Tanggal 15 Februari 2021, sore hari menjelang Maghrib mendadak hp saya dipenuhi pesan chat dari para akademisi, ulama, mubaligh, cendekiawan, dan aktivitis Sumatera Utara. Semua chat tersebut mempertanyakan satu hal kepada saya, “benarkah berita bahwa Kang Jalal telah meninggal dunia?”. Saya tak bisa segera menjawab, saya mencari info A1 lebih dulu, dan baru menjawab dengan pasti bahwa berita tersebut benar, sang maha guru telah pergi mendahului kita semua. Ucapan bela sungkawa dan merasa kehilangan serta pujian pada kepribadian Kang Jalal disampaikan mereka kepada saya.
Ada yang menulis sekedar kalimat irja dan kiriman al-Fatihah, “innalillahi wa inna ilayhi rajiun. alfatihah”. Ada yang berduka, “Semoga khusnul khotimah. Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya.” Atau menuliskan, “Trims Candiki. Kita kehilangan ulama yang santun dengan wawasan yang luas”. Ada yang sedih dan menyesal, “Pupus sudah harapan tak bisa ketemu maha guru tercinta”.
Sebagian menyampaikan kenangan atas karyanya, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Aku pernah menggunakan bukunya Psikologi Agama sebagai referensi selama satu semester.” Ada juga yang bertanya, “Al fatihah. Ustad Candiki Repantu, bukankah profesor ini yang menulis buku Psikologi Komunikasi itu?” Dan juga yang menyampaikan, “Semoga beliau husnul khotimah. Kita masih terus bisa menikmati hasil karya beliau.” Begitu pula, ada yang mengapresiasi, “Pemikiran dan bukunya menembus batas, khusnul khatimah.”
Ada yang mendoakan, “Semoga almarhum diampunkan dan ditempatkan Allah di tempat yang mulia surga jannatunnaim amin ya rabbal alamin. Kepada seluruh keluarga hendaklah bersabar atas ujian ini. Semoga ilmu yang disampaikan menjadi amal jariyah“. Masih banyak lainnya yang tak bisa saya tuliskan.
Dalam benak saya berkata, Ustadz Jalal ternyata ada dalam memori para tokoh Medan dan Sumatera Utara, baik angkatan tua maupun angkatan muda. Dan mereka bertakziah kepada saya. Mungkin karena saya dikenal sebagai orang Syiah dan Kang Jalal juga orang Syiah. Artinya bagi para akademisi, ulama, mubaligh, tokoh ormas, dan aktivis di Sumatera Utara, untuk berbicara Syiah di Indonesia, maka Kang Jalal menjadi ikonnya, kalau di Sumatera Utara, maka wajah saya yang terbayang mereka. Hal ini seringkali saya alami dalam berbagai pertemuan, pengajian, seminar, dan diskusi.
Suatu hari, di kampus UIN SU (masa itu masih bernama IAIN SU), dua orang profesor hukum Islam menjadi narasumber dalam suatu seminar nasional hukum Islam. Keduanya berasal dari IAIN dengan kampus yang berbeda. Satu dari IAIN Banda Aceh, yang satu dari IAIN Sumatera Utara. Kebetulan saya juga diundang hadir oleh panitia. Doktor Ansari yang menjadi moderator memandu seminar itu mengenalkan saya sebagai ketua Yayasan Syiah di Sumatera Utara. Setelah seminar berakhir, salah seorang profesor menghampiri saya dan berkata, “saya kenal dengan Kang Jalal, dan pernah bertemu beberapa kali, wah ternyata ada juga Syiah di Medan ya”, kata beliau dengan tersenyum. Dan kami pun dengan singkat membicarakan sosok Kang Jalal dan perkembangan Syiah di Indonesia.
Di waktu yang lain,
saya ketemu dengan seorang dosen senior di kampus. Beliau bercerita bahwa dulu
buku “Islam Aktual” karya Kang Jalal pernah di bedah, dan Kang Jalal hadir
sebagai penulisnya. Pada acara tersebut, banyak dosen dan mahasiswa hadir, dan
beliau tentu salah satunya. Kesan yang disampaikannya bahwa Kang Jalal itu
sangat pintar. Saya masih ingat, lanjutnya, selama bedah buku itu Kang Jalal
dengan enteng menunjukkan berbagai referensi yang ditunjuknya dengan teks-teks
asli yang dibawakannya, seolah semua data ada di kepalanya, katanya dengan
wajah kagum. Di akhir obrolan dosen senior itu berpesan, “kamu Candiki
banyaklah belajar dari Kang Jalal, baca karyanya, teladani sikapnya. Jadilah
Syiah seperti Kang Jalal.”
Di kesempatan lainnya, saya diundang untuk menjadi pembicara dalam suatu seminar yang bertemakan : “Syiah, Islamkah?”. Panitianya, ormas dari kelompok “aliran suara keras” (Di Medan, julukan “Aliran Suara Keras” digunakan untuk kelompok Islam yang suka teriak-teriak sesat, melakukan sweeping, mengkofar-kafirkan orang lain). Saya tak sempat membuat makalah, akhirnya saya datang dengan membawa setumpuk buku-buku muktabar Mazhab Syiah. Pembicara lainnya di undang dari Pulau Jawa, seorang tokoh ormas Islam “aliran suara keras” yang membenci Syiah dengan bermodalkan satu buku sangat sederhana untuk membuktikan kesesatan Syiah. Sepanjang dia berbicara, selain menghujat mazhab Syiah, lisannya terus menerus menebar cercaan kepada Kang Jalal sebagai tokoh Syiah di Indonesia. Sampai-sampai saya berkata kepadanya “Anda berdiskusi dengan saya, bukan dengan Ustadz Jalaluddin Rakhmat”. Sayapun menunjukkan banyak kebohongannya tentang ajaran Syiah dan Kang Jalal. Belum selesai acara seminar, bahkan saya masih berbicara di atas podium, dia pergi meninggalkan tempat seminar dengan alasan harus mengejar pesawat. Akhirnya saya jadi pembicara tunggal di tengah kelompok anti Syiah. Lagi-lagi dalam perbincangan Syiah di Medan, Kang Jalal menjadi sasaran.
Ketika menyelesaikan program S2 Antropologi di Universitas Negeri Medan (UNIMED), saya menulis Tesis berjudul “Orang Indonesia Berziarah di Negeri Syiah : Kajian Antropologis Ziarah Kubur Orang Indonesia di Kota Qum dan Kota Masyhad, Republik Islam Iran”. Saya pun harus berangkat ke Iran untuk melakukan riset lapangan, melihat langsung pusat-pusat ziarah di Iran, dan mewawancarai serta memperhatikan dengan seksama lokasi, cara, metode, manfaat, proses, fungsi dan makna ziarah bagi para peziarah Indonesia di negeri syiah tersebut. Sekitar dua bulan lamanya, saya mengitari Iran, menyaksikan kehidupan sosial, politik, kebudayaan, pendidikan, hingga keagamaannya. Saya melihatnya dengan kaca mata periset yang terlibat langsung di lokasi penelitian dengan mengedepankan penelitian parsipatoris. Sepertinya inilah satu-satunya karya ilmiah riset orang Indonesia di Negeri Syiah yang melihat ziarah dari sudut pandang antropologis.
Ketika saya bertemu
dengan pimpinan riset Haram Imam Ridha di Masyhad, saya bertanya tentang riset,
jurnal, buku, atau apapun bentuknya yang menjelaskan tentang ziarah di Haram
Imam Ridha dalam riset antropologis untuk tambahan referensi, tapi sayang
ternyata tak ada satupun karya demikian ada pada mereka. Dr. Ghulam Riza
mengatakan, “Anda lah satu-satunya yang datang kemari dan mengajukan riset
seperti ini. Kebanyakan karya yang ditulis dan ada di simpan di sini tentang
ziarah kubur cenderung ditulis dalam konteks perdebatan teologis, fikih, atau
spiritualitas. Justru kami berharap, jika nanti anda telah selesai melakukan
riset hendaknya dijadikan sebuah buku dan kirimkan kepada kami sebagai salah
satu koleksi kami. Dan kami berharap juga nantinya bisa diterjemahkan dan
dicetak dalam bahasa Persia. Nanti kita bisa bekerjasama untuk menerbitkannya”.
Ketika di Qum, suatu kenangan masih saya ingat. Di Haram Sayidah Maksumah selesai bertemu dan mewawancarai Sayid Muhammad Shadiqi di kantornya di sisi Haram, saya meminta izin untuk mengakses semua bagian Haram tanpa kendala dengan kartu “Tamu Khusus Haram Maksumah”. Ini kartu sakti di kompleks Haram. Dengan kartu akses itu saya bisa memasuki, melihat dan mencatat semua bagian di Haram Sayidah Maksumah tanpa kendala sembari menenteng kamera dan handycam. Pernah, ketika saya menelusuri liku-liku Haram Sayidah Maksumah di Qum, saya di stop oleh petugas dan mengatakan ini area terlarang, bukan untuk peziarah dan tidak boleh mengambil kamera ataupun video di sini. Dengan senyum sumringah saya menunjukkan kartu “sakti” itu dan petugas tersebut segera membuka blokade dan mempersilahan saya menelusurinya dan bebas mewawancarai siapa saja.
Ketika di Haram Maksumah inilah, disaat memperhatikan setiap kelompok peziarah yang hilir mudik, tak di sangka saya bertemu dengan rombongan murid-murid Sekolah Muthahhari yang sedang ziarah. Saya tak melihat Ustadz Jalal dalam rombongan, dan hanya sempat bertegur sapa dengan putra beliau, Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat. Katanya mereka ke Iran karena tampil dalam acara pekan kebudayaan Iran – Indonesia. Mungkin Ustadz Miftah sudah lupa ketemu saya saat itu, tapi tentu beliau tidak akan lupa pernah tampil di Iran bersama santri-santrinya.
Setelah selesai menuliskan riset dalam bentuk tesis, dan lulus dalam dalam persidangan, saya berniat membukukan hasil riset tersebut. Saya meminta masukan dari beberapa cendekiawan Islam dan antropolog senior di Medan untuk kritik, saran dan tambahan. Seorang profesor antropolog senior (beliau pernah berkunjung ke Iran dan mengenal Ali Syariati ketika studi sosiologi -Antropologi di luar Negeri) yang juga dosen dan penguji tesis saya mengusulkan agar Kang Jalal memberikan kata pengantar jika tesis saya dibukukan. Katanya, untuk menaikkan prestisius karya, sebab Kang Jalal juga dikenal di kalangan sosiolog dan antropolog selain tentunya kalangan agamawan. Kita ingin juga melihat bagaimana Kang Jalal mengelaborasi karya antropologis murni dalam prolog atau epilognya. Tapi seiring waktu dan kesibukan rencana itu belum terwujud. Seandainya buku saya publis saat itu, tentu saat ini, di dalam buku “Afkar : Sebuah Penghantar”, pastilah Kata Pengantar Ustadz Jalal untuk buku saya termasuk bagian yang diterbitkan.
Lebih dari semua, tentu kenangan terbaik bagi saya adalah kehadiran beliau di Yayasan Islam Abu Thalib yang memberikan keberkahan tersendiri. Tahun 2006, atas inisiatif Abangda H. Ahmad Parwez dan kawan-kawan, Yayasan Islam Abu Thalib berdiri yang awalnya berkantor di Jl. Angsa No. 22 Medan sampai tahun 2010. Tak berselang lama, Ustadz Jalal hadir di yayasan menyampaikan pesan-pesanya dan “menerawang” potensi perkembangan Ahlul Bait di Sumatera Utara. Saat itu, digelar juga seminar dan Pelantikan Pengurus Wilayah IJabi Sumut dan beberapa Pegurus Cabang Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dengan misi “menyebarkan senyum sang Nabi”. Tak lupa, kami juga bersama menyambangi Yayasan Pendidikan Hasanuddin di Medan untuk menyapa dan melatih singkat guru-guru dalam pengenalan “Belajar Cerdas ala Kang Jalal”.
Ketika tahun 2011, Yayasan Islam Abu Thalib pindah ke Jl. Gurilla No. 82 Medan, Ustadz Jalal hadir lagi memberkati kantor baru. Beliau hadir pada acara napak tilas malam-malam Muharram. Tampil mengenakan pakaian serba hitam, Ustadz Jalal mengisahkan dengan penuh emosional kisah dan nilai-nilai penting Karbala.
Catatan terakhir saya, satu kenangan yang menegangkan. Ketika itu, Keluarga Besar Alumni IAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Pemprov Sumatera Utara, menggagas seminar dan dialog nasional bertemakan “Komunikasi dan Religiusitas di Sumatera Utara” sebagai bagian dari rangkaian menyambut Dies Natalis IAIN SU. Seminar dan dialog tersebut dihadiri para akademisi, ulama, ustadz, tokoh masyarakat, pimpinan ormas-ormas Islam, hingga pejabat pemerintahan provinsi dan kota se Sumatera Utara. Saya melihat antusias yang kuat untuk dari para peserta seminar dan dialog tersebut. Beberapa pakar di daulat menjadi narasumber seminar tersebut. Kali ini saya tidak diminta menjadi pembicara, tapi mendapat tugas tak kalah penting dan beratnya, karena saat itu (sebagai bagian dari alumni IAIN SU) saya diminta oleh panitia untuk menghadirkan Kang Jalal, seorang Maha Guru Ilmu Komunikasi di Indonesia sebagai pembicara utama. “Adinda Candiki, kamu harus pastikan Kang Jalal hadir dalam seminar dan dialog tersebut”, begitu pesan panitia acara. Saya tak bisa menolak perintah itu, selain karena ketua panitianya seorang perwira tentara, mereka juga tahu, saya dan ustadz Jalal ada dalam satu perahu. “Siap komandan, laksanakan!” Cuma itulah yang bisa saya katakan walaupun waktunya sudah mepet, tinggal satu minggu.
Saya pun bergerilya hampir setiap hari menghubungi Ustadz Jalal untuk memastikan kehadirannya. Ustadz Jalal, dengan suara khasnya mengatakan “Insya Allah, saya usahakan jika tidak ada agenda lainnya, nanti saya kabari lagi”. Janji itu, belum menenangkan saya, sebab sampai detik-detik terakhir belum ada kabar konfirmasi dari Ustadz Jalal untuk kehadirannya. Acaranya tinggal besok hari. Undangan, baliho, dan spanduk telah tersebar ke berbagai penjuru kota Medan menginformasikan seminar dan dialog tersebut. Dan kehadiran Ustadz Jalal yang paling dinantikan. Tapi inilah masalahnya, beberapa kali telepon saya tidak dijawab Ustadz Jalal. Tiket pesawat juga belum dipesan sehingga sama sekali tak ada kepastian hadirnya beliau di kota Medan. Hati semakin resah, jantung pun berdetak tak terarah, menghadapi kenyataan itu, saya hanya bisa pasrah dibalut kecewa. Tawassul dan shalawat kepada Nabi dan Ahlulbaitnya menjadi pelipur lara, penenang jiwa, dan peneguh harapan. Tapi sampai berlalunya malam, tak ada kabar berita yang datang.
Sinar mentari pagi pun menyeruak di balik awan, hari yang cerah, tapi hatiku masih gundah. Apa mau dikata? Sudahlah, Bismillah, Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad, saya memutuskan untuk melapor ke panitia, bahwa Kang Jalal tidak bisa hadir sebagai pembicara. Tombol handphone bergulir mencari nomor panitia. Belum sempat ketemu, pesan masuk “Tiket sudah saya pesan sendiri, pagi ini pesawat berangkat, Insya Allah sampai di Medan sekitar jam 11 siang”, pesan SMS dari Ustadz Jalal.
Plonggggg…segala gundah menjadi sirna, segala resah berubah cerah, kutarik napas dalam-dalam, kulantunkan shalawat Nabi tiga kali ucapan, Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad, Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad, Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad.
Alhamdulillah, Ustadz Jalal menepati janjinya. Beliau hadir di Sumatera Utara bahkan dengan membawa isteri tercintanya, Ibunda Euis Kartini. Kini keduanya telah mendahului kita semua.
Ya Allah, tidak ada yang kami ketahui dari keduanya kecuali kebaikan, dan Engkau lebih mengetahui dari kami. Ya Allah lipatgandakanlah setiap kebaikan keduanya dan ampuni semua kesalahanya bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad. ***
Medan, 16 Februari 2022
Haul ke-1 K.H. Jalaluddin Rakhmat
artikel ditulis oleh Candiki Repantu