08/08/22

KH Miftah Rakhmat: Salah Makna tentang Asyura?

Bismillahirrahmanirrahim

Bismi Rabbis Syuhada’i was Shiddiqin

Bismi Rabbil Mustadh’afin

Wa shallallahu ‘ala Rasulihi Nabiyyil karim, ar-Raufir Rahim

Wa Alihi, aimmatul fuqara’i wal masakin.

Ada ratusan hadits tentang Asyura. Dalam Ensiklopedi Digital Al-Durar al-Sanniyyah tercatat 627 hadits dengan entri: Asyura. Kebanyakan hadits itu berkisah tentang keutamaan puasa, mandi besar atau bercelak pada hari Asyura. Pahalanya beragam, mulai dari kifarat dosa setahun, pahala tujuhpuluh tahun puasa siang dan shalat malamnya, hingga pahala seluruh penghuni langit yang tujuh dan para malaikatnya. Dari sisi jumlah dan variasi bentuknya, mungkin pahala ibadah di hari Asyura ini melebihi ibadah fardhu atau sunnah seperti dhuha dan puasa Senin-Kamis. Meski banyak di antaranya didhaifkan, banyak juga yang disahihkan. Ada pula hadits-hadits yang menghubungkan hari Asyura ini dengan ragam peristiwa di zaman para nabi, hari raya para nabi, hingga hari penciptaan langit dan bumi. Variatif sekali. Komplit sekali. Amalan sapujagat, ya Asyura. Demikian kesimpulan ragam periwayatan. 

Adapun tentang puasa, kebanyakan mendasarkannya pada hadits ini: Dari Abdullah bin Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ketika Baginda Nabi Saw sampai di Madinah, beliau melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi Saw bertanya: “Apakah ini?” Mereka berkata: “Ini hari yang baik. Allah Swt menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka. Maka Nabi Musa as berpuasa pada hari ini.” Nabi Saw bersabda, “Aku lebih berhak kepada Musa dari kalian.” Maka Nabi Saw berpuasa dan memerintahkan (umat) untuk berpuasa. Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari melalui dua jalur: Abdullah bin Said dan Abi Basyar. Bukhari memuatnya dalam Kitabus Shaum bab Shaum Yawma Asyura, hadits 2003 dan Imam Muslim dalam Shahihnya, hadits nomor 2653-2655. An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah juga meriwayatkannya dengan sedikit perbedaan redaksional. 

Kata kunci pada hadits di atas adalah: ketika Baginda Nabi Saw sampai di Madinah. Artinya, pada saat hijrah. Mari kita lihat hadits berikutnya. 

Dari Ummul Mukminin, Aisyah ra: Asyura adalah hari ketika orang Quraisy berpuasa di masa jahiliyyah, dan Baginda Nabi Saw juga berpuasa pada hari itu. Ketika Baginda Nabi Saw sampai di Madinah, Baginda Nabi Saw berpuasa Asyura dan memerintahkan orang untuk puasa Asyura. Dan ketika diwajibkan puasa bulan suci Ramadhan, Baginda Nabi Saw meninggalkan puasa Asyura. Barangsiapa yang ingin, berpuasalah. Barangsiapa yang ingin, tinggalkanlah puasanya. (Shahih Bukhari, hadits nomor 2002). Kalimat kunci pada hadits ini: orang Quraisy sudah puasa Asyura di masa jahiliyyah, dan ternyata bagi Baginda Nabi Saw bukan sesuatu yang baru (sehingga Baginda Nabi Saw kemudian bertanya dan memulai tradisi baru). Baginda Nabi Saw menghentikan juga puasa Asyura beliau ketika diwajibkan bulan suci Ramadhan. Sejarah sepakat, kaum Muslimin memulai puasa pada tahun kedua hijriah. Artinya, setahun setelah Baginda Nabi Saw bertanya tentang “ma hadza?” hari apakah ini. Jadi, apakah Baginda Nabi Saw sempat berpuasa Asyura di Madinah? 

Hadits ketiga. (Ketika) Baginda Nabi Saw berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) untuk juga berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah Saw bersabda: “Maka jika tiba tahun yang akan datang, kita akan berpuasa pada hari at-Tasi’ (kesembilan).” Dan ketika datang tahun berikutnya, wafatlah Baginda Nabi Saw. (HR. Abdullah bin Abbas, hadits 1134, Shahih Muslim). 

Jika Baginda Nabi Saw wafat pada tahun kesebelas setelah hijrah, maka keberatan para sahabat akan hari yang diagungkan oleh umat Yahudi dan Nasrani disampaikan pada tahun kesepuluh hijriah. Bagaimana mendamaikannya dengan hadits pertama, lalu dengan hadits yang kedua bahwa Baginda Nabi Saw menghentikan puasa Asyura setelah diwajibkan bulan suci Ramadhan? 

Untuk menjawabnya, bukan hanya studi tentang ragam penggunaan kata Asyura dalam hadits yang diperlukan, melainkan juga perspektif bahasa tentang kata ‘Asyura’. Kata yang menggunakan wazan ‘Faa’uula’ ini menarik perhatian para ahli. Wazan ini lebih banyak digunakan untuk mubalaghah (hiperbolis) atau isim alat, sedang dalam banyak periwayatan, ia selalu merujuk dan dinisbahkan pada penanggalan. Asyura, hari kesepuluh, dan Tasu’a hari kesembilan. Bagaimana, bila ternyata…tidak ada wazan, tidak ada model penggunaan untuk bilangan ini selain dari kesembilan dan kesepuluh. Tidak ada Tsamuna untuk hari kedelapan, atau Sabu’a untuk hari ketujuh. Dan bila ia ternyata tidak merujuk pada bilangan, bagaimanakah mendamaikan seluruh hadits tentang Asyura? *** (bersambung)

KH Miftah Rakhmat, Ketua Dewan Syuro IJABI