Islam revisionis sendiri sebenarnya tidak tunggal. Ada revisionis radikal yang sangat antipati. Ada pula revisionis moderat, yang simpatik. Menurut revisionis radikal, Nabi Muhammad pun adalah sosok fiktif. Jangan pernah percaya dengan semua sumber Muslim yang dibuat jauh sepeninggal Nabi. Itu tesis utamanya. Semua sumber itu tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sekedar imajinasi para penulisnya yang dibuat untuk menglorifikasi sosok yang mereka imani. Materinya bertentangan antara satu dengan yang lain yang mustahil ditemukan jalan kompromi. Meminjam sabda Asmuni Sri Mulat: suatu hil yang mustahal. Di mana kemustahalanya? Silahkan baca buku Al-Muawiyyat, akan Anda temukan banyak contoh kasusnya.
Karena sumber muslim tidak mampu mengungkap fakta yang sesungguhnya, akhirnya mereka merujuk pada sumber lain di luar Islam, baik dalam bentuk tulisan maupun temuan arkeologis. Namun, alih-alih menemukan apa yang mereka cari, yaitu what really happaned dari sejarah Nabi Muhammad, kaum revisionis radikal malah terjebak dalam imajinasi yang mereka ciptakan sendiri. Mereka berakrobat di ranah akademik. Mereka menyoal banyak bukti terang benderang yang dapat dilihat oleh kasat mata terkait sosok Nabi Muhammad di Mekkah. Di antara yang mereka gugat adalah bahwa Islam tidak muncul di Mekkah, tapi di Irak. Bahwa Muhammad bukanlah nama seorang Nabi yang diutus di Mekkah. Itu hanyalah nama sifat bagi para pembaharu ajaran agama. Jadi, ada banyak orang yang bernama Muhammad. Bukan hanya Muhammad bin Abdullah yang lahir dari rahim Aminah binti Wahab. Inti argumentasinya Muhammad adalah sosok fiktif.
Sebenarnya sangat mudah untuk mematahkan argumentasi mereka tanpa menggunakan sumber tradisional yang mereka persoalkan. Sisa-sisa peninggalan Nabi Muhammad sampai saat ini masih bisa ditemukan dan dibuktikan, baik di Mekkah maupun Madinah dan sekitarnya. Dengan menggunakan metode akademik yang ilmiah, semua itu dapat dibuktikan. Saya sebut metode akademik-ilmiah karena ada metode akademik yang tak ilmiah.
Sebelum itu, perlu saya jelaskan dulu yang saya maksud dengan akademik yang ilmiah. Dalam ranah akademik argumentasi, teori, atau apa pun, namanya itu disebut ilmiah apabila dapat diverifikasi melalui bukti-bukti yang diperoleh melalui penelusuran terhadap sumber yang terpercaya dan otoritatif. Ada kecocokan antara teori dengan hasil verifikasi. Kalau tidak maka teori/argumentasi tersebut tidak pantas disebut ilmiah. Meski dilakukan atau umum dianut oleh komunitas akademik. Contohnya teori keadilan sahabat. Berdasarkan hasil kerja akademik yang ilmiah teori ini lebih pas disebut dogma. Bukan teori ilmiah. Yang menyebut itu dogma bukan saya, tapi Prof Kamaruddin Amin dan Prof Fuad Jabali. Bagaimana argumentasi keduanya? Silahkan baca buku Al-Muawiyat saja dulu.
Teori keadilan sahabat membuktikan kalau ilmu-ilmu keislaman by nature bersifat saktarian. Ulumul hadis sangat jelas saktariannya. Pengakuan Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahih-nya menjadi bukti nyata atas keberpihakan ilmu hadis pada sekte tertentu. Ilmu fikih apalagi. Pun demikian ilmu tafsir. Silahkan telaah kitab Al Tafsir Wal Mufassirun karya Adz-Dzahabi. Dia sebut beberapa contoh penafsiran yang menyimpang dari jalan yang lurus. Apa kriteria sebuah tafsir menyimpang? Ternyata kriteriannya sangat mazhabis. Sangat saktarian sekalian. Hal ini menandakan kalau ilmu pengetahuan, apalagi ilmu-ilmu Keislaman dalam sejarahnya tidak pernah lepas dari konflik kepentingan ideologis. Preferensi ideologis pasti mewarnai alur argumentasi. Kelompok kadrun pasti akan melihat wilayah Indonesia yang ijo royo-royo seperti padang gurun. Apa yang tumbuh di sana harus ditanam di Nusantara. Itu motto bani kadrun Nusantara? Tidak terkecuali kaum revisionis dengan beragam genrenya. Latar belakang agama atau ideologi pasti muncul dalam argumentasi. Sah-sah saja. Wajar. Alami. Itu bukan masalah. Masalahnya tidak terletak pada teori atau argumentasinya ideologis atau bukan, tapi bagaimana cara ia membangun argumentasinya alias metodologi yang dipakai, konsisten atau tidak. Kebenaran ilmiah terletak pada konsistensi metodologis. Pada kesesuaian antara teori dengan bukti verifikasi.
Dengan kriteria tersebut, mari kita lihat argumentasi kaum revisionis radikal dalam bingkai akademik, bukan ideologis. Bahwa sesuatu disebut ilmiah apabila bersandar pada bukti bukti yang diperoleh dari sumber yang bisa diverifikasi. Bisakah mereka buktikan jejak peninggalan Nabi Muhammad di Irak dan Syam? Jelas, semua bukti sejarah, baik arkeologis maupun papry menolak tesis mereka. Jadi, kesimpulannya bahwa argumentasi mereka tidak ilmiah karena tidak dapat diverifikasi. Meski tidak ilmiah suara kaum revisionis radikal terus menggema di zaman now dikarenakan kemampuan mereka mengemas mitos, dongeng dengan merk ilmiah. Dan itu sebenarnya sama dengan mayoritas sarjana tradisional Islam yang mengemas mitos dan dongeng dengan merk hadis.
Silahkan rujuk buku Al-Muawiyat. Akan ditemukan banyak dongeng fiktif yang oleh mayoritas umat Islam disebut hadis karena berasal dari kitab-kitab hadis. Jadi, sebenarnya kitab hadis adalah kitab fiksi. Bagi para penyuka film India akan menemukan banyak kisah fiktif yang melankolis di kitab-kitab hadis yang dikenal oleh umat Islam.
Bagaimana cara membedakan banyak narasi fiktif dalam kitab hadis? Sarjana revisionis, baik radikal maupun moderat, sudah putus asa karena saking banyaknya narasi fiktif hingga sulit membedakan dengan yang faktual. Mereka tidak mampu melakukannya. Tapi, Islam ilmiah mampu melakukan apa yang tidak mampu mereka lakukan. Karena itu, kita sebut sebagai post-revisionis.
Apa kisah fiksi yang disebut hadis? Bagaimana itu terjadi? To be continued.***
Muhammad Babul Ulum adalah doktor bidang hadis lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta