Suatu saat ada yang tanya tentang alasan tidak baca amin (aamiin) setelah selesai surah al-fathihah dalam shalat fardhu yang dzahar. Perlu diketahui membaca amin termasuk masalah khilafiyah yang biasa terjadi di antara berbagai mazhab.
Semua mazhab sepakat bahwa membaca amin bukan kewajiban. Kata Al-Jaziri: “Di antara sunnah-sunnah shalat ialah membaca “amin” setelah selesai membaca Al-Fatihah. Sunnah bagi Imam dan Ma’mum dan dalam shalat munfarid. Sampai di sini sepakat tiga imam mazhab: Hanafi, Syafi’i, Hanbali. Menurut pendapat Maliki: mandubah dan bukan sunnah” (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 1;150). Abu Hanifah dan Sufyan berkata: amin diucapkan imam, tetapi tidak diucapkan ma’mum, yukhfihi al-ma’mum (Al-Majmu’ 3:373; Al-Mughni 1:49).
Dari Malik ada dua riwayat: Pertama sama seperti pendapat Abu Hanifah; kedua sama sekali tidak memberikan pendapatnya (Al-Muhalla 3:264; Al-Mughni 1:489, 490; Al-Majmu’ 3:373). Menurut Al-Syafi’i: Ma’mum mengucapkannya dalam hati, tetapi dalam pendapat terakhir, menjaharkannya sahabat Imam Syafii berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa jika shaf-shafnya berdekatan dan ma’mum semuanya mendengarkan imam, sebaiknya ma’mum tidak mengeraskan bacaan Amin-nya. Jika shaf banyak, dianjurkan ma’mum mengeraskannya supaya yang dibelakangnya mendengarkannya (Al-Majmu’ 3:368). Kata Ahmad, Ishaq, Abu Tsawr, dan Al-‘Atha: Disunnahkan menjaharkannya (Al-Majmu’ 3:373; Al-Muhalla 3:364).
Dalam mazhab Ja’fari: membaca “amin” tidak disunnahkan, dengan alasan-alasan berikut. Dari cara-cara shalat yang diajarkan Nabi Muhammad saw secara terperinci tidak disebutkan ketentuan untuk membacakan “amin”.
Perhatikan hadis berkut ini: “Berkata Abu Hamid al-Sa’idi: Aku orang yang paling tahu tentang shalat Rasul Allah saw kemudian ia berkata: Bila Rasulullah saw berdiri untuk shalat ia mengangkat tangannya sampai selurus bahu, dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat. Lalu ia membaca (Al-Fatihah) kemudian ia bertakbir, mengangkat tangannya, sampai selurus bahunya, kemudian rukuk dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian ia berkata: Allahu Akbar, kemudian turun ke atas tanah dan merenggangkan kedua tangannya di samping (tubuhnya). Lalu ia mengangkat kepalanya, dan meratakan telapak kaki kirinya dan duduk di atasnya... (dan seterusnya). Sahabat-sahabat lain yang hadir waktu itu berkata: Benar, memang begitulah Rasulullah saw shalat. Di antara sahabat yang hadir waktu itu ialah Abu Hurairah, Sahl al-Sai’di, Abu Usayd al-Sa’idi, Abu Qatadah (Sunan al-Baihaqi 2: 105, hadis 2517; Sunan Abi Dawud 1: 194, Bab Iftitah al-Shalat, hadis 730; Sunan al-Turmudzi 2:105, hadis 304, Bab Iftitah al-Shalat).
Perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah tentang “amin” berasal dari tidak kuatnya hadis-hadis yang dijadikan sandaran untuknya. Ada dua kelompok hadis tentang “amin”: (1) hadis-hadis dari Abu Hurairah dan (2) hadis-hadis dari yang tidak melalui Abu Hurairah. Untuk hadis-hadis Abu Hurairah, para peneliti hadis mempersoalkan ‘adalah Abu Hurairah. Bukan hanya para peneliti hadis, para ulama terdahulu dan bahkan para sahabat pun menganggap Abu Hurairah tidak dapat dipercayai dalam meriwayatkan hadis. Khalifah Umar pernah memperingatkan Abu Hurairah dan memukulnya dengan cemeti serta melarangnya meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Khalifah berkata kepadanya: “Kamu terlalu banyak meriwayatkan hadis. Aku yakin kamu berdusta kepada Rasulullah saw. Jika kamu tidak berhenti meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad saw, aku usir kamu ke Daws kabilahmu atau aku kirim kamu ke negeri monyet” (Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala 2: 433, 8: 106).
Imam Ali karamallahu wajhah berkata: “Ketahuilah, manusia yang paling pembohong atau ia berkata: makhluk hidup yang paling banyak berdusta atas nama Nabi Muhammad saw adalah Abu Hurairah al-Dawsi (Syarh Ibn Abi al-Hadid, 4: 64, Syarh Khuthbah 56). Ibn Qutaybah, al-Hakim, Al-Dzahabi, dan Muslim menyebutkan bahwa ‘Aisyah berkata berulang kali: Abu Hurairah kadzdzab, tukang berbohong. Ia telah banyak membuat hadis dan menisbahkannya pada lidah Nabi Muhammad saw (Al-Hakim, Kitab Ma’rifat al-Shahabah, 3: 513; tarjamah Abu Hurairah).
Para ulama Mu’tazilah dan ulama mazhab Hanafi semuanya menolak hadis-hadis Abu Hurairah dan mengumumkan bahwa hukum atau fatwa yang keluar berdasarkan riwayat melalui Abu Hurairah bathil wa ghayri maqbul, bathil dan tidak boleh diterima (Syarh Ibn Abi al-Hadid 1:360). Abu Hanifah berkata: Semua sahabat Nabi saw bagiku terpercaya dan ‘udûl (jujur, bersih, dan tidak pernah salah) dan semua hadis yang berasal dari mereka shahih dan dapat diterima kecuali hadis-hadis yang bersambung kepada Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Samurah bin Jundab. Aku tidak menerimanya. Hadis-hadis dari mereka ditolak dan dibuang (Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Mirqat al-Wushul, Muhammad bin Faramuz al-Hanafi, Pembahasan yang ketiga tentang Keadaan Rawi, lihat Syaikh al-Mudhirah: Abu Hurairah, 146).
Untuk hadis-hadis yang berasal dari sahabat selain Abu Hurairah, kita mendapatkannya dalam Sunan Ibn Majah, 1:278, Kitab al-Salat, Bab Al-Jahr bi-Amin; Sunan Abi Dawud, 1:246, Kitab al-Salat, Bab Al-Ta’min waraa Al-Imam; Sunan al-Turmudzi, 2:30, Kitab al-Shalat, Ma Ja-a fi al-Ta’min. Hadis-hadis itu semuanya dha’if dengan penjelasan sebagai berikut.
Sunan Ibn Majah: Hadis pertama dari Ali bin AbiThalib. Dalam sanadnya ada Hamid bin Abd al-Rahman bin Abi Layla. Ia sangat jelek hafalannya. Kata Abu Hatim: Ia seorang Syaikh yang hadisnya tidak boleh dijadikan hujjah, la yuhtajju bi haditsih (Tahdzib al-Tahdzib 2:190; lihat Basyar ‘Awwad, Syarh Sunan Ibn Majah, 2: 136, hadis 854). Hadis kedua dari Abdul Jabbar bin Wail bin Hujur adalah dhaif munqathi’, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya; ia lahir enam bulan setelah bapaknya meninggal dunia (Basysyar ‘Awwad, Syarh ibn Majah, 2: 137; Al-Bukhari, Tarikh al-Kabir, 6: 106; Tahdzib al-Kamal, 16: 396; Ibn Hibban, Kitab al-Majruhin, 2: 273). Hadis ketiga dari dari ‘Aisyah adalah juga hadis dha’if karena dalam isnadnya ada Suhayl bin Abi Shalih. Kata Ibnu Mu’in: Hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Abu Hatim: Hadisnya boleh dituliskan tapi tidak boleh dijadikan hujjah (Tahdzib al-Tahdzib 4:263). Hadis keempat dari Ibnu Abbas juga sangat dha’if, menurut ahli hadis karena dalam sanadnya ada Thalhah bin ‘Amr. Dia matruk, dha’if jiddan! (Syarh Sunan Ibn Majah 2: 138; Tadh’if Ibn Majah, Al-Albani 183; Tuhafat al-Asyraf, 5: 83; Al-Musnad al-Jami’ 8: 488, hadis 6112). Kata Ibn Sa’ad: Thalhah bin ‘Amr meninggal di Makkah pada tahun 102 H. Ia banyak meriwayatkan hadis, sangat dhaif (Al-Thabaqat al-Kubra 5:494).
Sunan Abi Dawud: ada empat hadis dalam Sunan Abi Dawud tentang membaca Amîn. Dua hadis tentang bacaan amin dalam shalat dan dua lagi tentang bacaan amin untuk menutup doa. Keempat hadis itu dha’if dengan alasan-alasan berikut. Hadis yang pertama dan kedua bersumber dari Wail bin Hujur. Pada isnadnya ada periwayat hadis yang dipertentangkan oleh ulama tentang keshahihannya. Berdasarkan kaidah ilmu hadis, al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’di, yang mencela didahulukan dari pada yang memuji; di sini kita kutipkan hanya yang menjarh saja. Hadis pertama dicacat (a’allahu) oleh Ibn Qaththan karena ada Hujur bin ‘Anbas. Ia tidak dikenal (‘Awn al-Ma’bud, Syarh Abi Dawud 2: 145). Hadis kedua dalam sanadnya ada ada Ali bin Shalih (sebenarnya Al-Ala bin Shalih) yang menurut Ibn Al-Madini: Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar. Al-Bukhari berkata: Tidak boleh diikuti. Kata Ibn Hajar: Ia jujur tapi banyak kesalahan, shaduq lahu awham (Tahdzib al-Kamal 22:512; Tahdzib al-Tahdzib 8: 64). Hadis ketiga mempunyai sanad yang dha’if juga karena ada ‘Ashim al-Ahwal yang, menurut Ibn Idris, mempunyai perilaku yang buruk. Ia menolak hadis-hadisnya (Tahdzib al-Tahdzib 6:39).
Sunan al-Turmudzi: ada dua hadis dalam Sunan al-Turmudzi. Selain dalam kedua hadis itu ada Hujur bin ‘Anbas dan Al-Ala bin Shalih sebagai orang-orang dha’if dalam Sunan Abu Dawud, dalam hadis pertama ada Bandar Muhammad bin Basysyar.
Menurut Al-Dzahabi, ia dicurigai pendusta dan penipu, Ibn Mu’in mendha’ifkannya dan Al-Qawariri tidak menyukainya (Al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, 3:49, hadis 7269). Berikut ini fatwa Sayyid Murtadha dalam Al-Intishar 144. Setelah mengutip antara lain, Al-Muhalla, yang mengatakan: “Di antara kekhususan Imamiyah ialah lebih menyukai meninggalkan lafazh ‘amin’ setelah membaca Al-Fatihah karena kebanyakan fuqaha mengatakan bahwa mengucapkan ‘amin’ itu sunnah”, Sayyid Al-Murtadha berkata: “Dalil kami baginya ialah kesepakatan mazhab kami bahwa kata amin itu bid’ah dan membatalkan shalat. Termasuk juga ihtiyath. Tidak ada perbedaan di antara berbagai mazhab bahwa barangsiapa meninggalkan kata itu ia tidak bermaksiat dan tidak membatalkan shalatnya. Tentang hukum mengucapkannya terjadi ikhtilaf, dan mazhab Imamiyah menetapkan bahwa membaca ‘amin’ itu bid’ah dan membatalkan shalat. Tidak ada ikhtilaf juga bahwa kata amin itu bukan Al-Quran dan secara tersendiri bukan du’a dan tasbih. Mengucapkannya berarti mengucapkan kata yang bukan Al-Quran dan tasbih.”
Sebagai catatan tambahan bahwa ada ulama Syiah yang menyatakan mengucapkan amin saat shalat berjamaah dengan Ahlussunnah diperkenankan dan tetap sah shalatnya. ***