17/10/22

Manzilah al-Muhasabah


Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dia bawa untuk besok” (QS 59: 92).

Muhasabah adalah jalan yang ditempuh setelah tekad untuk menunaikan perjanjian Taubat yang sebelumnya dilakukan. “Wahai manusia hendaklah kamu tunaikan janjimu” (QS 5: 1).

Manzilah al-Muhasabah ini terdiri atas tiga. Manzilah pertama adalah melakukan proses perbandingan antara nikmat yang dicurahkan Allah kepadanya dengan keburukan yang dikerjakannya. Ini hanya bisa dilakukan melalui tiga hal: Cahaya Hikmah, Prasangka yang buruk kepada diri sendiri, dan memisahkan antara Nikmat dan Fitnah. Bahwa keburukan adalah kekufuran akan nikmat. Dihadapan nikmat yang begitu luasnya tercurah. Kewajiban atas nikmat tidak lain adalah syukur. Membandingkan keduanya akan menunjukkan tentang kekufuran yang dilakukan seorang hamba dihadapan nkkmat yang meliputi dirinya. Bahwa diri kita tidak dapat dipercaya karena kecenderungannya seringkali justru mengajak pada keburukan khususnya diri yang belum terdidik dengan baik. “Sesungguhnya itu menyeru pada keburukan kecuali yang mendapatkan kasih sayang Tuhanku” (QS 12: 53). Karena terhadap diri kita maka perlu berprasangka yang buruk atas setiap dorongan yang muncul. Sedangkan pemisahan antara nikmat dan fitnah adalah memperhatikan, apakah nikmat tersebut membawa pada ketaatan atau justru membawa pada keburukan. Jika yang kedua terjadi maka itu tidak lain adalah 'istidraj'.

Manzilah kedua adalah membedakan mana hal-hal yang berasal dari Allah yang ditujukkan untukmu dan mana yang berasal darimu. Maka engkau mengetahui bahwa keburukanmu adalah darimu dan ketaatanmu adalah hiasan, hukuman bagimu adalah kepastian dan apa yang ada padamu semata pengampunan. Yang dimaksud dalam tingkat bahwa seorang Salik harus melakukan muhasabah dengan berusaha membedakan mana hukum yang Allah tetapkan yang harus dia ikuti dengan ketaatan. Bagaimana ketaatan yang dia tunjukkan dihadapan apa yang Allah perintahkan padanya dan melihat bagaimana pelanggaran yang selama ini dilakukan terhadap kewajiban dan larangan yang Allah turunkan atasnya. Karenanya tidak layak baginya untuk menantikan pahala mengingat keburukannya adalah hujjah Allah atasnya. Bahwa takdir yang buruk seharusnya adalah hukum yang paling layak atas dirinya karena hukum berasal dari tindakan yang dilakukan oleh orang yang dihukumi. Sekiranya kebaikan dan kenikmatan yang terjadi dan dirasakan seorang Salik maka itu semua sesungguhnya semata karena pemaafan dari Allah atas dirinya.

Manzilah ketiga adalah seorang Salik harus menyadari bahwa kebahagiaan atas ketaatan yang dilakukannya adalah ancaman baginya. Setiap lintasan pikiran atas maksiat yang dilakukan saudaranya adalah maksiat baginya dan janganlah meletakkan timbangan kebaikan pada dirinya. Yang dimaksud Syaikh bahwa seseorang Salik yang ketaatan membuat hatinya senang menunjukkan bahwa seakan dirinya telah melakukan kebaikan terhadap Allah dan tersebut bagi seorang Salik adalah sikap yang buruk. Bahkan dapat menjadi hijab atas dirinya dihadapan Allah SWT. Menilai saudaranya dalam keburukan dan kemaksiatan adalah keburukan karena dirinya telah menganggap mulia dirinya atas orang lain dan itu dosa terbesar bagi seorang Salik memandang dirinya mulia dari orang lain. Syaikh memberikan nasihat untuk tidak menjadikan diri Salik sebagai timbangan atau ukuran akan kebaikan karena hal tersebut justru membuat diri Salik tidak akan mampu melakukan Muhasabah.[]

Dr Kholid Al-Walid adalah Dosen Filsafat STFI Sadra, Jakarta