16/07/22

Riwayat Mazhab Ahlulbait as dan Pola Kata ‘Azhim dalam al-Quran [by Muhammad Shalawat]

 Bismillahir rahmanir rahim

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad

Menurut riwayat mu’tabar (otoritatif) dari khazanah Ahlulbait Nabi SAW, Imam ‘Ali bin Musa al-Ridha as menyampaikan dialog antara Allah SWT dengan Nabi Ibrahim as, ketika ia hendak mengorbankan putra tercintanya Nabi Isma‘il as sebagai bentuk kepasrahan, ridha, pengikisan kehendak diri dan penyembelihan rasa kepemilikan seorang hamba di hadapan Sang Kekasih, Sang Pemilik Sejati. Inti dari dialog Nabi Ibrahim as itu sebagai berikut:

• Di antara semua makhluk Allah SWT, beliau paling mencintai Nabi Muhammad SAW. Bahkan lebih mencintai Nabi Muhammad SAW dibanding dirinya sendiri

• Beliau lebih mencintai putra Nabi Muhammad SAW (Imam Husain as) dibanding putra beliau sendiri

• Terbunuhnya putra Nabi Muhammad SAW (Imam Husain as) di tangan musuhnya itu lebih menyakitkan bagi beliau dibanding terbunuhnya putra beliau di tangan beliau sendiri.

Allah SWT berfirman:


يا إبراهيم فإن طائفه تزعم انها من امه محمد (ص) ستقتل الحسين عليه السلام ابنه من بعده ظلما وعدوانا كما يذبح الكبش


“Wahai Ibrahim, sungguh ada sekelompok orang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW yang akan membunuh putranya sepeninggalnya secara zhalim dan sebagai (ungkap) permusuhan, (ia dibunuh) layaknya domba disembelih”.

Menerima kabar perihal Imam Husain as itu, Nabi Ibrahim as menangis sangat sedih dan merasakan kepedihan dalam hatinya. Allah SWT berfirman:

يا إبراهيم قد فديت جزعك على ابنك اسماعيل لو ذبحته بيدك بجزعك على الحسين عليه السلام وقتله واوجبت لك ارفع درجات أهل الثواب على المصائب

 “Wahai Ibrahim, aku tebus kedukaanmu atas putramu Isma‘il seandainya kau jadi menyembelihnya dengan kedukaanmu atas al-Husain dan pembunuhan terhadapnya. Kutetapkan untukmu derajat ahli pahala musibah yang teramat tinggi”.

Imam ‘Ali bin Musa al-Ridha as kemudian berkata: Itulah (makna) firman Allah ‘Azza wa Jalla:


وفديناه بذبح عظيم


 wa fadainahu bi dzibhin ‘azhim.

 

“Dan kami menebusnya dengan sembelihan yang ‘azhim” (QS. Al-Shaffat: 107).

Imam as lalu membaca: Wa la haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim.

Rujuk: ‘Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 2, halaman 187-188, hadits no. 17.

Berdasarkan riwayat ini, maka dapat dipahami hewan domba yang menggantikan itu Nabi Isma‘il as itu bukan pengganti yang hakiki. Korban yang hakiki adalah Imam Husain as, cucu terkasih Rasulullah Muhammad SAW. Bagi saya pribadi, riwayat ini lebih sesuai dengan penggunaan kata ‘azhim di 37:107 dan di ayat-ayat lain. Di kitab Maqayis al-Lughah jilid 4, halaman 355, Ibnu Faris (w. 395 H) menjelaskan makna dasar dari kata ‘azhama adalah kibar (keagungan, kebesaran dan keluasan) dan quwwah (kekuatan, kemampuan, kekuasaan dan potensi). Tentu masih ada makna-makna lain yang masih berkaitan dengan makna dasar itu, tergantung turunan kata, perubahan bentuk kata dan konteks penggunaannya. Contoh-contohnya bisa dibaca di kitab Lisan al-‘Arab jilid 12, dari halaman 409. 

Meskipun kata ‘azhim dalam bahasa Arab bisa digunakan sebagai besar dan kekuatan secara fisik, tetapi pola ‘azhim di al-Quran itu titik tekan utamanya bukan pada besar secara jasmani, fisik, lahiriah, atau besar dalam sudut pandang alam materi. Tetapi kata ‘azhim di al-Quran menunjukkan sesuatu yang luar biasa, besar, dahsyat, teramat penting, memiliki potensi atau daya atau kekuatan yang membantu untuk seorang dapat menyempurna, luhur dan agung secara ruhani dan intelek. Jadi sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang alam ruhani dan alam intelek. Identifikasi itu diperoleh dengan melihat subjek dan objek untuk kata ‘azhim. Kata ‘azhim di al-Quran sering dilekatkan dengan sesuatu yang berikut ini: Allah SWT, al-Quran, naba’ (berita besar berupa hujjah atau kebenaran), ‘arasy, khuluq (akhlak, perangai, tabiat atau malakah), bala’ (ujian), hari pembalasan, ganjaran kebaikan, ‘adzab, zhulm (kezaliman, kegelapan), nasib, dosa, tipu daya dan kemenangan. Semua ini digambarkan dengan ‘azhim. Bagaimana kita akan memahaminya bila ‘azhim pada semua itu hanya sebatas dimensi materi atau lahiriah? Betul bahwa khuluq (akhlak) itu bisa dilihat dari aspek lahiriah jasmani, tetapi itu manifestasi dari esensi khuluq yang batin. Betul bahwa dosa bisa tampak dengan mengambil bentuk-bentuk lahiriah jasmani, tetapi bentuk-bentuk itu lebih bersumber pada dorongan atau daya yang bersifat non-materi dan sejatinya perwujudan dosa ada di alam non-materi. Dan seterusnya demikian.

Kalau pun ada kata ‘azhim di al-Quran yang dilekatkan dengan sesuatu yang lebih bersifat fisik atau sudut pandang alam materi—dan ini jumlahnya sedikit—seperti di 26:63, 28:79 dan 43:31, maka itu ada perinciannya:

• Kata ‘azhim di 26:63 meskipun objeknya gunung (tawd al-‘azhim) , tetapi itu konteksnya adalah menunjukkan hujjah/kebenaran. Karena konteksnya soal hujjah/kebenaran, tentu terkait dengan sudut pandang alam ruhani dan alam intelek. Menariknya, penyebutan tawd al-‘azhim di ayat itu bukan sebagai fenomena yang benar-benar terjadi/eksis di realitas eksternal, melainkan sebagai perumpamaan atas laut yang terbelah.

• Kata ‘azhim di 28:79, meskipun objeknya adalah nasib dan tolak ukur nasib di situ berupa perolehan duniawi (harta benda dan semacamnya), tetapi ingat itu disampaikan dari perspektif si pembicara kala itu. Pembicara yang dimaksud adalah mereka yang ingin kehidupan dunia seperti Karun. Pemilihan kata ‘azhim dalam ucapan mereka itu mengandung kesan atau isyarat bahwa mereka menganggap perolehan duniawi yang relatif itulah kemuliaan dan keagungan (‘azhim) yang sejati dalam menjalani kehidupan.

• Kata ‘azhim di 43:31 meskipun objeknya rajul (laki-laki), tetapi lagi-lagi itu disampaikan dari perspektif si pembicara kala itu. Pembicara yang dimaksud adalah mereka yang menganggap bahwa si fulan yang ada di Makkah dan Tha‘if itu ‘azhim (mulia, terpandang, kaya atau punya status sosial dunawi, berpengaruh/orang besar, atau petinggi di komunitasnya). Di literatur tafsir disebutkan bahwa orang yang dipandang ‘azhim itu adalah Walid bin Mughirah dan ‘Urwah bin Mas‘ud. Jadi anggapan bahwa dua orang tersebut layak disebut ‘azhim itu bukan berdasarkan “sudut pandang” Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Dengan mempertimbangkan pola penggunaan kata ‘azhim di al-Quran dan keserasiannya, maka agak janggal kalau sembelihan ‘azhim yang hakiki yang dimaksud di 37:107 itu sekedar hewan domba, apalagi bila dimaknai domba yang besar secara fisik. Tentulah sembelihan ‘azhim yang hakiki yang dimaksud itu sosok luar biasa yang menyandang kemuliaan, keluhuran, keagungan, posisinya teramat penting, memiliki daya atau potensi besar yang dapat menyempurnakan dirinya sendiri dan selain dirinya dan ia merupakan samudera yang luas dan memiliki keluasan pengaruh dalam sudut pandang alam ruhani dan alam intelek. Maka pola kata ‘azhim dan penyandang semua ini lebih sesuai jika dzibh ‘azhim (sembelihan agung) yang dimaksud adalah Imam Husain as.

Menariknya, Rasulullah Muhammad SAW dalam al-Quran 68:4 disifatkan memiliki khuluq (akhlak, budi pekerti, perangai, tabiat atau malakah diri) yang benar-benar ‘azhim. Bahkan ada penafsiran yang mengatakan Nabi Muhammad SAW berada di atas/lebih dari khuluq yang ‘azhim itu. Innaka la‘ala khuluqin ‘azhim. Nah, kalau kita merujuk hadits shahih yang sangat masyhur: “Husain minni wa ana min Husain” (Husain dariku dan aku dari Husain) dan menyandingkannya dengan hadits mu’tabar di Syi‘ah bahwa sembelihan ‘azhim yang sebenarnya adalah Imam Husain as, maka dapat dipahami penyifatan kata ‘azhim untuk Imam Husain as di 37:107 itu merupakan perwujudan manifestasi sempurna dari sifat ‘azhim yang disandang Rasulullah Muhammad SAW di 68:4. Bukankah Ahlul Bait as adalah manifestasi paling sempurna dari keteladanan Rasulullah Muhammad SAW secara zhahir maupun batin? 

Semoga bermanfaat dan diluaskan berkahnya. Titip doa selalu. Shalawat.

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum...