19/07/22

Partisipasi Kristen dalam Diskursus Hukum

Artikel “The public role of dhimmis during ‘Abbasid times” dimulai dengan perbincangan soal kepemimpinan non-Muslim sebagai wazir dalam diskursus fikih. Saya mendiskusikan perdebatan fikih itu untuk menunjukkan bahwa, dalam banyak hal dan ini salah satu contohnya, diskusi fikih adalah satu hal dan kenyataan historis adalah hal lain. Poin ini akan menjadi jelas di bagian akhir tulisan ini.

 

Dalam tulisan sebelumnya diulas alasan pragmatis kenapa orang-orang Kristen diangkat menempati posisi kepemimpinan terpenting kedua setelah khalifah sendiri, yakni sebagai wazir. Salah seorang fuqaha yang mendiskusikan status hukum “jabatan wazir bagi non-Muslim” ialah Mawardi (w. 450/1058) dalam al-Ahkam al-sulthaniyyah.
 
Mawardi menjelaskan hubungan antara khalifah dan kantor wizarat sebagai berikut: Khalifah mengangkat wazir untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam menunaikan tugasnya, wazir dapat dibantu oleh kepala kementerian atau departemen dgn jajaran pegawai untuk mengurus keberlangsungan jalannya pemerintahan.
 
Kantor wizarah dapat mengambil dua bentuk: 1. Wazir yang mendapat otoritas penuh untuk mengatur administrasi negara (wizarah al-tafwid), dan 2. wazir yang mengeksekusi tugas-tugas yang diperintahkan oleh khalifah (wizarah al-tanfidz). Kekuasaan wazir pertama bersifat independen, karena ia dapat menyusun kebijakan dan mengambil keputusan sendiri; sementara yang kedua tidak demikian, karena bergantung pada penugasan khalifah.
 
Lebih lanjut, Mawardi menegaskan non-Muslim boleh diangkat mengepalai kantor wizarah al-tanfidz. Artinya, mereka (hanya) menjalankan tugas-tugas yang diperintahkan khalifah, dan tidak boleh mengambil keputusan sendiri. Sementara itu, jabatan wazir tafwid tidak boleh diberikan kepada non-Muslim.
 
Untuk menjustifikasi pandangannya ini, Mawardi membedakan syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi wazir tafwid dan tanfidz. Sebagai seorang yang bertanggungjawab penuh terhadap jalannya roda pemerintahan dan dapat mengambil keputusan sendiri, kualifikasi wazir tafwid sama dengan khalifah, termasuk kemampuan berijtihad, kecuali syarat keturunan Quraisy (Mawardi mengikuti riwayat hadis bahwa pemimpin harus berasal dari keturunan suku Quraisy).
 
Persyaratan bagi wazir tanfidz lebih ringan, karena pejabat kantor wizarat tanfidz hanya sebatas mengeksekusi perintah atasan, yakni khalifah. Yang diperlukan ialah keterampilan mengeksekusi tugas-tugas, selain jujur dan dapat dipercaya.
 
Mawardi menulis karya pentingnya ini kemungkinan pada akhir masa pemerintahan khalifah al-Qadir billah atau penggantinya al-Qa’im billah. Artinya, buku itu ditulis pada masa di mana kebijakan mengangkat non-Muslim dalam jabatan politik strategis, termasuk posisi wazir, cukup luas.
 
Tak berlebihan jika dikatakan, Mawardi mencoba menjustifikasi praktik yang sedang berlangsung dalam tata-kelola pemerintahan pada zaman Abbasiyah. Dalam bahasa H.A.R. Gibb, teori politik Islam yang dikembangkan Mawardi tak lebih dari “merely the post eventum justification of the precedents” atau “rationalization of the history of community.”
 
Pada saat yang sama, Mawardi bermaksud membatasi wilayah kekuasaan wazir non-Muslim yang, seperti disebutkan dalam tulisan sebelumnya, cenderung tanpa batas. Dalam tulisan lain akan saya elaborasi bahwa, dalam praktiknya, sebagian wazir (baik Muslim maupun non-Muslim) pada masa itu memang sangat powerful. Dan, jabatan ini kerap dipercayakan kepada non-Muslim.
 
Perbincangan fikih pasca-Mawardi mulai kehilangan aspek “justifikasi post eventum” atau “rasionalisasi sejarah” kebijakan dalam pemerintahan yang nyata (real politik). Muhammad bin Thalhah bin Abi Salim, yang menulis bukunya “al-‘Iqd al-farid lil-malik al-sa’id” setelah runtuhnya khilafah Abbasiyah, menyebut perbedaan pendapat di kalangan fuqaha soal apakah jabatan wazir tanfidz dapat diserahkan kepada non-Muslim.
 
Salah seorang yang menolak pengangkatan non-Muslim menjadi wazir (baik tanfidz maupun tafwid) ialah Imam Haramain al-Juwaini. Sebagai seorang mutakallim cum-faqih (ahli kalam plus fikih), Juwaini mengajukan argumen rasional berbasis teks (namun kehilangan dimensi “real politik”-nya).
 
Basis teks yang dimaksud ialah riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa kesaksian non-Muslim dalam perkara yang melibatkan Muslim tidak dapat diterima, karena salah satu syarat diterimanya kesaksian ialah “Islam.” (Sampai sekarang saya tak paham bagaimana afiliasi agama dapat menentukan nilai kesaksian seseorang. Apakah kalau seseorang menganut agama Islam, ia pasti jujur?)
 
Dari riwayat-riwayat semacam itu, Juwaini membangun argumen rasionalnya: Jika dalam urusan remeh-temeh (kesaksian) saja non-Muslim tidak boleh dilibatkan, maka secara a fortiori ia tak boleh diangkat untuk jabatan penting sebagai wazir. Juwaini juga mengutip surat al-Ma’idah 51 itu.
 
Penolakan lebih keras digaungkan oleh faqih madzhab Hanbali, Abu Ya’la yang menulis kitab dengan judul yang sama dengan karya Mawardi, al-Ahkam al-sulthaniyyah. Jika Mawardi dan Juwaini berasal dari madzhab Syafi’i, Abu ‘Ya’la yang Hanbali menyitir banyak riwayat dari kalangan Sahabat, seperti Umar bin Khattab atau Ali bin Abi Thalib.
 
Misalnya, dalam sebuah riwayat, Umar pernah melarang Abu Musa al-Asy’ari mempekerjakan seorang Kristen sebagai sekretarisnya. Atau, Ali pernah ditanya apakah dibolehkan mengangkat Yahudi atau Kristen dalam jabatan publik, seperti pengumpul pajak (kharaj), dan jawabannya: “Jangan pernah minta bantuan mereka!”
 
Demikianlah diskursus fikih semakin menjauh dari realitas politik. Perhatian para fuqaha tertuju pada bagaimana praktik pengangkatan non-Muslim dalam jabatan publik harus di-stop. Jika tidak mengethui konteks historis, kita (pembaca abad ke-21) akan mengira diskursus fikih yang melarang non-Muslim menjadi wazir merupakan ajaran Islam yang dirumuskan oleh para fuqaha berdasar dalil-dalil tekstual dan rasional.
 
Padahal, diskursus fikih tersebut awalnya muncul sebagai reaksi terhadap kenyataan historis di mana non-Muslim banyak mengisi jabatan-jabatan politik strategis dalam pemerintahan Islam awal. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari reaksi para fuqaha itu ialah: Sebagaimana para penguasa mengangkat non-Muslim karena alasan pragmatis, para fuqaha juga mengembangkan hermeneutika pragmatis (istilah “hermeneutika pragmatis” dalam teori fikih akan saya elaborasi dalam diskusi di UIN Antasari, Banjarmasin, akhir Juli ini) untuk menjustifikasi pandangan hukum (legal views)-nya.
 
Di sinilah letak pentingnya kita (termasuk para ahli hukum) memahami konteks-konteks historis lahirnya suatu diktum fikih atau hukum Islam. Sampai di sini semoga menjadi jelas, bahwa diskursus fikih adalah suatu hal, dan kenyataan sejarah adalah hal lain. *** (artikel dari FB Munim Sirry)