18/10/22

Saif bin Umar, Pembuat Mitos Ibnu Saba [by Muhammad Babul Ulum]

Setelah dengan arogan menolak hasil penelitian Al-Askari yang terbit tahun 1968 dan menuduhnya menyontek tesis sarjana Yahudi, Hichem Djait, yang terbit tahun 1989. Syamsudin Arif berusaha menegaskan otoritas Saif bin Umar sebagai pencipta nama Ibnu Saba. Menurut Arif, "Saif bin Umar ahli sejarah paling otoritatif. Hanya sarjana orientalis seperti Wellhausen, Martin Hinds, dan Madellung di zaman modern berusaha meruntuhkan ketokohan Saif bin Umar ini." Silakan lihat alenia terakhir halaman 33. 

Benarkah hanya sarjana orientalis saja yang menolak ketokohan Saif bin Umar? Berikut akan saya tunjukkan pendapat sarjana tradisional Islam-awal tentang sosok Saif ini. Bagi yang bisa bahasa arab, baik bangsa kadrun atau bukan, bisa buka kitab Tahdzib Al-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, juz 4. Yang ndak bisa bahasa Arab dan punya uang silahkan beli buku al-Muawiyyat.

Di situ akan ditemukan banyak data dan fakta sejarah yang secara otomatis meruntuhkan klaim syamsuddin arif di atas. Jauh sebelum ia merilis tesisnya tentang Saif di tahun 1439 H. Para ulama yang hidup mulai tahun 200 H sudah menilai Saif sebagai seorang pendusta, pembual yang tak dapat dipercaya, seorang zindiq yang merusak ajaran agama. Mana lebih dulu tahun 200 H atau tahun 1493 H? Silahkan jawab sambil minum cendol dawet lima ratusan di pinggir jalan.

Pilihan ada pada anda. Apakah akan menerima klaim Syamsudin Arif, atau menerima pendapat ulama yang hidup sezaman/dekat dengan zaman Saif. Kalau mau konsisten dengan metodologi ilmiah tentunya pendapat Syamsuddin Arif harus dikesampingkan, tapi jangan dibuang ke tong sampah lho ya. Karena kanun dasar ilmu sejarah yang ilmiah adalah ambil sumber yang paling dekat dengan aktor terjadinya peristiwa. Kecuali kalau kajiannya ndak ilmiah babar blas dengan mengambil referensi darimana saja seperti yang terjadi dalam kasus yang sedang kita diskusikan, maupun kasus-kasus lain yang akan kita bahas ke depan.

Semua ulama hadis jaman old sepakat menilai Saif cacat dengan pelbagai idiom cacat yang tidak bisa ditolerir. Di sini saya sebut idiom jarh/cacat yang tidak dimaafkan. Mengapa? Karena ada rawi yang dicacat/dijarh tapi riwayatnya masih dibolehkan. Tapi tidak dengan Saif ini. Idiom jarh yang menimpanya tingkat tinggi. Siapa yang menerima sebutan seperti yang ia terima, tiada maaf baginya. Riwayatnya harus ditolak. Maka dari itu bila konsisten dengan kajian ilmiah maka semua informasi yang datang dari Saif harus ditolak. Jadi, penolakan terhadap Saif adalah konsekwensi metodologis. Bukan karena meng-echo-kan pendapat sarjana Yahudi, seperti klaim Arif. Paham kan drun?! 

Ibnu Main menilai riwayat Saif lemah, tidak ada yang baik darinya. Abu Dawud menyebutkan kadzdzab (pendusta). Al-Nasai menyebutnya rawi yang lemah, hadisnya matruk, tidak dapat dipercaya. Ibnu Adi menyebutnya lemah hadisnya tapi sebagiannya terkenal dan umumnya munkar, seperti mitos Ibnu Saba ini. Ibnu Hibban menuduhnya suka meriwayatkan hadis-hadis palsu dengan tekanan ia seorang zindiq. Al-Hakim juga menyebutnya seorang zindiq.

Setelah mendengar pendapat ulama jaman old ttg sosok Saif ini. Kita balik ke tesis Arif (dalam buku Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syiah), benarkah hanya orientalis yang menolak otoritas Saif?! Bila doi keukeuh dengan pendapatnya berarti para ulama jaman old yang nama-namanya tersebut di atas adalah para orientalis yang berusaha meruntuhkan otoritas Saif sebagai sumber sejarah kepercayaannya Al-Thabari. Udah gitu dulu ajah. Nanti dilanjutkan. ***

Muhammad Babul Ulum, penulis buku Al-Muawiyyat