Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dia bawa untuk besok” (QS 59: 92).
Muhasabah adalah jalan yang ditempuh setelah tekad untuk menunaikan perjanjian Taubat yang sebelumnya dilakukan. “Wahai manusia hendaklah kamu tunaikan janjimu” (QS 5: 1).
Manzilah al-Muhasabah
ini terdiri atas tiga. Manzilah pertama adalah melakukan proses
perbandingan antara nikmat yang dicurahkan Allah kepadanya dengan keburukan
yang dikerjakannya. Ini hanya bisa dilakukan melalui tiga hal: Cahaya Hikmah,
Prasangka yang buruk kepada diri sendiri, dan memisahkan antara Nikmat dan
Fitnah. Bahwa keburukan adalah kekufuran akan nikmat. Dihadapan nikmat yang
begitu luasnya tercurah. Kewajiban atas nikmat tidak lain adalah syukur.
Membandingkan keduanya akan menunjukkan tentang kekufuran yang dilakukan
seorang hamba dihadapan nkkmat yang meliputi dirinya. Bahwa diri kita tidak
dapat dipercaya karena kecenderungannya seringkali justru mengajak pada
keburukan khususnya diri yang belum terdidik dengan baik. “Sesungguhnya itu
menyeru pada keburukan kecuali yang mendapatkan kasih sayang Tuhanku” (QS 12:
53). Karena terhadap diri kita maka perlu berprasangka yang buruk atas setiap
dorongan yang muncul. Sedangkan pemisahan antara nikmat dan fitnah adalah
memperhatikan, apakah nikmat tersebut membawa pada ketaatan atau justru membawa
pada keburukan. Jika yang kedua terjadi maka itu tidak lain adalah 'istidraj'.
Manzilah kedua adalah membedakan
mana hal-hal yang berasal dari Allah yang ditujukkan untukmu dan mana yang
berasal darimu. Maka engkau mengetahui bahwa keburukanmu adalah darimu dan
ketaatanmu adalah hiasan, hukuman bagimu adalah kepastian dan apa yang ada
padamu semata pengampunan. Yang dimaksud dalam tingkat bahwa seorang Salik
harus melakukan muhasabah dengan berusaha membedakan mana hukum yang Allah
tetapkan yang harus dia ikuti dengan ketaatan. Bagaimana ketaatan yang dia
tunjukkan dihadapan apa yang Allah perintahkan padanya dan melihat bagaimana
pelanggaran yang selama ini dilakukan terhadap kewajiban dan larangan yang
Allah turunkan atasnya. Karenanya tidak layak baginya untuk menantikan pahala
mengingat keburukannya adalah hujjah Allah atasnya. Bahwa takdir yang buruk
seharusnya adalah hukum yang paling layak atas dirinya karena hukum berasal
dari tindakan yang dilakukan oleh orang yang dihukumi. Sekiranya kebaikan dan
kenikmatan yang terjadi dan dirasakan seorang Salik maka itu semua sesungguhnya
semata karena pemaafan dari Allah atas dirinya.
Manzilah ketiga adalah seorang
Salik harus menyadari bahwa kebahagiaan atas ketaatan yang dilakukannya
adalah ancaman baginya. Setiap lintasan pikiran atas maksiat yang dilakukan
saudaranya adalah maksiat baginya dan janganlah meletakkan timbangan kebaikan
pada dirinya. Yang dimaksud Syaikh bahwa seseorang Salik yang ketaatan membuat
hatinya senang menunjukkan bahwa seakan dirinya telah melakukan kebaikan
terhadap Allah dan tersebut bagi seorang Salik adalah sikap yang buruk. Bahkan
dapat menjadi hijab atas dirinya dihadapan Allah SWT. Menilai saudaranya dalam
keburukan dan kemaksiatan adalah keburukan karena dirinya telah menganggap
mulia dirinya atas orang lain dan itu dosa terbesar bagi seorang Salik
memandang dirinya mulia dari orang lain. Syaikh memberikan nasihat untuk tidak
menjadikan diri Salik sebagai timbangan atau ukuran akan kebaikan karena hal
tersebut justru membuat diri Salik tidak akan mampu melakukan Muhasabah.[]
Dr Kholid Al-Walid
adalah Dosen Filsafat STFI Sadra, Jakarta