10/10/22

Mengapa Al-Ghadir Ditolak?

 Mengapa al-Ghadir ditolak? Inilah problem mendasar umat Islam. Tidak mau mengambil yang terbaik dari pilihan Tuhan. Akibatnya? Sampai sekarang umat masih Islam terus menjadi bulan-bulanan kaum imperialism. Sementara yang memegang teguh wasiat al-ghadir dialeniasi.

Hadis al-ghadir ditolak karena mayoritas umat Islam terserang wabah yang Leon Festinger menyebutnya sindrom disonansi kognitif. Mereka terjebak dalam dilema. Maju kena mundur kena. Akhirnya, untuk keluar dari dilema hadis ghadir ditafsirkan sak pena'e wudele dewe. Tafsir yang jauh dari makna obyektif peristiwa penting tersebut. Inilah satu di antara sebab yang menjadikan polemik tentang al-ghadir mbulet ora karuan.

Mengakui otentisitas al-ghadir berarti mendukung klaim Muslim Syiah tentang penunjukan ‘Ali sebagai khalifah pengganti Nabi. Ini tentu menabrak ideologi yang telah diwarisi secara turun temurun. Karena itu, buru-buru mayoritas umat Islam menolak otentisitasnya.

Padahal menolak otentisitas al-ghadir sama dengan menolak fakta sejarah. Dan argumentasi yang dibangun di atas penolakan terhadap fakta sejarah yang dapat diverifikasi seperti al-ghadir tidak dapat disebut sebagai argumentasi ilmiah. Lebih pas disebut dogma. Dan itulah yang diimani oleh mayoritas umat Islam seluruh dunia.

Dogma mayoritas umat Islam dapat bertahan karena mendapat dukungan penguasa sehingga menjadi "benar" karena selalu didoktrinkan. Karena itu, mazhab mayoritas juga bisa disebut sebagai mazhab yang ditunggangi penguasa. Kebenaran doktrin mayoritas karena sebab lain, bukan karena materinya.

"If you tell a big enough lie and tell it frequently enough, it will be believed." Jare mbah Hitler. Dan selama mayoritas umat masih memegang teguh keyakinan tradisionalnya seperti itu, mereka akan terus terperosok dalam jebakan penguasa yang akan membuat mereka sulit beranjak dari sejarah kelam para pendahulunya yang berdarah-darah.

Mereka akan terus tertinggal dari oleh Muslim Syiah yang dengan ideologi menyonsong pemimpin masa depan, the Messiah, dengan pijakan al-Ghadir mampu mengimbangi dominasi dunia Barat di segala bidang. Kemampuan Iran membangun negara berlandaskan nilai tradisional Syiah patut dipelajari dunia Sunni yang tidak berdaya di hadapan Barat.

Mempelajari Syiah tidak harus menjadi pengikut Syiah atau sepakat dengan semua yang diyakini Syiah. Saya yakin kebanyakan orang menjadi Sunni, bahkan Nasrani atau Yahudi karena keturunan. Kecuali orang Indonesia yang menjadi Muslim Syiah karena pencarian dan pembacaan. Maaf terpaksa saya sebut ini karena orang Muslim Syiah di Indonesia tidak ada yang terlahir sebagai Syiah. Mereka memilih mazhab Syiah setelah melalui laku spiritual dan intelektual yang panjang dan melelahkan. Jadi, menjadi Muslim Syiah karena bacaan bukan karena keturunan.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila penganut Sunni menurut Mas Ulil Absar Abdalla perlu menyegarkan kembali pemahaman ajaran keagamaannya yang lebih pas disebut dogma. Dunia Sunni harus membuang kecurigaan mitos syiahisasi yang diembuskan poros imperialis yang tidak menginginkan terjadinya persatuan Islam. Yaitu kelompok islamis yang senang membuat keributan. ***

Dr H. Muhammad Babul Ulum, alumni Ponpes Gontor dan Dosen STFI Sadra Jakarta