19/02/22

Belajar Tasawuf: Mengolah Jiwa (Al-Riyadhah)

 وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya.

Al-Quran surah Al-Mukminun ayat 60 ini sebagai dasar bahwa upaya yang dilakukan seorang salik (penempuh jalan ruhani) dan ketaatan yang dilakukan didasarkan pada rasa takut dan khawatir bahwa seluruh amal dan ketaatannya tidak akan diterima Allah SWT. 

Bahwa kekhawatiran dan ketakutan ini untuk sampai pada kebenaran atau yakin. Bahwa kebenaran adalah kondisi di mana apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang diinginkan Allah SWT. Salik berusaha melatih dirinya untuk terlepas dari keraguan sehingga terhasilkan padanya prasangka yang baik kepada Allah SWT.

Sebagaimana Firman Allah SWT: "Dan Dia yang menerima taubat dari hamba-Nya dan memberikan maaf atas keburukan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan dan menerima orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan menambahkan kebaikan bagi mereka dengan kemuliaan-Nya" (QS 42: 25-26).

Al-Riyadhah adalah upaya melatih diri hingga dapat menerima kebenaran. Salik melatih dirinya baik pada tingkat niat, amal dan ketaatannya untuk semata dilakukan karena Allah dan menjauhkan diri atas hal-hal yang mengganggu upayanya. 

Tiga manzilah riyadhah

Ada tiga manzilah pada al-riyadhah ini. Manzilah pertama untuk Awwam (amm), yaitu mendidik perilaku (kita) dengan ilmu, membersihkan amal dengan keikhlasan, dan memenuhi hak orang lain dalam hubungan dengan mereka. Kita harus mampu mengatur perilaku untuk berkesesuaian dengan perintah dan keinginan Allah SWT melalui ilmu terhadap ketentuan syariah dan akhlak. Membersihkan perbuatan dari sifat riya, kemunafikan, ujub, ambisi kekuasaan, dan menyembunyikan ketaatan kepada Allah dari pandangan manusia. Memenuhi hak-hak orang yang berhubungan dengannya, sehingga tidak tersisa tuntutan atas dirinya dari seorang pun kepadanya. Termasuk dalam utang-piutang maupun dendam atas perbuatan buruknya kepada mereka. 

Manzilah kedua yaitu pada tingkat Khusus (khas) adalah menjaga keterpilihan, memutuskan keterikatan dengan kedudukan yang ada pada dirinya dan membiarkan ilmu berada pada tempatnya. Bahwa seorang salik pada tingkat ini harus menjaga dirinya terpisah dari beragam kebersamaan dan keterikatan secara material pada apa pun selain dari Allah. Menjaga hati tetap terpisah dari apa pun di sekitarnya sekali pun terhadap orang yang selama ini dicintainya. Tidak menjadikan kedudukan ruhaniah yang didapatnya sebagai hal yang menyita perhatiannya karena hal tersebut akan merusak hati dan pikirannya. Sehingga akhirnya akan memalingkan hatinya kepada Allah. Menjaga ilmu tetap pada tempatnya sebagai hal yang rahasia antara dirinya dengan Allah SWT dan tidak menyampaikan apa yang dia ketahui secara ruhaniah kepada hamba yang lain. Menceritakan rahasia adalah sikap tidak sopan kepada Allah SWT. Menjaga rahasia yang dimilikinya tetap sebagai rahasia. Imam Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhah berkata: "Penutup tidak diperlukan dalam keterjagaan rahasia." 

Manzilah ketiga yaitu pada tingkat yang paling Khusus (khas bil khas). Pelepasan diri dari penyaksian ruhaniah, naik pada tingkat penyatuan (al-jami'), menolak hal yang bertentangan dan memutuskan pengganti-Nya. Maksudnya pada tingkat ini, pelepasan diri salik dari kesadaran yang plural menuju yang Tunggal, dari katsrah menuju wahdah. Karena pluralitas hanyalah bayang-Nya semata, sedangkan Dia tetap dalam ketunggalan-Nya. Pluralitas, baik dalam nama, sifat karena semua itu tidak lain hanya tajjali-Nya semata dan bukan dzat-Nya. Sehingga seorang salik mengalami fana' dalam dzat-Nya dan bersama dengan-Nya dalam ketunggalan (al-jami'). Melepaskan dari yang bertentangan adalah naik melewati seluruh nama-Nya yang berpasang-pasangan seperti al-Mun'im dan al-Muntaqim, al-Qabd dan al-Basth, dan lainnya. Memutuskan pengganti-Nya sekali pun merupakan gambaran tentang Dia, tapi bukanlah Dia. "Segala sesuatu sirna kecuali wajah-Nya" (QS 28:88). Segala sesuatu fana' ketika memandang dan berhadapan dengan wajah-Nya, tetapi wajah-Nya bukanlah dzat-Nya. Kondisi ini adalah tingkat paling khusus yang terjadi kepada salik, bukan atas usahanya melainkan saat al-Haqq mengambil alih dirinya dan kesadarannya. *** (Dr Khalid Al Walid adalah Dosen UIN Jakarta dan STFI Sadra Jakarta)

=> Belajar Tasawuf bisa Anda ikuti pada YouTube MISYKAT TV, setiap minggu jam 19.45-21.00 WIBB.