal memiliki keahlian dalam
beragam bidang ilmu. Kendatipun keahlian dasarnya jika merujuk Fakultas yang digelutinya
adalah Ilmu Komunikasi. Namun Kang Jalal menguasai ilmu lain yang sama baiknya,
Sebut saja Psikologi, Sejarah, Fikih, Tasawuf, Tafsir dan lain-lain.
Kedua,
Kang
Jalal memiliki banyak karya tulis dalam bentuk buku, artikel, opini bahkan
tulisan-tulisan di jurnal dan bulletin, yang sekaligus menunjukkan minatnya
yang cukup beragama. Sebagaimana disebut di atas, keahlian Kang Jalal yang
beragam itu tercermin pada buku-bukunya yang juga beragam. Untuk menyebut diantaranya
adalah, Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak (Kaifa:2010). Cetakan
pertama buku ini pada tahun 2005 oleh MLC. Berikutnya Psikologi Agama:
Sebuah Pengantar (Mizan, Cet 1, 2003), Meraih Kebahagiaan
(Simbiosa:2004). Disamping itu Kang Jalal juga menulis, Tafsir Sufi
AL-Fatihah: Mukaddimah (Rosda:2000) dan Tafsir Kebahagiaan: Pesan
Al-Qur’an Menyikapi Kesulitan Hidup (Serambi:2010). Di saat yang lain Kang Jalal menulis sejarah
Fikih dengan dinamikanya sebagaimana terlihat pada Dahulukan Akhlak di atas
Fikih (Mizan: 2007). Jangan lupa
Kang Jalal juga menulis buku Renungan-Renungan Sufistik (Mizan:196), Meraih
Cinta Ilahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah (IMaN:2008), The Road to
Allah (Mizan: 2007), The Road to Muhammad (Mizan:2009), Memaknai
Kematian (IMaN:2006), Jalan Rakhmat: Mengetuk Pintu Tuhan (Quanta:
1432H) dan lain-lain.
Judul-judul
buku yang dijadikan contoh di atas membuktikan paling tidak keahlian Kang Jalal
pada Psikologi, Fikih dan juga Tasawuf. Di samping beliau juga ahli dalam
Komunikasi, Retorika, Tafsir, Hadis dan juga sejarah.
Satu
lagi yang ingin saya ungkap adalah berkenaan dengan satu buku yang menurut saya
sangat unik. Judul buku itu adalah, Afkar Penghantar Sekumpulan Pengantar
(2016). Buku ini khusus memuat kata pengantar yang dimintakan kepada beliau
dalam kurun waktu yang cukup Panjang. Buku setebal 595 halaman ini memuat 55
tulisan dengan rincian 52 Kata Pengantar, 1 Kata sambutan dan 2 Epilog. Jika
kita setuju bahwa Kata Pengantar diberikan oleh orang yang ahli dalam bidang
tertentu sesuai dengan buku yang dimintakan kata pengantar, kitab bisa memehami
betapa luasnya lautan keilmuan Kang Jalal. Lihatlah di dalam buku itu dibagi ke
dalam beberapa sub, sub Berpikir (Buku-buku yang berkaitan dengan Otak). Bab
dua tentang Belajar (buku-buku yang berhubungan dengan manusia; Psikologi,
sejarah dan teori belajar). Bab Tiga tentang Beragama (buku-buku tentang
tafsir, Filsafat, Tasawuf, Fikih dan lain-lain). Bab Empat tentang Bahagia, bab
lima tentang Cinta dan bab terakhir tentang Ukhuwah.[9]
Menariknya,
bagi para pembaca Afkar, segera memahami bahwa buku itu bukan sebatas pengantar
asal jadi apa lagi penuh basa-basi. Pengantar itu adalah pengantar yang kaya
perspektif.
Ketiga,
Kang Jalal adalah pemikir yang juga sangat kontroversial sebagaimana Gus Dur
dan juga Cak Nur. Bedanya dengan Gus Dur dan Cak Nur, Kontroversialnya Kang
Jalal di jalan sunyi. Kontroversialnya Gus Dur tetap ada saja yang membelanya
dan beliau memiliki basis massa yang massif yaitu NU. Demikian pula halnya
dengan Cak Nur dengan HMI-KAHMI-nya dan juga kelas menengah perkotaan yang akan
membela Cak Nur. Lalu bagaimana dengan Kang Jalal. Kendatipun beliau awalnya
adalah tokoh Muhammadiyah yang kemudian “disebut Syi’ah”, namun Kang Jalal
tetap saja tidak punya basis massa yang solid. Sependek pengetahuan penulis beliau
pernah menyebut dirinya “Syi’i wa Sunni”, namun tidak pernah terdengar
keduanya menjadi barisan Tangguh di belakangan Kang Jalal. Justru beberapa
informasi yang penulis dapatkan, ketika
Kang Jalal dituduh Syi’ah dan pengajiannya dihentikan khususnya di Bandung, Gus
Dur dan Cak Nur adalah “penyelamat” Kang Jalal untuk tetap eksis dalam dakwah.
Kontroversi itu justru memperluas jangkauan Kang Jalal dan sekaligus menjadi
jalan bagi beliau untuk menembus Ibu Kota.[10]
Paling
tidak tiga argument di atas membuat penulis sulit membuat simpul pemikiran dan
Gerakan Kang Jalal. Ulil Abshar Abdalla menyebut Kang Jalal cukup berjasa dalam
meramaikan percakapan Islam di Indonesia. Zuhairi Misrawi menyebutnya sebagai
Ulama Ensiklopedis Mendunia, yang menunjukkan keragaman keahlian dan penguasaan
ilmu agama. Abdul Muqsith Ghazali
menyebut kang Jalal sebagai Intelektual yang bebas dan berani. Kang Kendatipun
banyak yang memuji Kang Jalal, tak satupun ada yang dapat menyimpul gagasan
besar Kang Jalal. Kang Miftah F. Rakhmat menyebut Kang Jalal sebagai
Intelektual yang membumi. Sebutan ini hemat penulis tepat, karena Kang Jalal
tidak saja intelektual yang berpikir dan menulis tetapi berbuat. Kang Jalal
mendirikan SMU Plus Muthahhari, Mendirikan Pusat Kajian Tasawuf Tazkia Sejati
di Jakarta, Pendiri IJABI dan lain-lain.
C. Membangun Jembatan Ukhuwah
Pada
beberapa karya Kang Jalal baik dalam bentuk tulisan ataupun transkip wawancara,
Kang Jalal sangat concern pada persoalan ukhuwah. Walaupun pada masa mudanya
sebelum berangkat ke Amerika dan bertemu dengan bang Imad (Imaduddin Abdul
Rahim yang menulis buku saku yang sangat terkenal Kuliah Tauhid), Kang Jalal termasuk
pengusung TBC-nya Muhammadiyah kala itu. Diceritakan ia berhasil menurunkan
Bedug di masjid kampungnya dan merubah azan Jum’at dari dua kali menjadi satu
kali. Tindakan Kang Jalal meresehkan orang kampung dan konflik di dalam
keluarga tidak terhindari. Tentu saja pada masa itu, kesadaran perlunya ukhuwah
dikalangan internal umat Islam belum muncul. Kang Jalal masih mendahulukan
Fikih dari Akhlak.
Agaknya
kesadaran ini muncul setelah Kembali dari Amerika dan Kang Jalal mulai
memperkenalkan pemikiran-pemikiran Syi’ah. Sebenarnya pintu masuk Kang Jalal
dalam memperkenalkan Syi’ah di Indonesia lewat pembelaannya terhadap kaum
tertindas, lemah tak berdaya, terpinggirkan, kelompok yang didiskriminasikan
dan kaum al-mushtad’afin lainnya. Pembelaan Kang Jalal terhadap kelompok
tersebut sangat jelas, tegas dan terang-terangan. Di samping itu, ia juga
bicara tentang system politik dan spiritualitas Syi’ah.
Perjalanan
panjangnya sebagai intelektual muslim dan juga sebagai pendakwah dan ini
membedakannya dengan Cak Nur dan Gus Dur, Kang Jalal menyadari pentingnya
membangun jembatan ukhuwah ketimbang membangun benteng pertahanan mazhab
sendiri-sendiri. Dalam konteks inilah, Kang Jalal masuk dari pintu akhlak.
Bukunya yang berjudul, Dahulukan Akhlak di atas Fikih sesungguhnya
adalah manifesto Kang Jalal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konflik dan
paling tidak meredakan ketegangan dikalangan internal umat Islam.
Fikih
yang pada awalnya adalah al-fahm (paham) dan karenanya dapat beragama
bergeser menjadi doktrin tunggal dan kemudian menjadi absolute. Pada titik ini,
pengikut mazhab fikih atau paling tidak pendapat fikih tertentu merasa dirinya
paling benar dan menganggap paham orang lain salah. Pemahaman fikih seperti ini
tidak akan bisa membawa kepada persaudaraan (ukhuwah), saling memahami dan
menghormati. Sebaliknya yang terjadi justru saling menyesatkan. Timbullah
benturan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Lewat
buku, Dahulukan Akhlak di atas Fikih (Mizan, 2002), di pengantar Edisi
Revisinya, Kang Jalal menuliskan sebagai berikut:
Sabtu, 21 Oktober 2006. Di Makkah Al-Mukarramah.
Tokoh-tokoh Sunni dan Syi’ah dari Irak dan dari delapan negara Islam lainnya
seorang demi seorang memberikan tanda tangannya pada Deklarasi Makkah. Di
belakang mereka ada gambar Ka'bah yang dikelilingi oleh ratusan ribu orang yang
bertawaf. Peristiwa ini disiarkan langsung oleh Al-Jazirah ke seluruh dunia.
Kedua mazhab besar dalam Islam saling mengakui dan saling memuliakan seraya
memutuskan saling pengakuan ini dalam deklarasi yang bersejarah. Inilah
muktamar besar pertama Sunni dan Syi'ah sejak 1947.
"Muslim ialah siapa saja yang bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan-Nya. Prinsip dasar ini berlaku sama
bagi Sunni dan Syi'ah tanpa kecuali. Kesamaan di antara kedua mazhab ini
berkali-kali lebih banyak daripada perbedaan dan penyebab perbedaannya.
Perbedaan di antara keduanya hanyalah perbedaan pendapat dan interpretasi dan
bukan perbedaan esensial dalam akidah atau substansi rukun Islam. Dari segi
syari ah, tidak boleh salah satu dari kedua mazhab itu mengucilkan,
membid'ahkan, atau dengan cara apa pun melemparkan kecaman pada keimanan dan
kepercayaan pengikut mazhab yang
lainnya, atas dasar sabda Rasulullah Saw:
"Jika salah seorang di antara kamu memanggil
saudaranya: Kamu kafir, salah seorang di antara mereka akan menjadi kafir dan
bertanggung jawab atasnya.
Darah, harta, kehor matan, dan harga diri Muslim adalah
suci berdasarkan ayat suci Al-Quran: Dan siapa saja yang membunuh orang beriman
dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal di dalamnya. Allah murka
kepadanva dan melaknatnya dan Allah mempersiapkan baginya azab yang besar. (QS
Al-Nisà ' [4]: 93)
….. karena itu, seorang Muslim, baik Sunni maupun Syiah, tidak
boleh dibunuh atau disakiti, dintimidasi, diteror, diserang atas kekayaannya;
tidak boleh juga diprovokasi untuk itu; tidak boleh dengan paksaan dipindahkan,
dideportasi, atau diculik."
Pada 3-4 April 2007, di Istana Presiden, Bogor,
Indonesia, para peserta Konferensi Internasional Pemimpin Islam untuk Rekonsiliasi
Irak, telah bertemu untuk membicarakan konflik Sunni-Syi ah di Irak dan
bertekad untuk mewujudkan rekonsiliasi secara penuh di antara bangsa Muslim
Irak dengan mempromosikan Islam sebagai Rahmatan lil "Alamin. Saya
beruntung mendapat kesempatan menjadi salah seorang peserta. Saya terharu
ketika Kaftaru, mufti Suriah yang Sunni, berkata,' "Kalau Syl'ah berarti
menentang penindasan Amerika di mana pun, kita semua adalah Syi'ah. Jika Sunni
jalah melawan kezaliman Israel, maka kita semua Sunni."[11]
Saya
sengaja mengutip Kata Pengantar Kang Jalal ini sangat Panjang, agar kita bisa
merasakan suasana batin Kang Jalal. Merasakan getaran jiwa sekaligus
keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam dunia dan juga di Indonesia.
Ukhuwah yang diharap kan dapat menciptakan perdamaian, harus menjadi perhatian
semua pihak tanpa kecuali. Orang bisa berbeda dalam pendapat dan pandangan
fikih, namun orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks inilah, keberadaan
Akhlak menjadi mutlak dan niscaya.
Saya
Kembali ingin mengutip tulisan Kang Jalal di dalam bukunya, Islam dan
Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan: (Serambi: 2006).
“Karena itulah kemudian saya berpikir bahwa sebenarnya
ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua yaitu akhlak. Dalam bidang
akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Lalu saya punya
pendirian: Kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fikih, saya akan
dahulukan akhlak. Kalua datang ke Jama’ah NU yang qunut Shubuh, demi ukhuwah
dan memelihara akhlak di tengah-tengah saudara saya, saya akan ikut qunut,
walau saya misalnya orang Muhammadiyah yang tidak qunut. Tetapi ketika
bergabung dengan orang-orang Muhammadiyah, saya mungkin tidak qunut demi
menghargai jama’ah sekitar saya.[12]
Tentu
saja memperdebatkan fikih boleh dalam rangka menemukan kebenaran atau yang
paling benar. Namun upaya itu menjadi sia-sia jika diiringi dengan syahwat untuk
saling mengalahkan dan lebih jauh dari itu mempermalukan orang lain. Debat
dalam fikih juga mensyaratkan keterbukaan dan empati terhadap cara berpikir
(manhaj) kelompok lain. Tanpanya debat hanya menjadi ajang unjuk kebodohan dan
ketotolan.
Komitmen
Kang Jalal untuk membangun jembatan ukhuwah, hemat penulis tidak perlu
diragukan lagi. Kang Jalal telah memulainya dengan cara mengkomunikasikan
pemikiran SYi’ah dengan cara yang santun dan beradab. Sulit untuk mencari bukti
bahwa beliau sedang bekerja untuk mensyi’ahkan orang lain. Kesaksian muridnya
cukup dijadikan bukti untuk pernyataan ini. Beliau hanya ingin membuka ruang
dialog yang diharapkan masing-masing pihak bisa memahami. Sama halnya dengan
Ustaz Quraish Ketika menulis tentang Sunni dan Syi’ah. Misinya tetap sama dalam
rangka membangun jembatan ukhuwah dan menghancurkan tembok-tembok yang membuat
kita saling bertahan dan sesekali bersiap untuk menyerang orang lain.
D. Kang Jalal dan
Rekayasa Sosial yang Belum Selesai !
Lepas
dari diskusi tingkat tinggi yang dihidangkan Kang Jalal di dalam buku tersebut,
saya menemukan satu hal yang luar biasa. Perhatikanlah judul-judul bahasan Kang
Jalal, Karakteristik Paradigma Fikih, Karakteristik Paradigma Akhlak, Dari
Syari’at ke Fikih, dari Ikhtilaf ke Khilaf, Dahulukan Akhlak dan
sebagainya. Apa yang ingin dicapaik Kang Jalal dari tema-tema itu.
Sebelum
menjawab masalah di atas, saya ingin kemukakan satu hal lagi karya Kang Jalal
yang berjudul, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi (Rosda: 1999).
Buku ini sudah dicetak ulang dengan tampilan terbaru yang diterbitkan oleh
Simbiosa; 2021. Perhatikan bab-bab dalam buku itu. Kang Jalal memulainya dengan
membahas Kerancuan Berpikir dan Mitos yang dimulai dengan kesalahan berpikir
dan mitos-mitos so(cial. Pertanyaannya adalah mengapa dalam buku Rekayasa
Sosial, Kang Jalal memulainya dengan “membenahi” logika, cara bernalar dan
tentu saja cara berpikir.[13]
Saya
ingin membandingkan dengan buku terbaru Fahruddin, Faiz Filosof muda yang
mengisi kajian Filsafat di Masjid Jenderal Soedirman di Jogjakarta. Judul buku
itu, Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical
Fallacy. Di Pengantarnya ia menulis
beberapa pasal penting:
Pasal 1: Manusia adalah binatang yang berakal budi.
Pasal 2: Barang siapa yang ingin belajar berpikir
runtut, jernih dan dapat dipahami, logika adalah kunci.
Pasal
3 : Logika menuntun Manusia berpikir dengan benar, menemukan dasar keputusan
paling masuk akal, dan mendeteksi salah-cacat dalam mengambil kesimpulan.
Pasal
4 : Logika menjadi penopang kehidupan manusia sepanjang sejarah dalam membangun
peradabannya.
Pasal
5 : Berpikir juga bisa salah, itulah mengapa kita harus serius belajar logika,
juga mengenali jenis kesalahan berpikir.
Bertitik
tolak dari apa yang dijelaskan Fahruddin Faiz, saya kira kita bisa mengerti dan
memahami mengapa Kang Jalal membahas isu-isu penting itu dengan terlebih dahulu
merubah paradigma berpikir, menggeser mind set dan juga cultur set.
Sulit untuk membantah, tidak mungkin, membangun ukhuwah, saling memahami antara
Sunni dan Syi’ah, apabila paradigma berpikir kita tentang Fikih belum tepat.
Bagaimana mungkin kita melakukan perubahan sosial jika cara berpikir dan
menalar kita belum tepat. Dan ini adalah kerja besar. Merubah cara berpikir
dari mitos ke logos itu adalah kerja besar. Ini adalah kerja peradaban.
Saya
teringat dengan Prof. Fadhil dalam satu kuliahnya mengatakan, “Merubah gadis
kampung yang lugu menjadi gadis metropolitan atau gadis atau ibu-ibu sosialita
itu mudah sekali. Tinggal bawa ke salon dan ke butik. Dalam waktu satu dan dua
jam, gadis yang lugu dan polos itu akan berubah. Persoalannya adalah, apakah
mind set dan cultur setnya akan berubah juga ?. Sama merubah IAIN menjadi UIN
itu dari segi fisik hanya persoalan uang atau biaya. Gedung semegah apapun bisa
dibangun. Namun membangun tradisi intelektual, menumbuhkan budaya akademik
(kultur akademik) sebagaimana layaknya sebuah universitas, itu tidak mudah.
Perlu usaha keras dan waktu yang Panjang. Namun jika berhasil, maka manfaatnya
akan besar dan dapat merubah wajah dunia.
Sampai
di sini, saya ingin mengatakan apa yang dilakukan Kang Jalal selama hidupnya
sebenarnya adalah kerja-kerja peradaban. Menjadikan Islam sebagai lokomotif
peradaban dunia. Hal ini pulalah yang dilakukan Cak Nur dan Gus Dur selama
hidupnya. Kerja peradaban ini tidak bisa dilakukan satu atau dua generasi.
Melainkan antar generasi. Oleh karena itu, kerja-kerja peradaban ini harus
dilanjutkan oleh generasi hari ini. Boleh lewat jalur Cak Nur, atau jalur Gus
Dur atau Jalur Kang Jalal, seperti yang dikakukan IJABI. Jalur manapun yang
kita tempuh itu hanyalah thariqah atau jalan saja. Yang terpenting setiap orang
harus menghormati sebagaimana ketiga tokoh itu juga saling menghormati dan
menghargai kendatipun mereka memiliki cara pandang yang berbeda namun tetap
memiliki persamaan yang jauh lebih besar.
E. Penutup
Saya
tidak tahu persis berapa banyak karya Kang Jalal, kendatipun saya merasa
memiliki lebih dari separuh karya-karya Kang Jalal baik dalam bentuk buku, buku
antologi ataupun artikel-artikel di jurnal-jurnal ilmiah. Luasnya spektrum berpikir Kang Jalal ini
membuat Kang Jalal tokoh unik. Saya mengatakan Kang Jalal memiliki kemampuan
integrative, memadukan ilmu umum dan agama dengan sangat baik. Oleh karena itu,
contoh atau model integrasi sains dan agama itu ada pada sosok Kang Jalal. Oleh
karena itu kajian terhadap pemikirannya menjadi niscaya baik dalam bentuk buku,
skripsi, tesis ataupun disertasi.
Disamping
itu, Keunikan Kang Jalal lainnya adalah, sebagaimana telah penulis kemukakan, kemampuan
menulisnya dengan kemampuan retorikanya sama baiknya. Membaca buku Kang Jalal
terasa sekali seakan-akan ia sedang berbicara atau berceramah di depan kita.
Mendengarkan audio atau melihat video ceramahnya, juga seakan kita mendengar
Kang Jalal sedang membaca tulisannya. Pilihan kata atau diksinya juga sangat
baik.
Sungguh
kita benar-benar kehilangan tokoh besar. Tugas kita adalah melanjutkan
pemikirannya dan tentu saja mengembangkan dan mengkritiknya jika ada yang perlu
dikritik. Semoga Allah mengampuni salah dan khilafnya dan membalas amal baik
dan kesalehan intelektualnya.
Billahittaufiq wa Alhidayah,
[1] Pengantar
Diskusi dalam Rangka Haul I K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Si yang
diselenggarakan oleh Yayasan Islam Abu Tahlib, Medan tanggal 15 April 2022.
[2] Pendiri
Bengkel NDP HMI, Peminat Kajian-Kajian Keislaman dan Dosen UIN SU Medan.
[3] Lihat,
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktua; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim,
Bandung: Mizan, 1991
[4][4][4] Buku ini
sebenarnya lebih dulu terbit dari Islam
Aktual. Cetakan pertamanya tahun 1986 dan kala itu saya masih menjadi mahasiswa
MAPK di Padang Panjang Sumbar. Buku yang ada pada saya cetakan ke V Tahun 1993.
Namun agaknya Islam Aktual memiliki momentum tersendiri untuk melejitkan nama
Kang Jalal. Lihat, Jalaluddin Rakhmat, Islam ALternatif: Ceramah-Ceramah di
Kampus, Bandung: Mizan, 1993.
[5] Jalaluddin
Rakhmat, Tafsir bil Ma’stur: Pesan Moral Al-Qur’an, (Remaja
Rosdakarya:1993)
[6] Buku ini
terakhir diterbitkan oleh Simbiosa. Di cover depan tertulis Edisi Revisi dan
Best Seller. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung:
Simbiosa, 2018
[7] Cermati
karya Kang Jalal yang berjudul, Doa bukan Lampu Aladin (Serambi,
2012) dan Tafsir Kebahagiaan
(Serambi) yang kemudian diterbitkan ulang dengan penggabungan dua buku,
Jalaluddin Rakhmat, Do’a dan Kebahagiaan: Etika Memohon Kepada Allah dan
Menyikapi Kesulitan Hidup, Tangerang: Baca, 2021.
[8]Lihat M.
Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: PAramadina, 1995. Bandingkan
dengan Budhy Munawwar Rachman, “ Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah:
Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
No 3 Vol IV Tahun 1995, h. 4-29
[9] Jalaluddin
Rakhmat, Afkar Penghantar Sekumpulan Pengantar, Bandung: Nuansa, 2016.
[10] Dedy
Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik, Abdurrahmah Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid,
Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, h. 139-156.
[11] Jalaluddin
RAkhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, h.
[12]
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan:
(Serambi: 2006).
[13] Jalaluddin
Rakhmat, Rekayasa SOsial: Reformasi, Revolusi, dan Relasi Media-Agama atas
Kuasa, Bandung: Simbiosa, 2021.