17/04/22

Alasan Pengikut Muslim Syiah Tidak Membaca Amin dalam Shalat

Suatu saat ada yang tanya tentang alasan tidak baca amin (aamiin) setelah selesai surah al-fathihah dalam shalat fardhu yang dzahar.  Perlu diketahui membaca amin termasuk masalah khilafiyah yang biasa terjadi di antara berbagai mazhab. 

Semua mazhab sepakat bahwa membaca amin bukan kewajiban. Kata Al-Jaziri: “Di  antara  sunnah-sunnah  shalat  ialah  membaca “amin” setelah  selesai  membaca  Al-Fatihah. Sunnah  bagi  Imam dan  Ma’mum  dan  dalam  shalat  munfarid. Sampai  di  sini sepakat  tiga  imam  mazhab: Hanafi, Syafi’i, Hanbali. Menurut pendapat Maliki: mandubah dan bukan sunnah” (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 1;150). Abu Hanifah dan  Sufyan  berkata: amin  diucapkan  imam, tetapi  tidak diucapkan  ma’mum,  yukhfihi al-ma’mum (Al-Majmu’ 3:373;  Al-Mughni  1:49). 

Dari  Malik  ada  dua  riwayat: Pertama  sama  seperti  pendapat  Abu  Hanifah;  kedua sama  sekali  tidak  memberikan  pendapatnya  (Al-Muhalla 3:264; Al-Mughni 1:489, 490; Al-Majmu’ 3:373). Menurut Al-Syafi’i: Ma’mum mengucapkannya dalam hati, tetapi dalam  pendapat terakhir, menjaharkannya sahabat Imam Syafii berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa  jika  shaf-shafnya berdekatan  dan  ma’mum semuanya mendengarkan  imam,  sebaiknya  ma’mum tidak mengeraskan bacaan Amin-nya. Jika shaf banyak, dianjurkan  ma’mum  mengeraskannya  supaya  yang dibelakangnya mendengarkannya (Al-Majmu’ 3:368). Kata Ahmad,  Ishaq,  Abu  Tsawr,  dan  Al-‘Atha:  Disunnahkan menjaharkannya (Al-Majmu’ 3:373; Al-Muhalla 3:364).

Dalam mazhab Ja’fari: membaca “amin” tidak disunnahkan, dengan alasan-alasan berikut. Dari  cara-cara  shalat  yang  diajarkan  Nabi  Muhammad saw  secara  terperinci  tidak  disebutkan  ketentuan  untuk  membacakan “amin”. 

Perhatikan hadis berkut ini: “Berkata  Abu  Hamid  al-Sa’idi:  Aku  orang  yang paling  tahu  tentang  shalat  Rasul  Allah  saw kemudian ia  berkata:  Bila  Rasulullah  saw  berdiri  untuk  shalat  ia mengangkat  tangannya  sampai  selurus  bahu,  dan  ia bertakbir  sampai  semua  anggota  badannya  menetap  pada tempatnya  yang  tepat.  Lalu  ia  membaca  (Al-Fatihah) kemudian  ia  bertakbir,  mengangkat  tangannya,  sampai selurus  bahunya,  kemudian  rukuk  dan  meletakkan  kedua telapak  tangannya  di  atas  kedua  lututnya. Kemudian  ia berkata: Allahu Akbar, kemudian turun ke atas tanah dan merenggangkan  kedua  tangannya  di  samping  (tubuhnya).  Lalu ia mengangkat kepalanya, dan meratakan telapak kaki kirinya  dan  duduk  di  atasnya... (dan  seterusnya).  Sahabat-sahabat lain yang hadir waktu itu berkata: Benar, memang begitulah Rasulullah saw shalat. Di antara  sahabat  yang hadir  waktu  itu  ialah Abu Hurairah, Sahl  al-Sai’di, Abu Usayd  al-Sa’idi,  Abu  Qatadah (Sunan al-Baihaqi 2: 105, hadis 2517; Sunan Abi Dawud 1: 194, Bab Iftitah al-Shalat, hadis  730; Sunan al-Turmudzi 2:105, hadis 304, Bab Iftitah al-Shalat).

Perbedaan  pendapat  di  kalangan  ulama  Ahlussunnah tentang “amin” berasal dari tidak kuatnya hadis-hadis yang dijadikan  sandaran  untuknya.  Ada  dua  kelompok  hadis tentang  “amin”:  (1)  hadis-hadis  dari  Abu  Hurairah dan (2) hadis-hadis dari yang tidak melalui Abu Hurairah. Untuk  hadis-hadis  Abu  Hurairah,  para  peneliti hadis  mempersoalkan ‘adalah  Abu  Hurairah. Bukan  hanya  para  peneliti  hadis,  para  ulama terdahulu dan bahkan para sahabat pun menganggap Abu Hurairah  tidak  dapat  dipercayai  dalam  meriwayatkan hadis.  Khalifah Umar pernah memperingatkan Abu Hurairah dan memukulnya dengan cemeti serta  melarangnya meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Khalifah berkata kepadanya: “Kamu  terlalu  banyak  meriwayatkan  hadis. Aku  yakin  kamu  berdusta  kepada  Rasulullah  saw.  Jika kamu  tidak  berhenti  meriwayatkan  hadis  dari  Nabi  Muhammad saw, aku  usir  kamu  ke  Daws  kabilahmu  atau  aku  kirim  kamu ke  negeri  monyet”  (Al-Dzahabi,  Siyar  A’lam  al-Nubala 2: 433, 8: 106).

Imam  Ali  karamallahu wajhah  berkata: “Ketahuilah, manusia yang paling  pembohong atau  ia  berkata:  makhluk  hidup  yang paling  banyak  berdusta  atas  nama  Nabi  Muhammad saw  adalah  Abu Hurairah al-Dawsi (Syarh Ibn Abi al-Hadid, 4: 64, Syarh Khuthbah 56). Ibn  Qutaybah, al-Hakim, Al-Dzahabi, dan Muslim menyebutkan bahwa ‘Aisyah berkata berulang kali: Abu Hurairah kadzdzab, tukang berbohong. Ia telah banyak membuat hadis dan menisbahkannya pada lidah Nabi Muhammad saw (Al-Hakim,  Kitab  Ma’rifat  al-Shahabah,  3:  513;  tarjamah Abu Hurairah).

Para  ulama Mu’tazilah  dan  ulama  mazhab Hanafi semuanya  menolak hadis-hadis  Abu  Hurairah  dan mengumumkan bahwa hukum atau fatwa yang keluar berdasarkan riwayat melalui Abu Hurairah bathil wa ghayri maqbul,  bathil  dan  tidak  boleh  diterima  (Syarh  Ibn  Abi al-Hadid  1:360).  Abu  Hanifah  berkata:  Semua  sahabat Nabi saw  bagiku  terpercaya  dan  ‘udûl  (jujur,  bersih,  dan tidak  pernah  salah)  dan  semua  hadis  yang  berasal  dari mereka  shahih  dan  dapat  diterima  kecuali  hadis-hadis yang bersambung kepada Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Samurah bin Jundab. Aku tidak menerimanya. Hadis-hadis  dari  mereka  ditolak  dan  dibuang (Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Mirqat al-Wushul, Muhammad bin Faramuz al-Hanafi, Pembahasan yang ketiga tentang Keadaan Rawi, lihat Syaikh al-Mudhirah: Abu Hurairah, 146).

Untuk hadis-hadis yang berasal dari sahabat selain Abu  Hurairah,  kita  mendapatkannya  dalam Sunan Ibn Majah, 1:278, Kitab al-Salat, Bab Al-Jahr bi-Amin; Sunan Abi Dawud,  1:246,  Kitab  al-Salat,  Bab  Al-Ta’min  waraa Al-Imam;  Sunan  al-Turmudzi,  2:30,  Kitab  al-Shalat,  Ma Ja-a fi al-Ta’min. Hadis-hadis itu semuanya dha’if dengan penjelasan sebagai berikut.

Sunan Ibn Majah: Hadis  pertama  dari  Ali  bin  AbiThalib. Dalam sanadnya ada Hamid bin Abd al-Rahman bin Abi Layla. Ia sangat jelek  hafalannya.  Kata  Abu  Hatim:  Ia  seorang  Syaikh yang hadisnya  tidak  boleh  dijadikan  hujjah,  la yuhtajju bi haditsih (Tahdzib al-Tahdzib  2:190;  lihat  Basyar  ‘Awwad, Syarh Sunan Ibn Majah, 2: 136, hadis 854). Hadis  kedua  dari  Abdul  Jabbar  bin  Wail  bin  Hujur adalah  dhaif  munqathi’, karena  Abdul  Jabbar  tidak mendengar  dari  bapaknya;  ia  lahir enam  bulan  setelah bapaknya  meninggal  dunia  (Basysyar ‘Awwad,  Syarh ibn  Majah,  2: 137;  Al-Bukhari, Tarikh  al-Kabir,  6: 106; Tahdzib al-Kamal, 16: 396; Ibn Hibban, Kitab al-Majruhin, 2: 273). Hadis ketiga dari dari ‘Aisyah adalah juga hadis dha’if karena  dalam  isnadnya  ada  Suhayl  bin  Abi  Shalih.  Kata Ibnu  Mu’in:  Hadisnya  tidak  bisa  dijadikan  hujjah.  Kata Abu  Hatim:  Hadisnya  boleh  dituliskan  tapi  tidak  boleh dijadikan hujjah (Tahdzib al-Tahdzib 4:263). Hadis  keempat  dari  Ibnu  Abbas  juga  sangat  dha’if, menurut  ahli  hadis  karena  dalam  sanadnya  ada  Thalhah bin  ‘Amr.  Dia  matruk,  dha’if  jiddan!  (Syarh  Sunan  Ibn Majah  2: 138;  Tadh’if Ibn Majah,  Al-Albani  183;  Tuhafat al-Asyraf,  5: 83;  Al-Musnad  al-Jami’ 8: 488,  hadis  6112).  Kata  Ibn  Sa’ad: Thalhah bin ‘Amr meninggal di Makkah pada tahun 102 H. Ia banyak meriwayatkan hadis, sangat dhaif (Al-Thabaqat al-Kubra 5:494).

Sunan Abi Dawud: ada  empat  hadis  dalam  Sunan  Abi  Dawud  tentang membaca  Amîn.  Dua  hadis  tentang  bacaan  amin  dalam shalat  dan  dua  lagi  tentang  bacaan amin  untuk  menutup doa. Keempat hadis itu dha’if dengan alasan-alasan berikut. Hadis  yang  pertama  dan  kedua  bersumber  dari  Wail  bin  Hujur.  Pada  isnadnya  ada  periwayat  hadis  yang dipertentangkan  oleh  ulama  tentang  keshahihannya. Berdasarkan kaidah ilmu hadis, al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’di, yang mencela didahulukan dari pada yang memuji; di sini kita kutipkan hanya yang menjarh saja. Hadis  pertama  dicacat  (a’allahu) oleh  Ibn  Qaththan karena  ada  Hujur  bin ‘Anbas.  Ia  tidak  dikenal (‘Awn  al-Ma’bud, Syarh Abi  Dawud 2: 145). Hadis kedua dalam sanadnya ada ada Ali bin Shalih (sebenarnya Al-Ala bin  Shalih) yang menurut Ibn Al-Madini: Ia banyak meriwayatkan  hadis-hadis  munkar. Al-Bukhari  berkata: Tidak boleh diikuti. Kata Ibn Hajar: Ia jujur tapi banyak kesalahan, shaduq lahu awham (Tahdzib al-Kamal  22:512; Tahdzib  al-Tahdzib  8: 64).  Hadis  ketiga  mempunyai sanad yang dha’if juga karena ada ‘Ashim al-Ahwal yang, menurut  Ibn Idris,  mempunyai  perilaku  yang  buruk.  Ia menolak hadis-hadisnya (Tahdzib al-Tahdzib 6:39).

Sunan al-Turmudzi: ada  dua  hadis  dalam  Sunan  al-Turmudzi.  Selain  dalam kedua  hadis  itu  ada  Hujur  bin  ‘Anbas  dan  Al-Ala  bin Shalih  sebagai  orang-orang  dha’if  dalam  Sunan  Abu Dawud,  dalam  hadis  pertama  ada  Bandar  Muhammad bin  Basysyar.  

Menurut  Al-Dzahabi,  ia  dicurigai  pendusta dan penipu, Ibn Mu’in mendha’ifkannya dan Al-Qawariri tidak  menyukainya  (Al-Dzahabi,  Mizan  al-I’tidal,  3:49, hadis 7269). Berikut ini fatwa  Sayyid  Murtadha dalam Al-Intishar 144. Setelah  mengutip  antara  lain, Al-Muhalla, yang  mengatakan:  “Di antara kekhususan Imamiyah ialah lebih menyukai meninggalkan lafazh ‘amin’ setelah  membaca Al-Fatihah  karena  kebanyakan fuqaha  mengatakan  bahwa  mengucapkan ‘amin’  itu sunnah”, Sayyid Al-Murtadha berkata: “Dalil kami baginya  ialah  kesepakatan  mazhab kami bahwa kata amin itu bid’ah dan membatalkan shalat. Termasuk juga ihtiyath. Tidak ada  perbedaan di  antara berbagai  mazhab bahwa barangsiapa meninggalkan kata itu  ia  tidak  bermaksiat dan tidak membatalkan shalatnya. Tentang hukum mengucapkannya  terjadi  ikhtilaf,  dan mazhab Imamiyah menetapkan bahwa membaca ‘amin’ itu  bid’ah dan membatalkan  shalat.  Tidak  ada  ikhtilaf juga  bahwa  kata  amin  itu  bukan  Al-Quran  dan  secara tersendiri bukan du’a dan tasbih. Mengucapkannya berarti mengucapkan kata yang bukan Al-Quran dan tasbih.” 

Sebagai catatan tambahan bahwa ada ulama Syiah yang menyatakan mengucapkan amin saat shalat berjamaah dengan Ahlussunnah diperkenankan dan tetap sah shalatnya. ***