فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا
رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ
Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim)
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika
bintang itu terbenam (sirna) dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam
(sirna).” (Qs Al-Anam: 76)
Ayat ini menjadi dasar dari Al-Tahzib, yang bermakna memperbaiki adab, perilaku, sikap, perbuatan dan ilmu. Adab yang baik dari Ibrahim as dengan perkataan ini karena berargumentasi melalui sifat al-imkan, yaitu kesirnaan; sedangkan wujud niscaya terlepas dari sifat tersebut. Ilmunya mengantarkan dirinya pada kesempurnaan dan menolak ikatan selain kepada-Nya. "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan" (QS 6:79).
Penjagaan diri adalah ujian bagi penghulu
kepermulaan dan syariat dari syariat pelatihan diri (al-riyadhah). Yang
dimaksud ujian adalah keterlepasan diri dari keburukan sifat yang merupakan
puncak dari kepermulaan perjalanan awal dan syariat dari syariat pelatihan
diri, yaitu thariqah atau ketentuan ruhani yang ditempuh oleh salik.
Tahapan pertama Al-Tahzib adalah memperbaiki pelayanan. Tidak
diliputi kebodohan, bukan karena dorongan kebiasaan, tidak berhenti
kesungguhan. Memperbaiki pelayanan terhadap al-Haqq tidak diliputi kebodohan.
Pelayanan yang didasarkan pada kebodohan akan menyebabkan sikap tidak beradab,
upaya. Pelayanan yang dilakukan dalam maksud mendekatkan diri justru menjadi
sebab dirinya tertolak. Perkhidmatan bukan karena dorongan diri karena dorongan
diri berasal dari hawa nafsu yang merupakan keburukan. Perkhidmatan kepada
al-Haqq harus didasarkan pada pengetahuan. Tidaklah berhenti kesungguhan bahwa
dengan pelayanan yang membuat ridha akan menimbulkan rasa puas dan bangga, yang
sehingga menghentikan salik untuk terus menyempurnakan diri dalam pelayanan
pada al-Haqq dan hal ini tentu berbahaya bagi proses perbaikan diri.
Tahapan kedua adalah perbaikan keadaan (al-haal).
Bahwa tidak mengubah keadaan dengan ilmu, tidak menundukkan dibawa
kebiasaan dan tidak mengarah pada sikap berlebih padanya.
Keadaan (al-haal) adalah derajat ruhaniah yang
diberikan al-Haqq pada salik. Keadaan ini perlu dijaga dan dirawat dengan cara:
tidak mengubahnya dengan ilmu, yaitu tetap dalam ketentuan dan hukum yang ada
padanya sekali pun bertentangan dengan pemikiran dan logika salik. Pedang akal
menjadi tumpul di hadapan setiap tetes cinta. Tidak menundukkan di bawah
kebiasaan (al-rasm), yaitu kebiasaan dalam mengikuti aturan fikih maupun ilmu
karena berada dalam aynul yaqin. Sehingga ketetapan zhahir yang
selama ini diikuti sudah tidak bermakna pada tingkat ini. "Kebaikan bagi
orang baik adalah keburukan bagi orang yang dekat."
Tidak berlebih kepadanya dalam kebahagiaan
mendapatkan keadaan tersebut, bahkan menghiasi diri dengan tindakan-tindakan
berlebih yang justru merusak keadaan (mengungkap rahasia dengan kata-kata yang
menggambarkan ketinggian di hadapan awwam).
Tahapan ketiga adalah penjagaan dan pelurusan maksud; dengan
membersihkan kerendahan hal yang makruh, hal yang menjatuhkan dan pengetahuan
yang mendorong perbuatan. Bahwa tujuan bagi salik tidak lain al-Haqq dan bukan
selainnya. Membersihkan niat menjadi hal yang sangat mendasar. Termasuk tujuan
untuk dapat memberikan manfaat, menjadi lebih baik, bahkan kemuliaan akhirat
bertentangan dengan tujuan pada tingkat karena semua itu bukanlah al-Haqq.
Pada tingkat ini yang makruh adalah segala
jenis kebaikan yang memiliki tujuan selain dari al-Haqq, baik itu ganjaran,
surga dan kebaikan lainnya. Tindakan yang dilakukan atas dasar ini adalah hal
yang makruh dilakukan. Demikian pula perbuatan baik dilakukan bukan hanya yang
biasa, namun perbuatan baik yang terkandung kesempurnaan di dalamnya.
Terliputi penyakit yang menjatuhkan seperti
ujub dan kemalasan. Ujub karena karomah yang muncul. Demikian pula kemalasan
karena telah merasa berada pada kedudukan yang tinggi. "Sekiranya mereka
mendirikan shalat mereka mendirikan shalat dengan kemalasan" (QS 4:142).
Bahwa pengetahuan dan ilmu mendorong amal
dengan tujuan-tujuan dari setiap amal; sedangkan salik beramal hanya semata
karena al-Haqq untuk al-Haqq bersama al-Haqq, tidak ada sesuatu selain itu.
Mendengarkan pandangan ilmu dalam tingkat ini adalah penghalang diri salik.***
Kholid Al Walid adalah Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Program Belajar Tasawuf di YouTube Misykat TV