07/03/22

Follow The Money! Mengurut Akar Keluruhan Peradaban Kita [by Haidar Bagir]

Follow the money! Demikianlah prinsip yang "meledek", sekaligus mengandung kebenaran, yang biasa diungkapkan orang sebagai resep yang selalu manjur untuk mencari sumber permasalahan apa pun dalam hidup ini. Memang agak materialistik, tapi siapa berani bilang bahwa di masa kini materialisme memang sudah menguasai segala sendi kehidupan? Lalu menjadi sumber semua masalah peradaban? Masalah kehilangan kebahagiaan pada diri manusia modern? Tergantikan oleh berbagai penyakit kejiwaan: depresi dan kecemasan (anxiety).  

Lihat betapa kehidupan keluarga yang seharusnya merupakan sumber kasih sayang berubah menjadi sumber problem-problem yang menyengsarakan? Juga pekerjaan yang seharusnya menjadi sarana aktualisasi diri yang menyenangkan malah menjadi tekanan-tekanan hidup yang melahirkan penderitaan? Bagaimana seorang ayah harus membanting tulang hingga mengalami burn out dan kehilangan waktu bagi keluarganya? Meski tentu perempuan sama berhak untuk bekerja, sekarang ibu bekerja pun mengalami hal yang sama karena kebutuhan-kebutuhan artifisial - yang terus direkayasa - sering tak bisa dicukupi oleh satu orang tua bekerja?  

Demikian pula, persaingan "menggorok leher" (cut throat) dalam bisnis, yang menyebabkan karyawan harus tunggang langgang mengejar target yang ditetapkan bos mereka, yang seringkali tak manusiawi dan menimbulkan stress berat? Belum lagi jika sang bos otoriter dan tak punya rasa empati? Kita masih bisa mendaftar ilustrasi-ilustrasi lain tentang problem-problem peradaban kita sekarang. Termasuk di antaranya adalah krisis ekologis yang parah, yang diakibatkannya. Tapi, dua contoh di atas saya kira cukup untuk keperluan tulisan ringkas dan sederhana ini.  

Tidak selalu, memang, tapi biasanya hampir selalu ada orang-orang serakah di balik semua ini. Kalau bukan kita sendiri, di ujungnya pasti ada kaum kapitalis-materialistik yang loba dan tamak, yang mau mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bagi perutnya sendiri, meski untuk itu dia harus mengeksploitasi banyak orang agar bekerja "bagai kuda". Dengan kata lain, harus kehilangan kemanusiaannya. Belum lagi untuk melakukan itu semua, orang-orang serakah ini tega-tega saja menipu orang banyak dengan iming-iming yang juga mengimbau keserakahan sebagai instink primitif manusia. Belum lagi para penguasa penindas dan semua aparat-pemaksanya yang korup, karena instink kehewanan yang sama, yang menyedot harta orang dengan senjata kekuasaan mereka.  

Sayangnya, belakangan, keterampilan menipu orang-orang ini sudah jauh lebih canggih lagi. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, sekarang mereka bisa menyalahgunakan kegiatan jual beli saham (sampah), perdagangan berjangka tipu-tipu, perdagangan mata uang kripto (bukan sekadar sebagai nilai tukar), NFT (akal-akalan), dan berbagai permainan uang atau bisnis monyet sejenis. Termasuk di dalamnya merekayasa opini orang banyak dengan model-model pakaian yang fashionable agar diikuti seluruh dunia, dengan dalih berasal dari disainer-disainer top Paris. Bisa juga aliran musik baru, dan berbagai hal fashionable lainnya. 

Dan media sosial, di tengah berbagai manfaatnya, justru menjadi senjata ampuh pemusnah massal dalam mereka meraih sukses gilang-gemilang melaui kejahatan komersial mereka.  

Akhirnya ketika keuntungan sudah berlimpah mereka kumpulkan, dan uang orang banyak sudah bisa mereka sedot habis-habisan, lalu para bandit yang dielu-elukan orang ini pun lari "colong playu tinggal gelanggang". Selebihnya banyak orang gigit jari dalam kesedihan. Dalam kerugian, dan ketidakbahagiaan. Bukan tak ada salah kita juga. Tapi, sambil kita membina diri untuk tetap bisa menjaga kehiduoan kita dalam level kebersahajaan, lalu membiarkan kebahagiaan terus menyapa diri dan kekuarga kita, mari rame-rame kita kucilkan para bandit peradaban ini.  

Follow the money! Kita urut semuanya hingga kita temukan  mereka hingga di sarang-sarang persembunyian mewah mereka, para perusak peradaban dan kebahagiaan manusia ini, lalu kita "habisi". Agar manusia bisa mendapatkan kembali hak mereka untuk hidup sebagai manusia. Sebuah dunia yang di dalamnya para penghuninya bisa hidup puas sebagai manusia, yang sebelum yang lain-lain adalah makhluk berjiwa dan beruhani, bukan cuma daging, atau mesin pemuas keserakahan orang lain saja, lalu menikmati hidup bahagia bersama keluarga, tetangga, sahabat, dan teman sekerja. Utopia? Bisa jadi. Tapi setidaknya dengan utopia ini kita tahu ke mana perjuangan kemanusiaan ini harus di bawa. Tanpa pemahaman ini maka, seperti sekarang, kita hanya akan terbawa arus deras samudera, atau gergasi besar, yang hanya akan membawa kita ke ngarai curam, atau kepada keterpecahan-keterpecahan yang hanya akan menghancurkan semuanya. Tuhan tolong kita. ***