Baik revisionis radikal yang antipati, maupun revisionis moderat yang simpati, keduanya menganggap sumber tradisional Islam tak mampu mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Namun mereka berbeda menyikapi. Revisionis radikal menolak sama sekali, lalu merujuk pada sumber Kristiani atau Yahudi.
Sementara revisionis moderat terpaksa menerima dengan opini. Namun demikian masih belum bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, karena masih terjebak pada motif ideologi. Inilah problem utama Islamic studies, baik di dunia barat yang sekuler apalagi dunia Islam yang kental dengan muatan ideologi. Bila dunia barat cenderung tidak konsisten dalam bermetodologi--pada waktunya nanti akan saya tunjukkan inkosistensi metodologi mereka. Dunia Islam nyaris menabrak semua rambu metodologi karema motif ideologi. Akibatnya semuanya terjebak dalam imajinasi kata yang tak henti, sejak jaman dulu hingga jaman kini. Baik di pusat-pusat akademi di barat sana maupun di mimbar-mimbar religi di Nusantara sini. Sama-sama tidak bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dari sejarah awal Islam dan banyak peristiwa yang terjadi di zaman Nabi. Pada buku al-Muawiyyat sudah saya jelaskan mengapa semua itu terjadi dan solusi yang saya tawarkan untuk menyelesaikan kemusykilan ini. Inilah kajian Islam ilmiah atau post-revisionis sebagai hasil dari olah akademik Nusantara.
Poin yang ingin saya katakan bahwa akademisi Nusantara mampu merumuskan apa yang akademisi barat gagal merumuskannya. Hal ini menunjukkan bahwa akademisi Nusantara sebenarnya jauh lebih maju dari para akademisi barat. Karena itu, para akademisi Nusantara tak usah silau dengan dunia barat dan jangan mau dibohongi oleh metodologi Barat yang sebenarnya sama dengan metodologi tradisional Islam yang mereka revisi: sama-sama ideologis. Oleh karena itu, Islam ilmiah hadir untuk merevisi sarjana revisionis, yang karena itu saya sebut sebagai post-revisionis. Ke depan saya yakin Indonesia bisa menjadi kiblat Islamic Studies dunia. Semua pra-syarat ke arah itu sudah ada. Asal konsisten dalam bermetodologi dan tidak plin-plan seperti sarjana revisionis barat yang gagal menemukan apa yang terjadi.
Mengapa sarjana revisionis barat maupun tradisional Islam tidak mampu mengungkap apa yang terjadi? Ini persoalannya. Core of the core. Inti dari segala yang inti, yang terletak pada paradigma berpikir. Cara pandang. Wordview. Karena mereka berangkat dari paradigma das sein. Apa yang terjadi. Bukan paradigma das sollen. Apa yang seharusnya terjadi. Ini persoalan utamanya.
Seharusnya kedua paradigma ini dikombinasi. Paradigma das sollen seharusnya dipakai untuk menemukan nilai ideal yang tidak ditemukan atau diabaikan oleh sarjana revisionis barat maupun tradisional Islam. Apalagi bila kita ingin mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dari sejarah Islam awal ini. Paradigma das sollen adalah solusi. Dan itulah paradigma Islam ilmiah yang hadir merevisi revisi sarjana revisionis terhadap kesarjanaan tradisional Islam karena itu saya sebut sebagai post-revisionis.
Paradigma das sein melihat persoalan hanya pada apa yang tampak di permukaan. Dari yang bisa dianalisa dengan teori, diverifikasi dengan bukti, ditelusuri pada referensi dgn metode akademik yang disepakati. Ingat metode akademik yang disepakati belum tentu ilmiah. Karena metode akademik dasarnya adalah konsensus. Alias kesepakatan. Sarjana Islam tradisional menyebutnya dengan ijmak ulama. Banyak ijmak ulama yang tidak ilmiah. Mau bukti?
Lihat fatwa MUI banyak yang tidak ilmiah karena hasil kompromi yang seringkali dilandasi oleh motif kepentingan pemilik kuasa. Baik kuasa politik, kuasa modal, atau kedua-duanya. Ini contoh kasus yang terjadi di indonesia. Untuk yang terjadi di dunia Islam teori keadilan sahabat adalah buktinya. Meski tidak ilmiah keadilan sahabat telah menjadi teori akademik yang disepakati oleh sarjana tradisional Islam. Haram menggugatnya. Siapa yang menyoal teori yang lebih pas disebut dogma ini baginya akan disematkan ragam gelar yang merinding bulu roma ini bila mendengarnya. Teori keadilan sahabat dibuat untuk membentengi para sahabat yang dianggap sebagai penerus nabi. Sebagai penerus nabi sahabat diasumsikan mewarisi kualifikasi nabi sebagai pemimpin agama dan politik. Namun faktanya tidak demikian.
Bahkan ada sahabat-penguasa yang tidak paham hukum tayamum. Coba bayangkan. Tayamum yang adalah materi dasar bab thaharah dalam fikih tidak dikuasai oleh seorang khalifah pengganti Nabi. Bisa dipastikan bila masalah-masalah keagaman yang lain sang khalifah pasti tidak bisa memahaminya dengan baik dan benar. Oleh karena itu, mereka merujuk pada para sahabat yang lain dalam soal agama. Dari situlah muncul pendapat siapa saja sahabat nabi boleh dirujuk dalam beragama. Tidak peduli apakah sahabat tersebut suka mabuk atau berzina seperti Mughirah bin Syu'bah dan para elit Bani Umayyah yang lain. Mereka semua harus diikuti tak boleh dikritisi. Tak peduli apakah mereka beriman sepenuh hati atau hanya di bibir saja. Mereka semua adalah rujukan dalam beragama bagi umat Islam sesudahnya.
Dari apa yang terjadi pada masal awal Islam itulah kemudian dirumuskan pelbagai teori yang kemudian menjadi dogma agama. Seiring dengan perjalanan waktu dogma ini menjadi travelling theori yang dikaji dalam lintas masa dan area hingga akhirnya tiba di wilayah Nusantara. Itulah das sein, apa yang terjadi di dunia Islam sepeninggal Nabi yang dalam kesarjanaan revisionis barat menjadi tema pokok kajian Islamic origin.
Fakta yang terjadi di dunia Islam sahabat yang berkuasa sepeninggal Nabi berbeda dengan Nabi yang mereka warisi. Walhasil Islam menjauh dari misi Nabi. Kalau begitu berarti mereka bukan penerus misi nabi, dong? Misi siapakah yang mereka usung? Benarkah Nabi tidak memiliki putra mahkota? Yang bahkan para raja di Barat pun memilikinya? Itulah research question Islam ilmiah berdasarkan paradigma das sollen yang digagas Islam post-revisionis.
Dengan konsisten pada prinsip kajian ilmiah, hasil kajian post-revisionis mungkin akan bersesuaian dengan pendapat salah satu kelompok Islam tertentu dan berbeda dengan kelompok lain. Hal itu terjadi karena konsekwensi metodologis dimana kita harus berpihak pada hasil verifikasi ke mana arah bukti menuju. Jadi, karena kewajiban metodologis. Bukan karena kecenderungan ideologis. Jadi pahamkan, drun? ***
Muhammad Babul Ulum adalah doktor bidang hadis lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta