17/07/22

Hubungan Agama Negara

Dalam tulisan berseri ini, walaupun masih akan berlanjut, kita sudah dalam posisi bagus untuk berefleksi perihal apa yang bisa dipelajari dari keterlibatan non-Muslim, terutama Kristen, dalam sejarah pemerintahan Islam awal. Tentu saja refleksi tipis-tipis ini dapat dikembangkan sesuai sudut pandang atau perspektif kita masing-masing. 

Pelajaran pertama yang muncul di kepala ialah betapa luasnya keterlibatan non-Muslim menempati pos-pos pemerintahan strategis dalam “negara Islam” awal. Sembilan tulisan pendek terdahulu memberikan potret sepintas alias tipis-tipis (eh, kenapa jadi suka kata ini) terkait model “toleransi agama” yang melintang dari Damaskus (Umayyah) ke Baghdad (Abbasiyah) hingga Kairo (Fathimiyah).
 
Tentu tidak tepat menganggap “toleransi” pada masa itu sebagai ciri penting pemerintahan Islam. Sebab, “toleransi” merupakan konsep modern, terutama yang kita pahami saat ini sejak masa John Locke. Terlebih lagi, sejarah Islam juga meliputi lembaran hitam persekusi dan diskriminasi kelompok minoritas dan pembatasan hak-hak sipil pada non-Muslim. Mungkin tema ini akan saya ulas dalam tulisan bagian berikutnya.
 
Namun demikian, dan ini bisa dikembangkan sebagai argumen penting, kendati ada pembatasan hak-hak sipil dan politik yang dipraktikkan sebagian khalifah dan diperkuat dalam diskursus fikih, kenyataannya ialah non-Muslim banyak mencapai posisi politik penting dan berpengaruh dalam rentang waktu cukup panjang.
 
Maka, pelajaran penting yang dapat dipetik ialah perlunya pembacaan yang luas terhadap lembaran-lembaran sejarah masa lalu. Hubungan Muslim-Kristen, misalnya, tidak bisa dilihat sebagai berbentuk hitam-putih sebatas permusuhan, konflik berdarah, penaklukan dan perang salib semata. Sejarah masa lalu memang fenomena yang kompleks, tak bisa dibaca dengan analisis sumbu pendek.
 
Memang, tak bisa dipungkiri, sejarah hubungan Islam-Kristen mencakup lembaran hitam kekerasan dan perang. Itu tak dapat disangkal. Tapi, ada juga momen-momen persahabatan dan kolaborasi yang genuine. Di samping rivalitas dan permusuhan, kita juga menjumpai periode di mana dialog konstruktif, kerjasama keilmuan, dan saling membutuhkan untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai fanorama indah hubungan harmonis antar berbagai komunitas berbeda agama.
 
Ketika pemerintahan Umayyah, Abbasiyah, dan Fathimiyah terbuka, maka bukan hanya negaranya maju dan memimpin dunia, tapi juga Islam dan pengetahuan tentangnya berkembang demikian pesat dan mengalami masa keemasan. Pada periode itu, terutama masa Abbasiyah, kita menyaksikan bukan hanya kreatifitas secara keilmuan, melainkan juga kreatifitas secara politik. Yakni, ketika mereka berbuka mengadopsi sistem pemerintahan dari luar, termasuk kantor wizarat dari kerajaan Sasanian Persia.
 
Pelajaran kedua ialah soal hubungan agama-negara pada periode awal Islam. Hingga saat ini, pandangan dominan di kalangan sarjana politik Islam ialah bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dan negara. Pandangan “integralis” ini terutama didasarkan pada asumsi bahwa pemerintahan Islam awal (khilafah) menyatukan agama dan politik.
 
Tapi, kita perlu menyadari, diktum “Islam sebagai agama dan negara (din wa daulah)” itu merupakan produk zaman modern. Istilah itu hanya muncul setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah di Turki.
 
Lalu, apakah pemerintahan Islam awal mengenal pemisahan agama dan negara? Lagi-lagi, sebagaimana toleransi, “sekularisasi” juga konsep modern yang tak dapat serta-serta dianggap “virtue” Islam awal di dunia Arab Timur Tengah. Namun demikian, menilik keterlibatan non-Muslim yang luas dalam pemerintahan Umayyah, Abbasiyah dan Fathimiyah, tak sulit untuk berargumen bahwa ya ruang agama dan politik saat itu memang relatif terpisah.
 
Fakta bahwa sebagian khalifah mendelegasikan otoritas administratif menjalankan roda pemerintahan kepada non-Muslim mengonfirmasi kesimpulan sebagian sarjana tentang pemisahan agama dan negara dalam masyarakat Muslim awal. Sebab, sulit dibayangkan wazir non-Muslim diharapkan akan mengatur sistem pemerintahan sesuai Syari’ah yang dirumuskan para fuqaha.
 
Dengan kata lain, di satu sisi, urusan negara dikelola oleh wazir non-Muslim sesuai sistem yang dianggap efektif pada zaman itu. Di sisi lain, urusan agama berada di luar kontrol negara dan menjadi wilayah para ulama. Itulah bentuk sekularisasi yang berkembang pada periode awal pemerintahan Islam.
 
Perlu dicatat, posisi ulama dalam pemerintahan Islam awal memang masih menjadi perbincangan hangat di kalangan sarjana modern. Ira Lapidus dan Patricia Crone termasuk sarjana yang berargumen bahwa ulama dan umara (penguasa) periode Islam awal, terutama Abbasiyah, cenderung berseberangan.
 
Kedua sejarawan Barat itu berargumen bahwa para ulama tak terlibat atau dilibatkan dalam urusan pemerintahan. Implikasinya ialah ada pemisahan antara agama dan negara. Ulama dan umara memiliki dunianya sendiri. Tak jarang, kata Lapidus dan Crone, mereka terlibat dalam konflik yang tajam.
 
Pandangan ketidak-harmonisan hubungan ulama-umara ini dipersoalkan oleh Muhammad Qasim Zaman. Guru besar di Universitas Princeton ini berargumen, keterlibatan penguasa Abbasiyah dalam urusan agama sangat dalam, sehingga sulit disimpulkan ada pemisahan antara agama dan negara.
 
Qasim Zaman benar dalam batas tertentu. Tapi, dengan mendelegasikan tugas-tugas negara kepada wazir non-Muslim, para khalifah telah gagal mengintegrasikan institusi negara menjadi apa yang dirumuskan para fuqaha sebagai “pemerintahan Islami.” Dalam realitasnya, negara dan agama muncul sebagai dua institusi yang berfungsi secara independen, terpisah satu sama lain.
 
Refleksi tipis-tipis (eh, lagi) saya cukupkan di sini. Masih akan bersambung… ***

Artikel dari FB Munim Sirry