Dalam tulisan seri ke-10, saya menyebut selintas bentuk-bentuk persekusi dan diskriminasi yang dialami non-Muslim, termasuk dan terutama Kristen, yang direkam dalam sumber-sumber Muslim awal. Juga, dalam seri ke-8, diberikan contoh bagaimana khalifah Umar bin Khattab melarang Sahabat Abu Musa al-Asy’ari mengangkat seorang Kristen sebagai sekretarisnya.
Dalam tulisan ini saya akan mengulas salah satu dokumen awal yang mengurai bentuk-bentuk regulasi dan perlakuan diskrimatif terhadap Kristen. Dokumen ini dikenal dengan berbagai nama, seperti “ahd Umar”, “uhdah Umariyah” atau “syurut Umariyah” (aturan2 Umar). Seperti diduga, dokumen ini diatribusikan kepada Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Nabi wafat.
Syurut Umariyah ini direkam dalam sumber-sumber Muslim awal, baik sumber historiografi maupun fikih. Misalnya, dokumen ini dapat ditemukan dalam “Tarikh” Tabari atau “Kitab al-Umm” Syafi’i atau “Kitab al-Kharaj” Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) dengan beragam versi. Profesor Mark Cohen dari Princeton meneliti 50 versi syurut Umariyah, dan dia meragukan otentisitas pengatribusian dokumen ini kepada Umar. (Saya akan menyebut Umar bin Khattab sebagai “Umar I”, karena dalam tulisan selanjutkan saya akan mendiskusikan dokumen lain yang diatribusikan kepada Umar bin Abdilaziz, khalifah Umayyah, sebagai Umar II.)
Sebelum mendiskusikan perdebatan modern terkait historisitas syurut Umariyah, terlebih dahulu akan disebutkan isi/konten dari ketentuan atau pakta Umar tersebut. Syurut Umariyah bisa disebut “pakta/kesepakatan” karena berisi surat perjanjian yang ditulis kelompok Kristen dan ditujukan kepada Umar I.
Dalam surat tersebut, orang-orang Kristen menyebut berbagai ketentuan yang tidak akan mereka lakukan selama hidup dalam “negara” Islam. Dalam prolognya disebutkan, “Abd al-Rahman bin Ghanm meriwayatkan, bahwa ketika Umar bin Khattab menyepakati perdamaian dengan penduduk (Kristen) Syam (Suriah), kami menulis sebagai berikut.”
Kemudian dilanjutkan, “Hadza kitab li-‘abd Allah ‘Umar amir al-mu’minin min nashara Madinat kadza” (Ini sebuah surat kepada hamba Allah Umar, pemimpin kaum beriman, dari orang-orang Kristen wilayah tertentu). Dalam surat ini diurai secara detail hal-hal yang tidak akan dilakukan kaum Kristiani.
Misalnya, mereka tidak akan membangun gereja baru atau memperbaiki gereja yang rusak. Pintu gerbang akan senantiasa dibuka. Mereka berjanji akan menyediakan makanan bagi setiap Muslim yang melintas atau singgah di wilayah mereka.
Jadi, isi surat itu memang penegasan bahwa orang-orang Kristen tidak akan melakukan ini dan itu. “Kami tidak akan mengajarkan Quran kepada anak kami.”
“Kami tidak akan merayakan perayaan keagamaan di ruang publik.”
“Kami tidak akan menyebarkan agama kami. Dan kami tidak akan melarang siapapun dari anggota kami untuk masuk Islam.”
Juga, disebutkan hal-hal yang membedakan mereka dari kaum Muslim: “Kami tidak akan menyerupai kaum Muslim dalam hal pakaian seperti tidak akan memakai turban atau memanjangkan rambut.” Bahkan, ketika naik kuda pun, mereka berjanji tidak akan menggunakan sadel yang biasa digunakan orang-orang Islam. Tidak akan menjual minuman berakohol atau daging babi.
Singkatnya, dalam surat tersebut orang-orang Kristen bersepakat tidak akan melakukan sesuatu yang memperlihatkan kesetaraan. Jelasnya, mereka merupakan warga negara yang rendah. Tidak akan mengeraskan suara ketika beribadah, tidak akan mendirikan rumah yang lebih tinggi dari rumah kaum Muslim, dan seterusnya.
Di bagian penutup, Abd al-Rahman (perawinya) menuturkan bahwa ketika surat tersebut diserahkan kepada Umar I, dia menyetujui dan menambahkan: “Mereka tidak boleh membeli tawanan perang (sebagai budak), dan jika mereka sengaja membunuh orang Muslim pakta ini dengan sendirinya akan batal.”
Apakah penisbatan dokumen ini kepada Umar I dapat diotentifikasi? Itulah pertanyaan yang sudah lama didiskusikan para sarjana. Perlu diketahui, syurut Umariyah ini merupakan salah satu dokumen yang paling banyak dikaji sarjana-sarjana Barat sejak awal abad ke-19.
Terkait asal-usul dokumen, dua pertanyaan penting menyita perhatian para sejarawan modern: Siapa sebenarnya yang menulis pakta Umar ini? Mengapa pakta ini berbentuk surat yang ditulis penduduk yang ditaklukkan?
Para peneliti awal di Barat, termasuk William Muir, Thomas Arnold, atau MJ de Goeje, sudah memperlihatkan skeptisisme tentang historisitas dokumen ini. AS Tritton, penulis yang saya sebut dalam tulisan bagian 7, meragukan otentisitas dokumen ini persis karena formatnya yang berbentuk surat dari kelompok Kristen. Suatu perjanjian kesepakatan yang ganjil.
Pertanyaan common sense-nya ialah: Bagaimana mungkin penduduk taklukan menghinakan diri sendiri? Bukankah lebih masuk akal jika para penakluk mendektikan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan, atau apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, oleh penduduk lokal?
Ada dua alasan lain kenapa otentisitas dokumen ini sulit dibuktikan secara meyakinkan. Pertama, seperti diteliti Cohen, berbagai versi syurut Umariyah yang dicatat dalam sumber-sumber Muslim ternyata sangat beragam. Tak ada cara untuk memverifikasi versi mana yang otentik. Dapat dipastikan, pada awal abad ke-3 H atau ke-9 M, beberapa versi dokumen ini sudah tersirkulasi luas, walaupun tak dipastikan darimana asal-usulnya.
Sebenarnya sebelum menjadi perhatian sarjana-sarjana Barat modern, pakta Umar ini sudah dikaji cukup detail oleh ulama Muslim abad ke-4 H/10 M di Mesir, bernama Qadi bin Zabr, dalam risalah pendeknya berjudul “Syurut al-Nashara.” Dalam kitab tipis ini, Ibn Zabr merekam kembali 4 versi pakta Umar ini dengan sanad berbeda-beda.
Menariknya, salah satu versi menyebut Abd al-Rahman bin Ghanm bukan sebagai perawi, melainkan penulis surat tersebut: “Katabtu ila ‘Umar ibn Khattab, radhiya Allah ‘anhu, hina shalaha Nashara al-Syam” (Saya [Abd al-Rahman] menulis surat kepada Umar bin Khattab ketika dia membuat kesepakatan damai dengan orang-orang Kristen Syam/Suriah.”
Alasan kedua kenapa atribusi dokumen ini kepada Umar cukup problematik ialah karena tidak terkoroborasi dengan praktik perlakuan terhadap Kristen pada abad pertama Islam. Seperti didiskusikan dalam beberapa tulisan pendek terdahulu, kalangan non-Muslim, termasuk Kristen, menikmati kebebasan beragama yang relatif luas. Bahkan, sebagian mereka menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah.
Memang, ada kebijakan dari khalifah tertentu yang bersifat negatif dan cenderung diskriminatif terhadap kelompok Kristen. Tetapi, hal itu lebih sebagai pengeculian daripada fenomena umum. Misalnya, Umar bin Abdilaziz, khalifah ke-8 Umayyah, disebut-sebut mengembangkan kebijakan pencopotan non-Muslim dari jabatan publik.
Surat Umar II kepada para gubernurnya untuk memberhentikan non-Muslim dari jabatan politik direkam dalam banyak sumber Muslim. Namun demikian khalifah Yazid yang menggantikannya justeru disebutkan mengangkat kembali orang-orang Kristen yang dicopot oleh Umar II.
Demikian juga kebijakan khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abbasiyah. Disebutkan, al-Mutawakkil berambisi menerapkan kebijakan Umar II. Namun, pada akhir masa kehilafahannya, ia justeru mengangkat beberapa orang Kristen dalam jajaran elit pemerintahannya.
Dalam tulisan berikutnya, saya akan diskusikan kebijakan Umar II terkait hak-hak politik orang Kristen. Saya akan tulis nanti setelah pulang liburan di pulau Mackinac, Michigan. Terkait historisitas surat-surat Umar II ini, jika tak sabar, teman-teman dapat membaca perdebatan seru dan sangat terpelajar antara Milka Levy-Rubin (dari Israel) dan Luke Yarbrough (dari Amerika).
Tapi jika anda sabar, ya tunggu saya ringkaskan perdebatan mereka nanti, hehehe. ***