23/07/22

Al-Quran Ditransmisikan secara Mutawatir?

Dalam buku “Rekonstruksi Islam Historis,” saya mendiskusikan secara detail bukti-bukti material berupa manuskript kuno yang menunjukkan preservasi (kodifikasi dan pemeliharaan) al-Qur’an yang terjadi secara sangat awal. Bukti manuskrip kuno juga memperlihatkan teks al-Qur’an telah stabil lebih awal dari hipotesis yang dikemukakan John Wansbrough. Jadi, tesis radikal Wansbrough tidak dapat dipertahankan! 

Yang tidak bisa dibuktikan oleh manuscript kuno ialah apa yang terjadi sebelum al-Qur’an dikodifikasikan dalam satu mushaf. Taruhlah, misalnya, al-Qur’an yang ada sekarang merupakan preservasi dari mushaf yang dibukukan pada masa Usman (jika kita mengabaikan proyek “mushaf kedua” yang diprakarsai Hajjaj bin Yusuf). Bukti-bukti material tak dapat digunakan untuk menjawab apakah “mushaf Usmani” merupakan preservasi al-Qur’an yang diproklamirkan Nabi.
 
Kaum Muslim mengimani bahwa al-Qur’an yang ada sekarang (yang diyakini berasal dari teks zaman Usman, dan karenanya disebut “rasm ‘ustmani”) sama persis seperti yang diproklamirkan Nabi. Ada tiga alasan yang biasa digunakan untuk menguatkan keimanan tersebut.
 
Pertama, argumen yang diambil dari ayat al-Qur’an sendiri, yakni surat al-Hijr ayat 9, yang diterjemahkan Depag sebagai berikut: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Sebenarnya dalam ayat tersebut tidak ada kata “al-Qur’an,” melainkan “menurunkan al-dzikr.” Namun demikian, kata “dzikr” umumnya dipahami sebagai al-Qur’an, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa “dzikr” merupakan salah satu nama al-Qur’an.
 
Argumen kedua ialah terkait periwayatan al-Qur’an sampai kepada kita. Para ulama berpandangan bahwa al-Qur’an ditransmisisikan secara mutawatir. Istilah “mutawatir” ini diambil dari terminologi ilmu hadis, yakni jika suatu hadis diriwayatkan oleh jumlah perawi di setiap generasi (dari awal hingga akhir) cukup banyak sehingga tidak dimungkinkan ada kebohongan. Dalam kaitan ini, al-Qur’an sampai kepada kita melalui riwayat mutawatir.
 
Ketiga, argumen berbasis bukti material. Yakni, bahwa seluruh kaum Muslim dari berbagai sekte (Sunni, Syi’i, Ibadi, dan lainnya) serta dari berbagai belahan dunia menggunakan al-Qur’an yang sama. Bagi sebagian orang, kenyataan ini merupakan bukti kuat bahwa al-Qur’an terpelihara dari dahulu hingga sekarang.
 
Dari ketiga argumen di atas, sebenarnya argumen paling kuat (walaupun belum tentu tahan uji historis) ialah yang kedua, dan disusul oleh argumen pertama. Yang paling lemah adalah argumen ketiga. Jadi, argumen yang biasanya diklaim paling kuat sebenarnya justeru lemah.
 
Kenapa argumen ketiga tergolong paling lemah? Sebab, kenyataan bahwa kaum Muslim menggunakan al-Qur’an yang sama bukanlah bukti mushaf ini sama persis seperti yang sampaikan Nabi. Kesamaan mushaf di seluruh dunia hanyalah bukti kuat bahwa al-Qur’an tidak mengalami perubahan sejak dibukukan seperti yang ada sekarang.
 
Dalam kelas “Islam Revisionis” yang akan dimulai hari Jumat ini, saya akan mendiskusikan argumen pertama dan kedua, terutama argumen bahwa al-Qur’an ditransmisikan secara mutawatir. Bagaimana jika argumen “transmisi al-Qur’an” tersebut diuji dari perspektif kritik historis? Apakah argumen tersebut dapat dipertahankan? Secara historis, pertanyaan paling penting adalah: Sejak kapan argumen “al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir” itu muncul? Dan apa maksudnya?
 
Kelas “Islam Revisionis” yang dikelola LSAF ini akan bertemu tiga kali (mestinya empat kali, tapi jadwal saya bulan Agustus cukup sulit). Saya belum tahu apakah tiga pertemuan itu hanya akan mendiskusikan argumen pertama dan kedua. Namun demikian, saya bisa pastikan minimal satu pertemuan akan secara khusus menguji argumen tersebut.
 
Saya berharap, kelas ini akan menjadi ruang diskusi yang konstruktif. Dan, tentu saja, asyik. Bagi kawan-kawan yang berminat diskusi, sampai ketemu hari Jumat. Saya kira acara ini tidak akan di-youtube-kan, supaya jika ada pertanyaan langsung saya jawab. Sampai jumpa ya…