Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala
Muhammad wa Ali Muhammad
Dari Imam Hasan
al-Askari as: “Barangsiapa yang tidak memulai urusan dengan ‘basmalah’, Allah akan
uji dia dengan sesuatu yang tak disukainya.”
Keutamaan membaca nama Allah sebelum melakukan sesuatu tersebar di berbagai riwayat. Buka saja kitab tafsir apa pun, kemudian pada bagian pertama membahas Al-Fatihah, selalu ada penggalan riwayat tentang keutamaan membaca basmalah; keutamaan mengawali kegiatan dengan nama Allah Swt; atau keberkahan dalam nama-nama Tuhan itu.
Ada yang menceritakan
bahwa pada basmalah ada dua nama Allah: jalaaliyyah dan jamaaliyyah.
Lafaz jalalah “Allah” yang menunjukkan keagungan, kekuasaan,
dan kebesaran Allah Swt. Dan ada “ar-rahman ” dan “ar-rahim ”
yang menunjukkan keluasan kasih sayang Allah Swt. Ada juga pendekatan irfani
yang mengisahkan pengandaian:
bahwa semua isi
Al-Qur’an dapat terkandung dalam Al-Fatihah. Dan semua isi Al-Fatihah
terkandung dalam kalimat basmalah. Dan—yang paling ekstrim—semua basmalah
terkandung dalam “nuqtah tahta al-baa`” titik di bawah huruf “ba ”.
Wallahu a’lam.
Tulisan ini singkat.
Tidak hendak membahas yang berat-berat. Apalagi tentang penafsiran
batiniah titik di bawah ba itu. Tulisan ini hanya ingin
menjawab pertanyaan: dengan sejumlah keutamaan basmalah itu, mengapa Surat
Al-Taubah tidak diawali dengannya?
Tentulah jawaban
sederhana: “Dari Tuhannya sudah begitu. Kalau mau tanya, tanya sama Tuhan.”
Bila kita cukup puas dengan jawaban itu, niscaya semua hal tidak perlu lagi
dipertanyakan. Mengapa Al-Qur’an turun dalam Bahasa Arab? Mengapa ia mudah
dihapal dan dilafal orang?
Mengapa dalam Al-Qur’an
kata malaikat dan setan disebut dengan jumlah yang sama: 88 kali? Mengapa kata
“daratan” dan “lautan” semisal perumpamaan daratan dan lautan di muka bumi?
Mengapa kata-kata “Imam, yang terpilih, bintang, washi, khalifah, yang
disucikan, saksi, raja, wakil dan seterusnya...” semua berjumlah dan masing-masing
(dengan seluruh derivasinya) disebut sebanyak 12 kali? Mengapa dan mengapa?
Jawaban kita: “Dari
Tuhannya sudah begitu. Kalau mau tanya, tanya sama Tuhan.”
Mengapa dalam penulisan
Arab, jumlah huruf dalam “Laa ilaaha illa Allah ”, ada 12 buah?
Mengapa huruf dalam “Muhammad Rasulullah” juga ada 12 buah? Mengapa, mengapa
dan mengapa?
Di antara mengapa
itulah, Surat Al-Taubah yang tanpa basmalah. Biasanya, inilah domain
kajian-kajian dalam ‘Ulumul Quran: menguak misteri dan rahasia begitu banyak
‘mengapa’ dalam Al-Qur’an.
Cukuplah bagi kita Surat
Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran,
ataukah hati mereka terkunci ?”
Kata memperhatikan yang
digaris bawahi diterjemahkan dari bahasa ‘Arab: tadabbur ,
yang artinya: refleksi, meditasi, perenungan, dan pencarian jawaban dari setiap
permasalahan kita. Dalam bahasa yang lain: inilah proses mempertanyakan begitu
banyak ‘mengapa’ dalam Al-Qur’an.
Lalu, mengapa Al-Taubah
tanpa basmalah?
Tentang Basmalah
Ada 114 surat dalam
Al-Quran. Semuanya diawali dengan basmalah. Kecuali Surat Al-Taubah.
Meski demikian, keseluruhan lafaz basmalah tetap berjumlah 114 dalam Al-Qur’an:
113 pada awal surat, dan satu kali disebut di Surat Al-Naml ayat 30. Di tengah
kaum Muslimin, terdapat dua pendapat tentang basmalah di awal surat. Ada yang
menyebutkannya bagian ayat.
Seperti basmalah menjadi
ayat yang pertama dalam Al-Fatihah. Bukankah Al-Fatihah berisi tujuh ayat?
Bukankah ia disebut sab’ul matsani (tujuh yang berpasangan)?
Basmalah adalah ayat yang pertama.
Pada selain Al-Fatihah,
ada yang menyebut basmalah ayat pertama, ada juga yang merangkainya dengan
kalimat selanjutnya sebagai yang pertama: misalnya “Bismillahirrahmanirrahim.
Alif laam raa (1)” dan seterusnya. Karena itulah, bisa terjadi perbedaan
penjumlahan ayat Al-Quran bergantung pada pendekatan memahami atau meletakkan
basmalah sebagai ayat.
Dalam
Al-Fatihah—bagaimana pun—semua umat sepakat bahwa basmalah adalah ayat yang
pertama. Uniknya, ada sebagian di antara Kaum Muslimin yang tidak menjaharkan
bacaaan basmalahnya ketika shalat.
Setelah iftitahiyyah ,
mereka mengeraskan bacaan Al-Fatihah dari ayat kedua: alhamdulillahi
rabbil ‘aalamin ...dan seterusnya. Mudah-mudahan sah. Itu bagian
kajian para ahli fikih. Karena, berdasarkan hadis “Tidak sah shalat orang yang
tidak membaca Fatihat al-Kitaab .”
Maka, bila Al-Fatihah
tidak dibaca, tidaklah sah shalat kita? Masihkah sah, bila Al-Fatihah yang
kita baca tidak lengkap? Atau jika ia kurang satu ayat? Misalnya, kita baca
tanpa basmalah, atau tanpa ayat yang terakhir?
Asbabun Nuzul Al-Taubah
Surat Al-Taubah menjadi
istimewa karena ia hadir tanpa basmalah. Pada tahun kesembilan setelah hijrah
Nabi Saw, ayat-ayat pertama surat ini diturunkan. Ia turun di Madinah,
karenanya disebut madaniyyah. Tapi ia dibaca pertama kali di Makkah.
Bagaimana bisa? Ketika
turun ayat ini, musim haji pasca perjanjian Hudaybiyyah tengah berlangsung.
Nabi Saw tidak berangkat memimpin jamaah. Diutuslah Abu Bakar untuk menemani
kafilah. Inilah tugas pertama Abu Bakar sebagai pimpinan rombongan. Di Dzat
al-Salasil, ia ikut di bawah komanda Amr bin ‘Ash.
Demikianlah sejarah
mencatatnya. Nabi Saw sendiri tinggal di Madinah tahun itu dan baru berhaji
setahun kemudian. Setahun sebelumnya, Makkah sudah ditaklukkan. Ka’bah sudah
dibersihkan dari ratusan berhala yang mengitarinya. Adalah Ali yang naik di
atas punggung Nabi untuk menghancurkan berhala terbesar kala itu. Bila bukan
karena titah Nabi, manalah berani menapak pundak yang suci itu.
Ketika jemaah tengah berangkat ke Makkah itulah turun ayat-ayat pertama Surat
al-Taubah: (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan
Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yng kamu (kaum
Muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu
(kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah
menghinakan orang-orang kafir .
Nabi Saw kemudian memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menyusul rombongan. Ali memacu kudanya
dengan cepat. Dan berhasil bergabung bersama jamaah tepat sebelum mereka sampai
di Makkah. Sempat ada sedikit dialog antara Ali dan Abu Bakar. Perihal siapa
yang diperintahkan membacakan ayat-ayat Tuhan itu. Menurut Ibnu Ishaq dan
Muhammad Haykal, Nabi Saw bersabda: “Bacakan ayat-ayat pertama Al-Taubah ini
pada hari pengurbanan di Mina.”
Segera setelah ayat-ayat awal itu dibacakan, Ali kemudian berkata:
“Sesungguhnya aku adalah utusannya Utusan Tuhan Semesta Alam (ana rasuulu
rasuuli Rabbil ‘Aalamin) . Aku telah diperintahkan untuk menyampaikan
kepadamu bahwa tidak ada penyembah berhala yang akan masuk surga. Tidak ada
orang kafir dan musyrik yang boleh datang dan berhaji. Tidak boleh ada yang
tawaf dalam keadaan telajang. Siapa pun yang punya perjanjian dengan Sang Nabi,
akan ditepati hingga waktunya. Empat bulan masa bagi setiap kabilah untuk
kembali ke kampungnya dengan aman. Setelah itu, kewajiban Sang Nabi pada kalian
telah usai.”
Ali membacakan ayat-ayat itu kepada orang-orang kafir. Sejak saat itu, rumah
Tuhan disucikan dari orang yang tak beriman.
Setahun sebelumnya, Ali membersihkan rumah Tuhan dari berhala-berhala yang
sudah ada sejak masa sebelumnya. Kini, Ali membersihkan rumah Tuhan dari
berhala-berhala yang akan datang kemudian.
Menurut Sayyid Ali Asghar Rizvy, Ali telah mengemban misi Sang Nabi. Menurut
ayat-ayat Al-Qur’an, misi seorang Nabi adalah: membacakan ayat Tuhan
untuk manusia , membimbing mereka dengan hikmah, mensucikan mereka,
dan memberikan pada mereka pengetahuan (rujuk ayat-ayat QS. 2:151;
3:164; dan 62:2). Dalam banyak ayat lainnya, membacakan ayat Tuhan untuk
manusia tidak pernah terpisahkan dari tugas kenabian.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa basmalah?
Beberapa pendapat. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat
Surat sebelumnya di dalam penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an sekarang ini. Yaitu
surat Al-Anfal. Berikut dua pendapat berkenaan dengan tiadanya “basmalah”
dikaitkan dengan posisi surat. Menurut Ubay bin Ka’ab, surat Al-Taubah tanpa
basmalah karena ia didekatkan dengan surat Al-Anfal. Yang satu berkisah tentang
orang-orang yang menepati janji dan kisah tentang perjanjian-perjanjian,
sedangkan yang kedua bercerita tentang orang-orang yang melanggar janji.
Pendapat kedua yang tidak sepenuhnya berbeda dari Utsman yang mengisahkan
kemiripan cerita di antara kedua surat itu. Yang pertama orang yang terikat
janji. Dan yang kedua (surat Al-Taubah) tentang orang-orang yang dilepaskan
atas mereka janji.
Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa ayat itu turun untuk menunjukkan
“lepasnya” perlindungan Allah dan Rasulnya dari orang-orang kafir dan musyrik.
Dengan tiadanya perlindungan itu, maka dilarang bagi selain orang yang beriman
untuk tawaf dan berputar di sekitar rumah Allah Swt.
Tapi ada juga yang mengartikan lain. Yaitu berdasarkan riwayat dari beberapa
sahabat. Hudzaifah di antaranya. Ia berkata: “Bagaimana mungkin ia disebut
surat Al-Taubah? Ia lebih tepat disebut Surat azab.” Dari Said bin Jubair, ia
berkata: aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang surat Al-Taubah. Ibnu Abbas
menjawab: “Itu surat yang menyingkap rahasia-rahasia. Tidak henti-hentinya ia
turun, kecuali ada di antara rahasia kami yang diungkapnya. Sampai kami takut
bahwa tiada (rahasia) yang tersisa dari seorang pun di antara kami. (semua
keterangan di atas dinukil dari Tafsir Al-Tibyan , Syaikh
Thusi, juz lima bagian surat Al-Taubah).
Berdasarkan keterangan-keterangan dari para sahabat itu, Surat Al-Taubah adalah
Surat yang sangat ‘keras’. Ditujukan pada orang-orang kafir, tapi juga
ditujukan pada sahabat-sahabat Nabi Saw. Konon, karena ‘keras’nya ayat-ayat di
dalamnya, maka ia tidak diawali dengan nama Allah yang maha kasih maha sayang.
Kata bara’ah di awal surat juga menunjukkan sebuah aksi
melepaskan diri dari perilaku orang-orang musyrik dan zalim. Karena ia
dibacakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw di musim haji, jamaah Iran
menyertakannya dalam ritual haji mereka. Menurut fatwa para marja’nya, dalam
ibadah haji—yang merupakan puncak ibadah kaum Muslimin—selalu harus ada
pelepasan diri dari perilaku aniaya, dan mengecam kezaliman yang berlaku di
muka bumi. Pada ibadah haji harus ada perlawanan terhadap kezaliman,
penentangan terhadap kemusyrikan, dan pelepasan diri dari segala sesuatu yang
jauh dari perlindungan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tahun 1987 pernah
menjadi tahun tragedi ketika para jemaah haji Iran yang hendak meneriakkan
yel-yel anti kezaliman (berdasarkan semangat surat ini) diberondong timah panas
oleh para tentara karena dianggap melakukan kerusuhan.
Penutup . Meski Surat Al-Taubah tidak diawali dengan basmalah (dan
kita hanya mampu menangkap sedikit saja kemungkinan rahasianya), tetapi surat
ini diakhiri dengan sangat indah. Setelah di awal berisi pelepasan, di tengah
tersebar berbagai kecaman, di akhir surat itu dengan indah ditutup oleh sebuah
ayat kebahagiaan. Ayat kasih sayang, ayat kerinduan.
Inilah dua ayat yang menutup Surat yang keras itu. Surat yang mengguncangkan
para sahabat. Surat yang menghempaskan orang-orang kafir dan musyrik. Surat itu
ditutup dengan ayat-ayat berikut ini: “Sungguh telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Ia sangat
menginginkan kamu bahagia. Amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang
yang beriman. Bil mu’miniina raa`ufur rahiim”
“Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tiada Tuhan
selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal, dan Dialah Tuhan yang memiliki
‘Arasy yang agung.”
Maha benar Allah yang Maha agung.
Ya Allah, di ujung ayat-ayat yang menggoncangkan itu, di akhir surat yang
disebut Hudzaifah dengan Surat Azab, yang diingatkan oleh Ibnu Abbas dengan
kesedihan dan kekuatiran, Ya Allah Engkau kisahkan tentang seorang Nabi dari
tengah-tengah kami, yang begitu besar belas kasihnya. Begitu ingin kami
bahagia. Begitu berat bila kami menderita.
Boleh jadi surat itu tidak diawali dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang,
tapi ia diakhiri dengan nama kekasih hati yang penuh rindu penuh sayang. Ia
tidak diawali dengan “Al-Rahman dan Al-Rahim ”
tapi ia diakhiri dengan “Al-Ra`uf dan al-Rahim ”
Salam dan rindu kami bagimu Ya Rasulallah, dan bagi utusanmu pembaca Surat
Al-Taubah, dan bagi setiap umatmu yang menyertakan namamu, setelah basmalah
dalam setiap urusan mereka. ***
KH Miftah F.Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura IJABI