18/10/22

INILAH MAZHABKU: Mazhab di Atas Mazhab [by Haidar Bagir]

Sekapur Sirih

Buku ini tak pernah direncanakan untuk saya susun. Seperti saya tulis di Bab “Menjawab Tuduhan-Tuduhan”, sudah lama sebetulnya saya malas bicara tentang pertikaian Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah. Lebih sering tak produktif dan makan hati. Maka, untuk waktu yang lama, saya memilih berbicara dan menulis tentang masalah-masalah lain yang saya anggap lebih mendesak dan, pada saat yang sama, lebih mudah diterima orang banyak.

Hingga, suatu kali, kira-kira 6 bulan lalu, datang permintaan untuk menjadi narasumber di acara Orasi Budaya Syukuran Milad ke-22 IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia). IJABI adalah organisasi yang didirikan oleh Almarhum Pak Jalaluddin Rakhmat. Kalau bukan itu acaranya, mungkin saya sudah akan langsung menolak. Tapi, Pak Jalal adalah salah seorang guru saya, selain Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafii, Pak Kunto, Pak Quraish, dan banyak lagi.

Kebetulan juga, sudah lama saya ingin menulis tentang tasawuf sebagai titik temu antara Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah. Jadi, bukan terutama soal Ahlus-Sunnah dan Syi‘ahnya, melainkan soal tasawuf—yang memang sudah selama puluhan tahun menjadi fokus minat saya—sebagai muara bagi banyak mazhab dan aliran dalam Islam.

Maka, saya tawarkan judul “Tasannun dan Tasyayu’....” sebagai topik bahasan saya. Ternyata, panitia langsung menerimanya. Lebih jauh dari itu, ternyata banyak orang merasa tercerahkan oleh orasi itu, terutama oleh upaya saya yang menunjukkan bahwa di awal-awal sejarah Islam—khususnya di kalangan penganut Islam, termasuk para ulamanya—yang jauh dari panggung politik, pertikaian Sunni-Syi‘i tidaklah sebesar itu.

Bahkan, di awal-awal sejarahnya, batas-batas perbedaan antara kedua mazhab ini sangatlah baur. Yang Ahlus-Sunnah menerima Syi‘ah sebagai mazhab yang “biasa-biasa” saja, sehingga tak ada permusuhan di antara keduanya, demikian pula sebaliknya. Bahkan, seorang Sunni bisa ke-“Syi‘ah-Syi‘ah”-an (mutasyayi’), dan sebaliknya seorang Syi‘i bisa ke-“Sunni-Sunni”-an (mutasannin). Mereka saling mengambil dan belajar, bahwa menjadi Sunni dan Syi‘i tak harus berarti saling bertikai, apalagi saling membenci.

Saya pun mendapat respons positif dari mana-mana. Banyak orang merasa terbuka matanya, lalu menjadi lebih relaks terkait perbedaan mazhab dalam Islam ini. Maka, pelan-pelan terbentuklah keinginan mengembangkan—atau tepatnya mem-down—pembahasan dalam makalah tersebut menjadi tulisan-tulisan ringkas dan sederhana untuk mengungkapkan apa yang saya tahu dan yakini terkait fakta-fakta yang jarang ditulis orang tentang apa saja yang ada di balik pertikaian kedua mazhab besar ini. Juga, bahwa sesungguhnya pertikaian itu tidak perlu.

Setelah beberapa tulisan—yang hanya saya tulis dengan medium WA (WhatsApp)—itu muncul, tiba-tiba ada beberapa orang teman yang minta agar tulisan-tulisan tersebut dibukukan. Bahkan, suatu saat masuk ke meja saya sebuah calon buku setebal 200-an halaman yang mengumpulkan tulisan-tulisan yang terkait dengan topik ini, hasil suntingan seorang penulis yang baik hati.

Tentu saya senang. Tapi bukannya tak waswas juga. Apakah jika buku ini saya putuskan untuk diterbitkan, saya tak menjerumuskan diri saya sekali lagi pada suatu urusan yang terbukti tak produktif seperti dulu lagi?

Tapi, kemudian saya berpikir ulang. Umur saya sudah 65 tahun. Persoalan pertikaian Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah ini, khususnya di Indonesia, ternyata juga tak kunjung mereda. Pada momen-momen tertentu bahkan makin marak, dan selalu saja ada potensi suatu saat bisa meledak. Penyebabnya bisa datang dari sisi mana saja.

Maka, intuisi saya menyatakan bahwa saya yang selama ini telah “menikmati” sebutan sebagai “pentolan Syi‘ah”—padahal saya sejak kapan pun tak pernah merasa terikat dengan mazhab apa pun—mungkin memang berada dalam posisi yang tepat untuk akhirnya angkat suara tentang soal yang umurnya sudah nyaris setua agama Islam ini sendiri.

Dan, kalau nanti ternyata benar-benar ada manfaatnya, biarlah risiko ini saya tanggung. Maka, ide membuat buku sederhana tentang masalah ini pelan-pelan menjadi menarik buat saya.

Betapa pun, ini adalah suatu perspektif yang khas. Yakni, hasil dari perkembangan, untuk tak menyebut kulminasi, perenungan selama kurang-lebih 40 (empat puluh) tahun, dari perspektif dan wawasan saya tentang masalah ini. Bagi yang berbaik hati mau mengikuti perjalanan pemikiran saya tentang persoalan ini, sebetulnya amat mudah melihat bahwa sejak awal saya adalah orang yang percaya bahwa keberadaan mazhab-mazhab adalah wujud dari keragaman yang natural dalam keberagamaan. Tak ada sesuatu yang salah di dalamnya. Malah itu adalah suatu khazanah yang bisa memperkaya pemahaman kita akan agama yang kita anut. Jadi, sebaliknya dihindari, ini adalah hal yang perlu disyukuri.

Orang, misalnya, bisa dengan mudah melihat upaya saya membuat buku pendekatan antarmazhab, yang bisa mendekatkan pemahaman dan hati para penganut mazhab-mazhab yang berbeda, dengan menerbitkan—merencanakan, mewawancara, menyunting, dan memberi pengantar—buku Satu Islam, Sebuah Dilema.

Juga ketika saya menulis buku Murtadha Muthahhari: Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Saya memang mengagumi Muthahhari, yang notabene adalah salah seorang ulama Syi‘ah. Tapi, di antara sumber kekaguman saya adalah bahwa Muthahhari justru menonjol sebagai tokoh yang bersemangat mendekatkan mazhab-mazhab dalam Islam. Inilah kutipan dari Muthahhari yang saya sertakan dalam pengantar saya tersebut:

“Di kalangan kaum Muslim terdapat perbedaan dalam masalah-masalah fikih, sehingga hal ini menimbulkan berbagai mazhab fikih, seperti Ja‘fari, Zaidi, Hanafi, Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali. Masing-masing mazhab itu memiliki fikih tersendiri.

Dari sudut pandang doktrin, mereka terbagi pula menjadi berbagai mazhab kalam, dan masing-masing memiliki seperangkat doktrin tersendiri. Yang terpenting di antaranya adalah Syi‘ah, Mu‘tazilah, Asy‘ariyah (sering diidentikkan dengan Ahlus-Sunnah—penyunting/HB), dan Murji’ah....

Perbedaan-perbedaan teoretis dan pandangan tentu terdapat dalam setiap masyarakat, meski masyarakat itu bersatu dan sepakat dalam prinsip. Selama perbedaan-perbedaan itu timbul akibat metode-metode penyimpulan, dan bukan karena vested-interest, maka perbedaan-perbedaan itu bahkan bermanfaat; sebab hal-hal ini menyebabkan adanya mobilitas, dinamisme, diskusi, keingintahuan, dan kemajuan.

Perbedaan akan menyebabkan kesengsaraan apabila disertai prasangka-prasangka serta kutub-kutub emosional dan tidak logis, serta menimbulkan saling fitnah dan saling menghina, bukannya memacu ke arah upaya-upaya untuk membarui diri.
Karena itu, perbedaan sendiri tidak dapat disalahkan. Yang dapat disalahkan ialah perbedaan yang timbul karena niat-niat buruk dan kepentingan-kepentingan diri sendiri ....”

Betapa pun, uraian saya dalam buku ini sudah pasti subjektif juga. Tapi, tentu sumbernya bukan sekadar pikiran nyeleneh (whimsical) saya yang asal-asalan. Ya, perspektifnya bisa jadi subjektif, tapi bahan-bahannya saya ambil dari uraian para ahli di bidangnya.

Maklum, dalam soal ini, seperti dalam hal apa pun, selalu ada beragam perspektif. Dan ini keyakinan saya juga. Barangkali memang inilah temperamen (isti’dad/disposisi) saya. Temperamen rekonsiliatif, yang melihat semua orang dari kelompok apa pun, pada dasarnya sama. Yang baik dari kelompok mana pun, ya baik; yang tidak baik, ya tidak baik. Orang-orang yang cerdas dan terbuka ada di kelompok mana pun. Demikian pula yang bebal (ahmaq).

Saya selalu percaya pada kebaikan fitri manusia. Kalaupun terjadi pertikaian, lebih sering itu akibat orang terbawa arus yang lebih besar, lebih sering arus politik. Pada kenyataannya, dalam sejarah, politik banyak dikendalikan oleh orang-orang yang manipulatif dan hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya. Dan bahwa selalu ada banyak hal subtil (lembut) yang terlibat di dalamnya—yang orang gagal melihatnya—padahal bisa menjadi sumber permakluman jika dipertimbangkan baik-baik.

Setiap kelompok, setiap mazhab, pun punya kelebihan-kelebihannya sendiri, sebagaimana setiap kelompok, setiap mazhab, punya ruang yang bisa diisi mazhab yang lain untuk penyempurnaannya. Karena, pada akhirnya, mazhab bukanlah wahyu itu sendiri, tidak pula identik dengan Nabi yang ma‘shûm, melainkan penafsiran manusia atas sumber-sumber ilahi agama ini—yang, tentu saja, bisa salah. Orang lain boleh punya tafsir lain, dan masing-masing bisa sama-sama benar dan saling melengkapi, atau setidak-tidaknya bisa saling menyeimbangkan.

Saya pun pelan-pelan menulis bab-bab lain untuk melengkapi materi yang ada. Hingga, setelah memilah dan memilih dari bahan-bahan yang disampaikan penulis itu, serta melengkapinya dengan bab-bab baru, lengkaplah bahan-bahan untuk menerbitkan buku ini.

Sekarang menjadi jelas kenapa buku ini dijuduli Inilah Mazhabku: Mazhab di Atas Mazhab? Judul itu saya ambil bukanlah karena saya menganggap terlalu penting diri saya, dan pentingnya orang mengetahui mazhab saya. Sama sekali tidak.

Mudah dipahami dari uraian saya sebelumnya, judul ini terkait dengan kenyataan bahwa perspektif saya, sedikit atau banyak, bersifat subjektif. Orang pun boleh punya perspektif yang lain lagi. Dan, tak perlu dikatakan lagi bahwa perspektif saya belum tentu benar. Karena itu, ia boleh diterima semua atau dibuang semua. Atau, ia boleh diterima sebagian dan dibuang sebagian yang lain.

Tentu saja saya bukannya tidak tahu bahwa perspektif saya ini bisa mengecewakan, setidaknya bagi sekelompok orang di dua kubu yang terlibat: Ahlus-Sunnah maupun Syi‘ah. Bagi yang Sunni dari kelompok ini, buku saya ini betapa pun akan dianggap sebagai upaya pembelaan terhadap Syi‘ah. Karena, di mata mereka, bukankah saya memang “pentolan Syi‘ah”?

Sedangkan bagi Syi‘i dari kelompok sejenis, buku ini bisa dianggap ingin menetralisasi kekhasan—untuk tak menyebut keunggulan—mazhab Syi‘ah di mata mereka. Selebihnya, subjudul “Mazhab di Atas Mazhab” dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa saya tidak anti- mazhab. Saya tak memilih subjudul “mentransendensikan mazhab-mazhab” atau bahkan “menuju Islam tanpa mazhab”.

Dan bahwa, meski buku ini berupaya menonjolkan persamaan-persamaan di antara Sunnah-Syi‘ah, betapa pun tawaran saya—jika diterima—akan membentuk semacam “mazhab” (baca juga: perspektif) tersendiri, yang tentu alami saja. Lagi pula, bagaimana orang bisa anti kepada pengelompokan, aliran, dan mazhab?

Pengelompokan, aliran, dan mazhab adalah tabiat umat manusia. Tak ada yang salah di situ. Yang salah adalah justru menuntut keseragaman. Lebih-lebih lagi, keseragaman yang mengandung keyakinan bahwa semua harus mengikut mazhab, kelompok, atau alirannya sendiri, sembari menyalah-nyalahkan, menyesat-nyesatkan, dan mengafir-ngafirkan kelompok lain.

Akhirnya, saya perlu sampaikan sebuah disclaimer. Buku ini, meski memiliki perspektif khas, berbicara mengenai topik ini secara umum saja, tidak mendetail, dan tidak pula menggali terlalu jauh ke dalam perbedaan-perbedaan dalam spektrum luas kelompok yang disebut sebagai Ahlus-Sunnah, demikian juga dalam hal Syi‘ah. Kita semua tahu bahwa dalam aliran Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah, ada spektrum luas yang di dalamnya ada perbedaan-perbedaan yang terkadang cukup kontras.

Dalam buku ini, saya mendefinisikan Ahlus-Sunnah sebagai yang bukan Syi‘ah, atau Khawarij, sebagaimana dipahami secara umum. Kita tentu tahu bahwa aliran Salafiyah/Wahhabiyah pun memiliki tak sedikit perbedaan—bahkan pertentangan—dengan kelompok-kelompok Ahlus-Sunnah wal Jama‘ah yang selebihnya, termasuk dalam soal kalam (teologi) dan juga fikih politik, selain fikih pada umumnya. Tapi, dalam banyak hal, kelompok ini juga memiliki kesamaan dengan kelompok-kelompok Ahlus-Sunnah selainnya, khususnya dalam hal perbedaannya dengan Syi‘ah, termasuk terkait akidah Syi‘ah tentang imamah.

Hal-hal terperinci seperti ini, sebagaimana banyak hal terperinci lainnya, pada umumnya tidak saya bahas dalam buku sederhana ini. Mengapa? Pertama, karena memang tujuan buku ini tak seambisius itu. Ia semata-mata hanya untuk menawarkan sebuah perspektif rekonsiliatif dalam melihat masalah ini.

Kedua, selain bukan ahli, saya pun tak pernah telaten membahas persoalan-persoalan yang terlalu terperinci dan bertele-tele. Seperti dalam tulisan atau wacana lain yang saya kemukakan melalui berbagai buku dan percakapan saya, betapa pun saya adalah seorang aktivis. Saya lebih tertarik kepada transformasi konkret dalam masyarakat pada umumnya, bukan hanya menyumbang kalangan masyarakat ilmiah.

Ketiga, sudah banyak buku yang ditulis oleh orang-orang yang lebih ahli dalam topik ini—yang hampir semuanya menjadi rujukan saya dalam menulis buku sederhana ini.

Meskipun demikian, saya berharap buku ini bisa memberikan sumbangan, sekecil apa pun, dalam wacana keragaman mazhab dalam Islam. Dan, lebih dari itu, buku ini bisa ikut menyumbang dalam cita-cita besar umat Islam untuk mencapai persatuan di antara berbagai mazhab, kelompok, dan aliran yang ada agar, pada akhirnya, lebih terbuka peluang bagi umat ini untuk memberikan kontribusi positif bagi peradaban dan kemanusiaan. Karena, selain “menebarkan rahmat bagi semesta”, apalagi misi pengutusan Nabi Muhammad kepada alam ini?

Depok, 30 September 2022