21/04/22

Ali bin Abu Thalib, Menjadi Khalifah hingga Wafat

Setelah wafat Khalifah Utsman bin Affan,[1] pemerintahan Islam di Madinah kosong dari jabatan khalifah. Kaum Muslim saat itu menyadari akan timbulnya situasi gawat akibat tidak adanya khalifah Islam yang memegang kendali pemerintahan pusat. Umat Islam di Madinah sepakat memilih Ali bin Abi Thalib dan membaiatnya di Masjid Nabawi (Madinah Al-Munawwarah). Sahabat Nabi yang membaiat di antaranya: Thalhah bin Ubaidillah,  Zubair bin Awwam, kaum Muhajirin, dan kaum Anshar. Sedangkan mereka yang menolak baiat adalah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.

            Pembaiatan ini bisa dianggap momentum yang ditunggu-tunggu oleh pengikut Ahlulbait yang sejak wafat Rasulullah saw tidak memiliki kekuatan dalam politik. Pascawafat Rasulullah saw kepemimpinan dan pemerintahan Madinah dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan. Meski secara nash bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai washi dan mawla, tetapi alasan perdamaian dan persaudaraan di antara umat Islam tampaknya yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib sehingga tidak mengambil jabatan khalifah sesuai dengan ketetapan di Ghadir Khum, pada 18 Zulhijjah 11 Hijriah, oleh Rasulullah saw. 

 Awal memerintah, Khalifah Ali bin Abi Thalib membagikan harta ghanimah dari baitul mal secara adil kepada haknya dengan tidak membedakan antara budak dan sahabat dalam membagikannya. Kebiasaan khalifah sebelumnya yang memberikan harta lebih besar kepada sahabat Nabi saw, keluarga, dan pegawai pemerintah diubahnya. Semuanya sama mendapatkan tiga dinar. Khalifah Ali bin Abi Thalib juga menyusun sistem yang Islami dengan membentuk gerakan spiritual dan menertibkan aparatur pemerintahan.[2]

Penguasa-penguasa daerah yang selama enam tahun terakhir masa pemerintahan Utsman terbukti menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Marwan bin Al-Hakam dan Abdullah bin Abi Sarah dipecat dari kedudukkannya dan Muawiyah dipecat dari jabatan Gubernur Syiria. Tindakan ini membuat mereka marah dan berujung terjadinya Perang Jamal, Perang Shiffin, dan Nahrawan.

Menurut H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, perang antara umat Islam ini dipicu oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang menyatakan Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan tokoh dibalik kematian Utsman bin Affan. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Al-'Awwam menolak undangan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk membahas gerakan makar yang dilakukan Muawiyah. Keduanya malah pergi ke Makkah dan bergabung dengan Aisyah. Setelah mendengarkan penjelasan keduanya, Aisyah menyatakan kecewa dengan diangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Islam. Aisyah berkata, “Utsman mati terbunuh secara teraniaya. Oleh karena itu, adalah kewajiban kaum Muslim untuk menuntut balas atas kematiannya. Khalifah pengganti Utsman harus dilakukan pembaiatannya dalam suasana tertib dan damai.”

Thalhah dan Zubair mengajak Aisyah untuk menjatuhkan Ali bin Abi Thalib. Aisyah menghimpun orang-orang Makkah dan mencari dukungan ke Bashrah. Kemudian tersusunlah kekuatan penentang Khalifah Ali bin Abi Thalib dan hendak memaksanya melepaskan jabatannya. Dengan bantuan bekas-bekas pejabat yang dipecat, dukungan orang-orang Quraisy yang masih menyimpan rasa sakit hati, dan diperkuat dengan kehadiran Aisyah, terhimpunlah pasukan bersenjata berkekuatan 3.000 orang.

H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini dalam buku Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra, Bab X (Benih-benih Peperangan Saudara, subbab persiapan Thalhah dan Zubair) menjelaskan bahwa sikap Zubair menentang Ali bin Abi Thalib ini karena Muawiyah bin Abu Sufyan menyampaikan surat pembaiatan penduduk Syam (Syiria) terhadapnya.

Dalam surat itu, Muawiyah bin Abu Sufyan menulis:

 “Bismillaahir Rahmanir Rahim. Kepada hamba Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Salamun' alaika, ammaa ba' du: penduduk Syam telah kuajak bersama-sama membait'at anda. Mereka menyambut baik dan semuanya taat. Begitu taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja yang belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi Thalib. Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Aku juga sudah membai'at Thalhah bin Ubaidillah sebagai pengganti Anda di kemudian hari. Oleh karena itu hendaknya kalian supaya terang-terangan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan kerahkanlah semua orang ke arah itu. Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat bergerak. Allah akan memenangkan kalian dan tidak akan membantu musuh kalian.”

 

Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah, Zubair, dan pasukannya kemudian bergerak untuk memerangi pasukan Islam. Di tengah jalan, di daerah Haw’ab, Aisyah mendengar lolongan anjing-anjing. Mendengar itu, Aisyah teringat sabda Nabi Muhammad saw yang berpesan agar istri-istrinya terhindar dari lolongan anjing di Haw’ab. Aisyah pun berniat pulang, tetapi Abdullah bin Zubair beserta rombongan meyakinkan Aisyah bahwa daerah itu bukan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad saw.[3] 

Bertemulah dua pasukan di Bashrah pada Jumadits Tsani 36 H. Sebelum perang berkecamuk, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim Ibnu Abbas kepada pasukan Aisyah untuk menawarkan perdamaian. Kepada Ibnu Abbas, Aisyah berkata: “Pulanglah dan sampaikan kepada pemimpinmu (Ali) bahwa antara kita ini pedanglah hukumnya.”

Khalifah Ali bin Abi Thalib menyuruh Ibnu Abbas untuk mengingatkan Aisyah. Ibnu Abbas berkata: “Allah telah memerintahkan Anda untuk tetap tinggal dirumah untuk takwa kepada Allah dan pulang.” Nasihat tersebut tidak dihiraukan oleh Aisyah malah terus mengobarkan api peperangan dan terjadilah Perang Jamal.

Dalam peperangan, Thalhah berhadapan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Thalhah berkata: “Berhentilah jadi khalifah maka akan kami serahkan posisi khalifah kepada dewan. Dua orang yang tidak menginginkan Anda kini sudah tiada. Kami juga bertiga tidak menginginkan Anda.”

Khalifah Ali bin Abi Thalib menjawab: “Semestinya itu Anda katakan sebelum berbaiat. Namun kini Anda telah bersumpah akan setia.”[4]

Dalam pertempuran itu pasukan Aisyah terdesak dan mengalami kekalahan sehingga tanpa sadar tali kekang unta Aisyah telah dipegang pasukan Islam.

Dari dalam tandu, Aisyah bertanya melalui lubang kecil: “Apakah Ali ada di antara kalian?” “Ada,” jawab pemegang tali kekang. Aisyah berkata lagi: “Sungguh sama dia dengan saudaranya!”

Khalifah Ali bin Abi Thalib meminta Aisyah binti Abu Bakar agar berkenan untuk pulang bersama rombongannya yang masih tersisa. Aisyah dengan sisa pasukannya kemudian kembali ke Makkah.

Sejarahwan Rasul Ja`farian dalam Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah menyebutkan bahwa Perang Jamal telah menewaskan sekitar dua puluh ribu orang.[5]

Setelah Perang Jamal, Amr bin Ash bertemu dengan Aisyah  kemudian berkata, “Saya kecewa karena Anda tidak terbunuh dalam pertempuran itu.” 

Aisyah bertanya, “Bukankah kita berada dalam satu barisan saat itu?”

Amr bin Ash menjawab, “Sebenarnya, kami (Bani Umayyah) telah merancang pemberontakan ini dan memancing Anda terlibat di dalamnya agar Anda terbunuh sebagai pahlawan. Dengan demikian, nama Ali akan lenyap sepanjang sejarah karena dicap sebagai pembunuh istri Nabi. Apabila Anda terbunuh, tidak perlu usaha keras dan biaya besar untuk menyingkirkan Ali dari pentas kepemimpinan. Ternyata Ali terlalu pandai untuk dipancing. Ia malah memulangkan Anda sebagai wanita terhormat.”

Setelah Perang Jamal, Khalifah Ali bin Abi Thalib memindahkan Ibu Kota Islam dari Madinah ke Kufah dan menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai Gubernur Bashrah.

Meski sudah memindahkan pusat pemerintahannya, tetapi rongrongan terhadap pemerintahan Islam muncul dari Muawiyah bin Abu Sufyan dengan alasan menuntut pembunuh Utsman bin Affan.

Tuntutan mereka tidak ditanggapi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dampaknya muncul berbagai teror dan tindakan anarkis dari kelompok Muawiyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib menulis surat kepada Muawiyah agar menghentikan berbagai tindakan teror terhadap kaum Muslim.

Dalam surat itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib menulis:

 

“Sesungguhnya, baiat masyarakat Madinah kepadaku telah mewajibkan Anda di Damaskus untuk juga berbaiat kepadaku. Masyarakat ini juga yang dulu berbaiat kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman, kini telah berbaiat kepadaku. Karena itu, siapa saja yang di sini tidak punya pilihan lain selain harus memutuskan untuk berbaiat. Sementara siapa saja yang hadir maka tidak punya pilihan selain harus meninggalkan sikapnya. Syura atau dewan adalah sesuatu yang menjadi keinginan, prinsip, dan harapan kaum Muhajirin dan Anshar. Ketika dewan terbentuk dan para anggota dewan menyepakati kepemimpinan sesseorang yang disebut imam. Inilah bentuk keridhaan Allah. Jika Anda bersikap keras kepala, aku akan memerangi Anda dengan memohon pertolongan Allah. Anda telah banyak biacara tentang pembunuh Utsman. Ikutilah jejak kaum Muslim dan datanglah kepadaku bersama mereka untuk beraudisi dan mendapatkan proses atau penilaian hukum formal. Aku akan mewajibkan Anda dan mereka untuk mengikuti Kitab Allah dan ketahuilah bahwa pembebasan Anda adalah pembebasan bersyarat; sedangkan tahanan yang memperoleh pembebasan tidak memenuhi syarat untuk menduduki kursi kekhalifahan dan juga tidak layak untuk menjadi anggota dewan.”[6]

Muawiyah kemudian menyuruh Jabir bin Abdullah yang mengrim surat balasan yang di dalamnya meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa Damaskus dan Mesir di bawah kekuasaannya yang terpisah dari pemerintahan Islam.

Kemudian Khalifah Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mughirah di Madinah pernah mengusulkan ini kepadaku, tetapi aku tolak. Aku tidak mungkin berbuat seperti itu karena Allah tidak pernah melihatku dalam posisi memanfaatkan kaum penyimpang untuk mendukungku.”[7]

Ajakan damai yang tidak disambut itu membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib mengambil tindakan yang berujung terjadinya perang di daerah Shiffin, Irak, pada 37 H.

Menurut Al-Hamid Al-Husaini, Perang Shiffin dimulai dengan pemberontakan Muawiyah, Gubernur Syria, yang menginginkan jabatan Khalifah Islam setelah Utsman.  Sudah sejak dahulu tokoh-tokoh Bani Umayyah memandang Ali dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban dari keluarga mereka yang mati di ujung pedang Ali saat pertempuran-pertempuran pada masa lalu antara kaum musyrikin Makkah dan kaum Muslim di bawah pimpinan Rasulullah saw. Mereka tahu bahwa Ali bin Abi Thalib selalu mengingatkan Utsman tentang bahaya yang timbul akibat permainan para pembantunya dari orang-orang Bani Umayyah. Karena itu, Bani Umayyah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai penghambat dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materi.[8]

Ketika dua pasukan berhadapan, sebagaimana kebiasaan bangsa Arab, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengajak duel kepada Muawiyah. Namun, Muawiyah tidak melayaninya malah mengirimkan Amr bin Ash dan terjadilah duel. Dalam duel itu Amr dijatuhkan kemudian kabur dalam pertarungan dengan terlebih dahulu membuka auratnya sehingga Khalifah Ali bin Abi Thalib memalingkan wajah dan tidak membunuhnya. 

Setelah itu, berlangsunglah peperangan antara pasukan Islam di bawah pimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib melawan pasukan pemberontak di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam peperangan yang hampir dimenangkan pasukan Islam itu, musuh mengajukan perundingan damai (tahkim) dengan terlebih dahulu mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak sebagai tanda perdamaian dengan merujuk pada al-Quran sebagai hakimnya. Atas desakan sebagian pasukan, Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Malik Asytar untuk menghentikan serangan terhadap musuh.

Kedua belah pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya dalam menyelesaikan peperangan. Awalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib memilih Malik Asytar, tetapi sebagian orang yang berasal dari Arab badawi menolaknya. Mereka memutuskan Abu Musa Al-Asyari mewakili pihak Islam dan Amr bin Ash mewakili pihak Muawiyah.

Keduanya melakukan perundingan di Daumah Al-Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam bulan (Shafar-Ramadhan 37 H.). Dua juru runding sepakat untuk menurunkan jabatan kedua pemimpin tersebut kemudian memilih khalifah baru melalui musyawarah dengan melibatkan umat Islam. Abu Musa menjadi orang pertama yang naik ke mimbar dan menurunkan Ali dari tampuk khalifah Islam. Kemudian Amr bin Ash dengan tanpa diduga langsung mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu.

Peristiwa itu membuat kecewa pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk membatalkannya. Namun, saran tersebut ditolak Khalifah Ali bin Abi Thalib karena peristiwanya sudah terjadi. Akibat tidak ditanggapi, mereka memisahkan diri dan membentuk kelompoknya sendiri yang disebut Khawarij.

Keputusan licik itu dinilai oleh kaum Khawarij sebagai bentuk pengingkaran terhadap hukum Allah. Karena itu, mereka menyebut Amr, Muawiyah, Musa, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib termasuk orang murtad dan harus bertobat. Namun ajakan tobat mereka tidak digubris, malah dibantah oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tidak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan.”

Akibat tidak ditanggapi maka kaum Khawarij diam-diam melancarkan gerakan rahasia untuk membunuh mereka dengan alasan tidak mengikuti hukum Allah. Menurut ajaran Khawarij, mereka yang menyetujui tahkim telah keluar dari Islam karena tidak mengikuti perintah Allah yang tercantum dalam surah al-Maidah [5] ayat 45, “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

Pada Syawal 31 H. kaum Khawarij memilih Abdillah bin Wahab Rasibi menjadi pemimpin Khawarij sekaligus merencanakan pergerakannya. Awalnya mereka bergerak ke Madain kemudian mengajak kaum Muslim Bashrah untuk bergabung dengan Khawarij. Selanjutnya mereka berpindah tempat ke Nahrawan.

Selama masa-masa penghimpunan pasukan, kaum Khawarij melakukan tindakan terror dan membunuh orang-orang yang memuji Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tindakan kejam itu membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib tergerak untuk mengajak kembali mereka dalam pasukannya. Khalifah Ali bin Abi Thalib menyurati mereka untuk bersama-sama memerangi musuh kaum Muslim, khususnya Muawiyah beserta pasukannya. Dalam surat balasan itu, Khawarij menyatakan bahwa mereka tidak mengakui kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib sehingga tidak berkewajiban untuk membantu dalam memerangi musuh Islam. Bahkan, diberbagai tempat banyak kaum Muslim yang menjadi korban keganasan kaum Khawarij.

 Alasan-alasan itulah yang menguatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib memerangi kaum Khawarij. Khalifah Ali bin Abi Thalib berangkat ke Nahrawan bersama 14.000 orang. Kaum Khawarij pun tidak diam malah mereka telah bersiap menyongsong pasukan Islam dengan jumlah pasukan kavaleri 1.800 orang dan 1.500 pasukan infantri. Perang pun terjadi antara pasukan Islam melawan kaum Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab di Nahrawan, 9 Shafar 38 H. Dalam perang ini pasukan Islam menjadi pemenang. Mereka membiarkan kaum Khawarij yang selamat melarikan diri ke Kaskar, Sawad, Efrat, Ahwaz, dan Kurdi. Tidak sedikit pula kaum Khawarij yang bertobat kemudian kembali bergabung di bawah pimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Akibat kekalahan perang di Nahrawan, kaum Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Kaum Khawarij beranggapan bahwa pecahnya kaum Muslim yang terbagi dalam tiga golongan (Syiah Ali, Syiah Muawiyah, dan Khawarij) akibat dari tahkim yang tidak mengikuti hukum Allah. Karena itu, mereka berpendirian bahwa Ali bin Abi Thalib, Musa Al-Asyari, Amr bin Ash, dan Muawiyah bin Sufyan telah murtad sehingga pantas untuk dihukum mati karena menjadi penyebab matinya ribuan umat Islam dalam peperangan.

Dari empat orang itu hanya Khalifah Ali yang berhasil ditikam dengan pedang oleh Abdurrahman bin Muljam saat shalat subuh, 19 Ramadhan 40 H. di Masjid Kufah. Luka Khalifah Ali tidak sembuh hingga mengembuskan nafas terakhir pada malam Jumat, 21 Ramadhan 40 Hijriah dalam usia 63 tahun. Kedua putranya, Hasan dan Husain, beserta pengikut setianya menguburkan Khalifah Ali bin Abu Thalib di Najaf Al-Syarif, Irak. Makamnya banyak dikunjungi para peziarah dari kalangan Muslim Syiah maupun Ahlussunnah. *** (Ikhwan Mustofa)



[1] Dalam Wikipedia  (entri Utsman bin Affan, diakses tanggal 31 Juli 2016, jam 19.07 wib) disebutkan bahwa Khalifah Utsman bin Affan wafat pada tanggal 17 Juni 656 M.

[2] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam: bagian pertama dan dua (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2000) halaman 81-87; dan Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993) halaman  21-36.

[3] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006)  halaman 314-316.

[4] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 157.

[5] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006)  halaman  327.

[6] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 339-340.

[7] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman  341.

[8] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam, 1981)  pada Bab IX.