Setelah wafat Khalifah Utsman bin Affan,[1] pemerintahan Islam di Madinah kosong dari jabatan khalifah. Kaum Muslim saat itu menyadari akan timbulnya situasi gawat akibat tidak adanya khalifah Islam yang memegang kendali pemerintahan pusat. Umat Islam di Madinah sepakat memilih Ali bin Abi Thalib dan membaiatnya di Masjid Nabawi (Madinah Al-Munawwarah). Sahabat Nabi yang membaiat di antaranya: Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, kaum Muhajirin, dan kaum Anshar. Sedangkan mereka yang menolak baiat adalah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.
Pembaiatan
ini bisa dianggap momentum yang ditunggu-tunggu oleh pengikut Ahlulbait yang
sejak wafat Rasulullah saw tidak memiliki kekuatan dalam politik. Pascawafat
Rasulullah saw kepemimpinan dan pemerintahan Madinah dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin Khaththab,
dan Utsman bin Affan. Meski secara nash bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai
washi dan mawla, tetapi alasan
perdamaian dan persaudaraan di antara umat Islam tampaknya yang diambil oleh
Ali bin Abi Thalib sehingga tidak mengambil jabatan khalifah sesuai dengan
ketetapan di Ghadir Khum, pada 18 Zulhijjah 11 Hijriah, oleh Rasulullah
saw.
Awal memerintah, Khalifah Ali bin Abi Thalib
membagikan harta ghanimah dari baitul mal secara adil kepada
haknya dengan tidak membedakan antara budak dan sahabat dalam membagikannya.
Kebiasaan khalifah sebelumnya yang memberikan harta lebih besar kepada sahabat
Nabi saw, keluarga, dan pegawai pemerintah diubahnya. Semuanya sama mendapatkan
tiga dinar. Khalifah Ali bin Abi Thalib juga menyusun sistem yang Islami dengan
membentuk gerakan spiritual dan menertibkan aparatur pemerintahan.[2]
Penguasa-penguasa daerah yang
selama enam tahun terakhir masa pemerintahan Utsman terbukti menyalahgunakan
wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang.
Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Marwan bin Al-Hakam dan Abdullah
bin Abi Sarah dipecat dari kedudukkannya dan Muawiyah dipecat dari jabatan
Gubernur Syiria. Tindakan ini membuat mereka marah dan berujung terjadinya
Perang Jamal, Perang Shiffin, dan Nahrawan.
Menurut H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini,
perang antara umat Islam ini dipicu oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang
menyatakan Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan tokoh dibalik kematian Utsman
bin Affan. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Al-'Awwam menolak undangan
Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk membahas gerakan makar yang dilakukan
Muawiyah. Keduanya malah pergi ke Makkah dan bergabung dengan Aisyah. Setelah
mendengarkan penjelasan keduanya, Aisyah menyatakan kecewa dengan diangkatnya
Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah Islam. Aisyah berkata, “Utsman mati
terbunuh secara teraniaya. Oleh karena itu, adalah kewajiban kaum Muslim untuk
menuntut balas atas kematiannya. Khalifah pengganti Utsman harus dilakukan
pembaiatannya dalam suasana tertib dan damai.”
Thalhah dan Zubair mengajak Aisyah
untuk menjatuhkan Ali bin Abi Thalib. Aisyah menghimpun orang-orang Makkah dan
mencari dukungan ke Bashrah. Kemudian tersusunlah kekuatan penentang Khalifah
Ali bin Abi Thalib dan hendak memaksanya melepaskan jabatannya. Dengan bantuan
bekas-bekas pejabat yang dipecat, dukungan orang-orang Quraisy yang masih
menyimpan rasa sakit hati, dan diperkuat dengan kehadiran Aisyah, terhimpunlah
pasukan bersenjata berkekuatan 3.000 orang.
H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini dalam
buku Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra, Bab X (Benih-benih
Peperangan Saudara, subbab persiapan Thalhah dan Zubair) menjelaskan bahwa
sikap Zubair menentang Ali bin Abi Thalib ini karena Muawiyah bin Abu Sufyan
menyampaikan surat pembaiatan penduduk Syam (Syiria) terhadapnya.
Dalam surat itu, Muawiyah bin Abu
Sufyan menulis:
Aisyah binti Abu Bakar, Thalhah,
Zubair, dan pasukannya kemudian bergerak untuk memerangi pasukan Islam. Di
tengah jalan, di daerah Haw’ab, Aisyah mendengar lolongan anjing-anjing.
Mendengar itu, Aisyah teringat sabda Nabi Muhammad saw yang berpesan agar
istri-istrinya terhindar dari lolongan anjing di Haw’ab. Aisyah pun berniat
pulang, tetapi Abdullah bin Zubair beserta rombongan meyakinkan Aisyah bahwa
daerah itu bukan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad saw.[3]
Bertemulah dua pasukan di Bashrah
pada Jumadits Tsani 36 H. Sebelum perang berkecamuk, Khalifah Ali bin Abi
Thalib mengirim Ibnu Abbas kepada pasukan Aisyah untuk menawarkan perdamaian.
Kepada Ibnu Abbas, Aisyah berkata: “Pulanglah dan sampaikan kepada pemimpinmu
(Ali) bahwa antara kita ini pedanglah hukumnya.”
Khalifah Ali bin Abi Thalib
menyuruh Ibnu Abbas untuk mengingatkan Aisyah. Ibnu Abbas berkata: “Allah telah
memerintahkan Anda untuk tetap tinggal dirumah untuk takwa kepada Allah dan
pulang.” Nasihat tersebut tidak dihiraukan oleh Aisyah malah terus mengobarkan
api peperangan dan terjadilah Perang Jamal.
Dalam peperangan, Thalhah
berhadapan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Thalhah berkata: “Berhentilah
jadi khalifah maka akan kami serahkan posisi khalifah kepada dewan. Dua orang
yang tidak menginginkan Anda kini sudah tiada. Kami juga bertiga tidak
menginginkan Anda.”
Khalifah Ali bin Abi Thalib
menjawab: “Semestinya itu Anda katakan sebelum berbaiat. Namun kini Anda telah
bersumpah akan setia.”[4]
Dalam pertempuran itu pasukan
Aisyah terdesak dan mengalami kekalahan sehingga tanpa sadar tali kekang unta
Aisyah telah dipegang pasukan Islam.
Dari dalam tandu, Aisyah bertanya
melalui lubang kecil: “Apakah Ali ada di antara kalian?” “Ada,” jawab pemegang
tali kekang. Aisyah berkata lagi: “Sungguh sama dia dengan saudaranya!”
Khalifah Ali bin Abi Thalib
meminta Aisyah binti Abu Bakar agar berkenan untuk pulang bersama rombongannya
yang masih tersisa. Aisyah dengan sisa pasukannya kemudian kembali ke Makkah.
Sejarahwan Rasul Ja`farian dalam Sejarah
Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah menyebutkan
bahwa Perang Jamal telah menewaskan sekitar dua puluh ribu orang.[5]
Setelah Perang Jamal, Amr bin Ash
bertemu dengan Aisyah kemudian berkata,
“Saya kecewa karena Anda tidak terbunuh dalam pertempuran itu.”
Aisyah bertanya, “Bukankah kita
berada dalam satu barisan saat itu?”
Amr bin Ash menjawab, “Sebenarnya,
kami (Bani Umayyah) telah merancang pemberontakan ini dan memancing Anda
terlibat di dalamnya agar Anda terbunuh sebagai pahlawan. Dengan demikian, nama
Ali akan lenyap sepanjang sejarah karena dicap sebagai pembunuh istri Nabi.
Apabila Anda terbunuh, tidak perlu usaha keras dan biaya besar untuk menyingkirkan
Ali dari pentas kepemimpinan. Ternyata Ali terlalu pandai untuk dipancing. Ia
malah memulangkan Anda sebagai wanita terhormat.”
Setelah Perang Jamal, Khalifah Ali
bin Abi Thalib memindahkan Ibu Kota Islam dari Madinah ke Kufah dan menunjuk
Abdullah bin Abbas sebagai Gubernur Bashrah.
Meski sudah memindahkan pusat
pemerintahannya, tetapi rongrongan terhadap pemerintahan Islam muncul dari
Muawiyah bin Abu Sufyan dengan alasan menuntut pembunuh Utsman bin Affan.
Tuntutan mereka tidak ditanggapi
oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dampaknya muncul berbagai teror dan tindakan
anarkis dari kelompok Muawiyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib menulis surat
kepada Muawiyah agar menghentikan berbagai tindakan teror terhadap kaum Muslim.
Dalam surat itu, Khalifah Ali bin
Abi Thalib menulis:
“Sesungguhnya, baiat masyarakat Madinah kepadaku telah mewajibkan Anda di Damaskus untuk juga berbaiat kepadaku. Masyarakat ini juga yang dulu berbaiat kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman, kini telah berbaiat kepadaku. Karena itu, siapa saja yang di sini tidak punya pilihan lain selain harus memutuskan untuk berbaiat. Sementara siapa saja yang hadir maka tidak punya pilihan selain harus meninggalkan sikapnya. Syura atau dewan adalah sesuatu yang menjadi keinginan, prinsip, dan harapan kaum Muhajirin dan Anshar. Ketika dewan terbentuk dan para anggota dewan menyepakati kepemimpinan sesseorang yang disebut imam. Inilah bentuk keridhaan Allah. Jika Anda bersikap keras kepala, aku akan memerangi Anda dengan memohon pertolongan Allah. Anda telah banyak biacara tentang pembunuh Utsman. Ikutilah jejak kaum Muslim dan datanglah kepadaku bersama mereka untuk beraudisi dan mendapatkan proses atau penilaian hukum formal. Aku akan mewajibkan Anda dan mereka untuk mengikuti Kitab Allah dan ketahuilah bahwa pembebasan Anda adalah pembebasan bersyarat; sedangkan tahanan yang memperoleh pembebasan tidak memenuhi syarat untuk menduduki kursi kekhalifahan dan juga tidak layak untuk menjadi anggota dewan.”[6]
Muawiyah kemudian menyuruh Jabir bin Abdullah yang mengrim surat balasan yang di dalamnya meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa Damaskus dan Mesir di bawah kekuasaannya yang terpisah dari pemerintahan Islam.
Kemudian Khalifah Ali bin Abi Thalib
menjawab, “Mughirah di Madinah pernah mengusulkan ini kepadaku, tetapi aku
tolak. Aku tidak mungkin berbuat seperti itu karena Allah tidak pernah
melihatku dalam posisi memanfaatkan kaum penyimpang untuk mendukungku.”[7]
Ajakan damai yang tidak disambut
itu membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib mengambil tindakan yang berujung
terjadinya perang di daerah Shiffin, Irak, pada 37 H.
Menurut Al-Hamid Al-Husaini,
Perang Shiffin dimulai dengan pemberontakan Muawiyah, Gubernur Syria, yang
menginginkan jabatan Khalifah Islam setelah Utsman. Sudah sejak dahulu tokoh-tokoh Bani Umayyah
memandang Ali dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan
betapa banyaknya korban dari keluarga mereka yang mati di ujung pedang Ali saat
pertempuran-pertempuran pada masa lalu antara kaum musyrikin Makkah dan kaum
Muslim di bawah pimpinan Rasulullah saw. Mereka tahu bahwa Ali bin Abi Thalib
selalu mengingatkan Utsman tentang bahaya yang timbul akibat permainan para
pembantunya dari orang-orang Bani Umayyah. Karena itu, Bani Umayyah memandang
Ali bin Abi Thalib sebagai penghambat dalam usaha meraih kedudukan dan
keuntungan-keuntungan materi.[8]
Ketika dua pasukan berhadapan,
sebagaimana kebiasaan bangsa Arab, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengajak duel
kepada Muawiyah. Namun, Muawiyah tidak melayaninya malah mengirimkan Amr bin
Ash dan terjadilah duel. Dalam duel itu Amr dijatuhkan kemudian kabur dalam
pertarungan dengan terlebih dahulu membuka auratnya sehingga Khalifah Ali bin
Abi Thalib memalingkan wajah dan tidak membunuhnya.
Setelah itu, berlangsunglah
peperangan antara pasukan Islam di bawah pimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
melawan pasukan pemberontak di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam
peperangan yang hampir dimenangkan pasukan Islam itu, musuh mengajukan
perundingan damai (tahkim) dengan terlebih dahulu mengacungkan mushaf
al-Quran di atas tombak sebagai tanda perdamaian dengan merujuk pada al-Quran
sebagai hakimnya. Atas desakan sebagian pasukan, Khalifah Ali bin Abi Thalib
memerintahkan Malik Asytar untuk menghentikan serangan terhadap musuh.
Kedua belah pihak sepakat untuk
mengirimkan perwakilannya dalam menyelesaikan peperangan. Awalnya Khalifah Ali
bin Abi Thalib memilih Malik Asytar, tetapi sebagian orang yang berasal dari
Arab badawi menolaknya. Mereka memutuskan Abu Musa Al-Asyari mewakili pihak
Islam dan Amr bin Ash mewakili pihak Muawiyah.
Keduanya melakukan perundingan di
Daumah Al-Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam bulan (Shafar-Ramadhan 37
H.). Dua juru runding sepakat untuk menurunkan jabatan kedua pemimpin tersebut
kemudian memilih khalifah baru melalui musyawarah dengan melibatkan umat Islam.
Abu Musa menjadi orang pertama yang naik ke mimbar dan menurunkan Ali dari
tampuk khalifah Islam. Kemudian Amr bin Ash dengan tanpa diduga langsung
mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu.
Peristiwa itu membuat kecewa
pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta Khalifah Ali bin Abi
Thalib untuk membatalkannya. Namun, saran tersebut ditolak Khalifah Ali bin Abi
Thalib karena peristiwanya sudah terjadi. Akibat tidak ditanggapi, mereka
memisahkan diri dan membentuk kelompoknya sendiri yang disebut Khawarij.
Keputusan licik itu dinilai oleh kaum Khawarij sebagai bentuk
pengingkaran terhadap hukum Allah. Karena itu, mereka menyebut Amr, Muawiyah,
Musa, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib termasuk orang murtad dan harus bertobat.
Namun ajakan tobat mereka tidak digubris, malah dibantah oleh Khalifah Ali bin
Abi Thalib, “Bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim.
Merekalah yang harus bertobat karena tidak patuh dan membantah perintahku dalam
melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan.”
Akibat tidak ditanggapi maka kaum
Khawarij diam-diam melancarkan gerakan rahasia untuk membunuh mereka dengan
alasan tidak mengikuti hukum Allah. Menurut ajaran Khawarij, mereka yang menyetujui tahkim telah keluar dari
Islam karena tidak mengikuti perintah Allah yang tercantum dalam surah
al-Maidah [5] ayat 45, “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Pada Syawal 31 H. kaum Khawarij
memilih Abdillah bin Wahab Rasibi menjadi pemimpin Khawarij sekaligus
merencanakan pergerakannya. Awalnya mereka bergerak ke Madain kemudian mengajak
kaum Muslim Bashrah untuk bergabung dengan Khawarij. Selanjutnya mereka
berpindah tempat ke Nahrawan.
Selama masa-masa penghimpunan
pasukan, kaum Khawarij melakukan tindakan terror dan membunuh orang-orang yang
memuji Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tindakan kejam itu membuat Khalifah Ali bin
Abi Thalib tergerak untuk mengajak kembali mereka dalam pasukannya. Khalifah
Ali bin Abi Thalib menyurati mereka untuk bersama-sama memerangi musuh kaum
Muslim, khususnya Muawiyah beserta pasukannya. Dalam surat balasan itu,
Khawarij menyatakan bahwa mereka tidak mengakui kepemimpinan Khalifah Ali bin
Abi Thalib sehingga tidak berkewajiban untuk membantu dalam memerangi musuh
Islam. Bahkan, diberbagai tempat banyak kaum Muslim yang menjadi korban
keganasan kaum Khawarij.
Alasan-alasan itulah yang menguatkan Khalifah
Ali bin Abi Thalib memerangi kaum Khawarij. Khalifah Ali bin Abi Thalib
berangkat ke Nahrawan bersama 14.000 orang. Kaum Khawarij pun tidak diam malah
mereka telah bersiap menyongsong pasukan Islam dengan jumlah pasukan kavaleri
1.800 orang dan 1.500 pasukan infantri. Perang pun terjadi antara pasukan Islam
melawan kaum Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab di Nahrawan, 9 Shafar 38
H. Dalam perang ini pasukan Islam menjadi pemenang. Mereka membiarkan kaum Khawarij
yang selamat melarikan diri ke Kaskar, Sawad, Efrat, Ahwaz, dan Kurdi. Tidak
sedikit pula kaum Khawarij yang bertobat kemudian kembali bergabung di bawah
pimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Akibat kekalahan perang di
Nahrawan, kaum Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap orang-orang yang
terlibat dalam tahkim. Kaum Khawarij beranggapan bahwa pecahnya kaum
Muslim yang terbagi dalam tiga golongan (Syiah Ali, Syiah Muawiyah, dan
Khawarij) akibat dari tahkim yang tidak mengikuti hukum Allah. Karena
itu, mereka berpendirian bahwa Ali bin Abi Thalib, Musa Al-Asyari, Amr bin Ash,
dan Muawiyah bin Sufyan telah murtad sehingga pantas untuk dihukum mati karena
menjadi penyebab matinya ribuan umat Islam dalam peperangan.
Dari empat orang itu hanya
Khalifah Ali yang berhasil ditikam dengan pedang oleh Abdurrahman bin Muljam
saat shalat subuh, 19 Ramadhan 40 H. di Masjid Kufah. Luka Khalifah Ali tidak sembuh hingga mengembuskan
nafas terakhir pada malam Jumat, 21 Ramadhan 40 Hijriah dalam usia 63 tahun. Kedua putranya, Hasan dan Husain, beserta pengikut setianya menguburkan Khalifah Ali bin Abu Thalib di Najaf Al-Syarif, Irak. Makamnya banyak dikunjungi para peziarah dari kalangan Muslim Syiah maupun Ahlussunnah. *** (Ikhwan Mustofa)
[1] Dalam Wikipedia (entri Utsman bin Affan, diakses tanggal 31
Juli 2016, jam 19.07 wib) disebutkan bahwa Khalifah Utsman bin Affan wafat pada
tanggal 17 Juni 656 M.
[2] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial
Umat Islam: bagian pertama dan dua (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2000)
halaman 81-87; dan Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah,
dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993) halaman 21-36.
[3] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta: Lentera, 2006) halaman 314-316.
[4] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak
wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta:
Lentera, 2006) halaman 157.
[5] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak
wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta:
Lentera, 2006) halaman 327.
[6] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam:
Sejak wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.)
(Jakarta: Lentera, 2006) halaman 339-340.
[7] Rasul Ja`farian, Sejarah Islam: Sejak
wafat Nabi saw hingga Runtuhnya Daulah Bani Umayyah (11-132 H.) (Jakarta:
Lentera, 2006) halaman 341.
[8] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Sejarah
Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam,
1981) pada Bab IX.