11/10/22

Masih tentang Ibnu Saba [by Muhammad Babul Ulum]

 


image

Kita tuntaskan dulu isu Ibnu Saba sampai tuntas tas tas tasss. Alasan penerimaan Syamsul Arif terhadap otoritas Saif adalah karena doi diterima Al-Thabari sebagai sumber tarikhnya. Otoritas Saif diperoleh Thabari melalui uji-sanad yang bersandar pada kaidah jarh wa ta'dil. Sedang para pencacat Saif, menurut Arif, tidak dapat membuktikan tuduhannya  secara empiris karena hanya semata-mata berspekulasi, dan jauh di bawah standar metodologi al-thabari yang berpegang pada asas isnad sebagai alat validasi dan otentifikasi. Lihat halaman 34 buku Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syiah.  

Di sini kita dapat menangkap poin argumentasi Arif yaitu teori isnad. Teori ini dicipta oleh sarjana tradisional Islam dalam memverifikasi laporan masa lalu. Menurut teori ini validitas sebuah laporan ditentukan oleh kualitas pelapornya/ perawinya. Semakin berkualitas seorang rawi semakin tinggi tingkat validitas laporannya. Demikian sebaliknya. Lalu, dari mana kita ketahui kualitas para perawi itu? Dari apresiasi/ta'dil yang diberikan oleh para ulama jaman old terhadap pembawa/pembuat(l) laporan yang berbentuk kata pujian. Seperti, orang itu dipercaya/tsiqah. Jujur/shaduq. Kuat hafalannya/qowi al-hifdz, dll. Lalu, kita yang hidup di jaman now bagaimana mengetahui apreasiasi mereka? Dengan melihat catatan yang dibuat oleh para ahli ilmu rijal (biografi para rawi hadis) yang berhasil didokumentasikan dalam publikasi rijal hadis dan berhasil sampai pada kita di jaman now. Diantaranya, kitab Tahdzib Al-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang menyebut Saif sebagai pendusta, pembual, pembohong, zindiq.  

Kesimpulannya, ulama yang ahli di bidang sanad tidak ada yang memuji Saif. Lalu, dari mana Arif menyimpulkan bahwa Saif adalah tokoh pembua(l)t kisah yang otoritatif? Ia pasti menjawab, dari Al-Thabari yang menurutnya ahli sejarah paling otoritatif. 

Pertanyaan selanjutnya, bila Al-Thabari adalah ahli sejarah yang otoritatif mengapa ia mengambil kisah dari seorang Saif yang tidak otoritatif? Nah lho, opo tumon?! 

Bagaimana bisa seorang Al-Thabari yang katanya otoritatif menilai Saif yang dicacat oleh semua ahli biografi sebagai rawi terpercaya sehingga riwayatnya ia terima begitu saja tanpa reserve? Apa kriteria ketsiqohan Saif? Bukankah para ahli jarh wa ta'dil, baik yang sezaman dengan Al-Thabari atau yang lebih tua darinya tidak ada yang me-ta'dil-nya, bahkan semuanya sepakat mencacatnya dengan kata-kata pedas yang maknyuuss! 

Silahkan baca lagi postingan sebelum ini tentang penilaian ahli pada Saif. Jawabnya pasti mmbuh ra weroh. Dan ujung-ujungnya mbuled ndak karuan. Perdebatan masalah sanad itu sirkular ndak berujungpangkal. Dan inilah kelemahan utama teori isnad. Bahasannya mbuled. Kriterinya subyektif. Seorang rawi yang dipuji bisa jadi ia dicela oleh ahli yang lain. Karenanya teori ini tidak bisa dijadikan satu-satunya alat untuk menguji validitas sebuah hadis. Apalagi seringkali penilaiannya dilandasi oleh subyektifitas keberpihakan ideologis. Silahkan baca lagi al-muawiyat yang ditulis oleh orang pinter sedunia. Di situ panjang lebar dijelaskan kelemahan metode isnad dan metodologi alternatif yang ditawarkan untuk melengkapi kekurangan metode jadul ini. 

Supaya kamu-kamu gampang memahami, saya beri ilustrasi sederhana. Seorang rijik syihab yang menyebar fitnah palu arit pada logo BI yang ada di uang kertas oleh bangsa kadrun yang ndak paham kitab kuning dianggap sebagai imam besar yang terpercaya. Apa saja yang keluar dari mulutnya walaupun berbentuk sumpah serapah dan fitnah dianggap sebuah kebenaran. 

Sebaliknya, bagi kelompok akal sehat dan paham kitab kuning, si rijik ndak ada nilainya. Ia yang menuduh gus dur buta mata-hatinya tidak lebih dari petualang politik yang memakai simbol agama untuk kepentingan diri dan golongannya saja. Dan seratus tahun yang akan datang akan ada orang yang menulis biografi mereka yang dianggap sebagai tokoh mungkin nama doi akan disertakan. Doi dianggap tokoh karena banyak pengikutnya dari bani kadrun. Dan hasilnya akan tergantung siapa yang menulis atau siapa yang menjadi narasumbernya. Kira-kira begitulah cara kita memahami ilmu rijal hadis. Karena itu pengetahuan orang yang hidup sejaman atau yang paling deket dengan sosok yang ditulis seharusnya yang menjadi ukuran penilaian, bukan orang yang jauh dari dia. Dan ternyata ahli sejarah/biografi yang lebih awal dari Al-Thabari berbeda kesimpulan dengan thabari. Dan kalo mau konsisten dengan teori isnad sebagaimana maunya arif, maka konsekwensi metodologisnya harus menolak riwayat Thabari yang menurutnya otoritatif yang berasal dari Saif yang tidak otoritatif. 

Itu namanya istiqomah dalam kajian. Tidak plin plan dalam bermetodologi dan berteori. Tidak istiqomah dalam berteori akan menghasilkan kajian yang kontradiktif dalam satu masalah seperti yang terjadi pada kasus ibnu saba yang akan saya tunjukkan besok atau lusa. Sekarang mangan sik.*** 

Muhammad Babul Ulumalumni Pondok Pesantren Gontor