15/10/22

Islam Ilmiah: Epistemologi Post-Revisionis (1) [by Muhammad Babul Ulum]

Berikut akan saya tunjukkan satu kasus kemusykilan atau lebih tepatnya kebingungan sarjana Islam revisionis dan solusi yang Islam ilmiah tawarkan untuk menyelesaikannya. Karena itu, untuk gaya-gayaan, Islam ilmiah kita sebut sebagai Islam mazhab post-revisionis. 

Sebelum itu, mumpung ingat, perlu saya tunjukkan tema pokok yang seringkali menjadi obyek kajian mereka yang biasanya fokus pada asal usul Islam (Islamic origin) yang terbagi dalam tiga segmen yang saling terkait, yaitu (1) tentang sejarah nabi dan tentunya beserta orang yang hidup sezaman yang dikenal dengan istiilah sahabat, (2) kodifikasi Alquran, dan (3) ekspansi militer Islam (al-futuhat al-Islamiah). 

Sarjana revisionis menganggap bahwa sumber tradisional yang diandalkan oleh sarjana Islam dalam menampilkan ketiga wajah tersebut bermasalah, tidak  memiliki nilai historis. Apa yang dilaporkan tidak lebih dari kesan ideal yang diproyeksikan oleh para penulisnya dan tidak benar-benar terjadi. Kalau pun terjadi, tidak seheboh yang dikisahkan atau kontradiktif antara satu dengan yang lain. Selain sumber yang bermasalah cara membacanya pun juga bermasalah. Sistem sanad yang dipakai untuk membaca kisah masa lalu bukan tanpa masalah. Kalah dengan motto perum pegadaian yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. 

Kenyataannya, selain kriterianya subyektif, sanad pun ternyata bisa dibuat alias dipalsukan. Kemudian sistem sanad juga melahirkan argumentasi sirkular. Bahwa hanya orang yang dipercaya yang melahirkan informasi yang juga dipercaya. Dan informasi yang dipercaya hanya diperoleh dari orang yang dipercaya. Apa memang hanya seperti itu? Argumentasi seperti ini menyalahi kaidah undzur ma qaala wa la tandzur man qaala, yang pada prinsipnya mengajak kita untuk mengukur orang dengan kebenaran dan bukan mengukur kebenaran dengan orang. Dan karena Islam-dogma mendewakan sanad dan menjadikan person sebagai ukuran kebenaran, maka seringkali mereka terperangkap pada jerat disonansi kognitif. Bingung, pusing tujuh keliling dan mencari-cari alasan untuk ngeles. 

Satu contoh, ketika ditunjukkan bukti bahwa salah satu tokoh panutan Islam-dogma sampai akhir hayatnya tak bisa meninggalkan kebiasan mabuk, maka ia akan marah marah sambil melempar tuduhan mencaci maki sahabat pada si pemberi petunjuk. Ingin tahu, siapakah dia sahabat yang sampai akhir hidupnya hobi mabuk? Silahkan cari pada buku Al-Muawiyyat. Saya bocorkan dikit saja. Kisahnya selama Ramadhan musim pagebluk ini ditayangkan pada stasion TV swasta. Tokoh ini yang konon sangat pemberani ternyata pada waktu perang Hunain lari tunggang langgang meninggalkan Nabi di medan juang. Tokoh ini yang saat di Hudaibiyah menolak diutus Nabi ke Mekkah karena takut. Padahal dongeng yang dicipta tokoh ini saat hijrah ke Medinah secara terang-terangan menantang kufar Mekkah yang hendak menghadangnya. Tapi, kok, takut saat hendak diutus Nabi? Tokoh ini pula yang sewaktu Nabi pulang dari Tabuk bersekongkol dengan tokoh laiinnya untuk membunuh Nabi. Tokoh ini pula yang menentang keputusan Nabi dalam traktat Hudaibiyah. Kuisnya, siapa dia? 

Mengepa argumentasinya mbuled ora karuan? Karena dalam pandangannya tokoh sahabat tidak mungkin melanggar larangan Tuhan. Tapi, kan faktanya banyak sahabat yang melanggar larangan? Akhirnya untuk menyelesaikan kebingunan dibuatlah kaidah ngeles; keadilan sahabat. Kaidah ini dibangun atas prinsip kebenaran diukur dengan seseorang. Bahwa kalau dia seorang sahabat pasti benar. Padahal kaidah ini adalah dogma. Tidak ada ayat suci maupun hadis nabi yang secara pasti mendukung kaidah ini. Semuanya ditafsirkan secara subyektif. Sak penae wudele dewe. Karena sahabat telah mengambil otoritas Nabi dari yang berhak maka untuk membentengi otoritas palsunya dibuatlah dogma ‘adalah ash-shahabah, di mana semua persyaratan sanad yang katanya ketat tidak diterapkan pada sahabat. 

Jadi, untuk apa kriteria sanad dibuat kalau aplikasinya pilih kasih; di mana sahabat dikecualikan darinya. Dan terbukti, bahwa sanad juga bisa dipalsukan. Kesimpulannya, sistem sanad kalah dengan sistem pegadaian yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. 

Mungkin dengan alasan menyinggung tokoh yang dihormati Islam-dogma akan ada yang protes dengan apa yang saya tulis di atas. Saya, sih, maklum saja. Karena memang itulah watak Islam-dogma yang meliburkan akal sehatnya. Bagi Islam-ilmiah semua fatka yang selama lebih dari seribu tahun ditutup-tutupi harus dibuka. Kebenaran harus ditampakkan walaupun pahit rasanya. Akan tetapi, sayang upaya menampakkan kebenaran seperti ini dalam tradisi akademik di Barat sebagai pengasong Islam revisionis dibatasi oleh prinsip political correctness, yaitu cara berpendapat atau bersikap yang menghindari ketersinggungan pihak lain. 

Hal itu menunjukkan bila kebebasan akademik di Barat hanya kamuflase belaka. Sama seperti kebebasan politik atau demokrasi yang barat usung itu kedok belaka. Jargon kebebasan atau demokrasi hanya berlaku bila tidak mengganggu kepentingan Barat. Omong kosong semua itu. Lihatlah apa yang terjadi selama musim pagebluk ini di Amerika maupun Eropa. Iklim di dunia politik Barat ternyata juga merembet pada ranah akademik. Dan yang ngetrend di Barat biasanya diikuti oleh dunia Islam. Karena itu, Islam ilmiah hadir untuk merevisi Islam revisionis ala Barat. To be continued.***

Muhammad Babul Ulum adalah doktor bidang hadis dari UIN Jakarta