PERTAMA.
Perbincangan Ibnu Abil-‘Awjā’iy dengan sahabatnya.
Muḥammad bin Sannān (11) meriwayatkan: Menyampaikan kepadaku Al-Mufadhdhal bin ‘Umar. (22) Dia berkata: “Suatu hari setelah ‘Ashar, aku duduk di Rawdhah antara kubur dan mimbar. Aku memikirkan tentang apa yang Allah s.w.t. khususkan kepada Sayyidinā Muḥammad s.a.w. berupa kemuliaan dan keutamaan, serta apa-apa yang Dia karuniakan berupa anugerah kepadanya, yang kesemuanya tidak diketahui oleh kebanyakan umat. Mereka tidak mengetahui keutamaan dan kedudukannya yang agung serta martabatnya yang tinggi. Aku pun demikian, hingga suatu saat aku menemui Ibn Abil-‘Awjā’ (33).
Ia duduk, sementara aku mendengarkan perkataannya. Ketika majelis itu sedang berlangsung, tiba-tiba datang seorang sahabatnya. Orang itu datang dan duduk di sampingnya. Ibnu Abil-‘Awjā’ berkata: ‘Penghuni kubur ini telah sampai pada keagungan kesempurnaannya dan memperoleh kemuliaan dengan seluruh perangainya, serta mendapat kehormatan (honor)dalam seluruh iḥwālnya.” Maka sahabatnya itu berkata kepadanya: “Ia seorang ilmuwan yang menginginkan martabat teragung dan kedudukan tertinggi. Ia memperolehnya dengan mukjizat-mukjizat yang melampaui akal, tiada padanya impian (dream, vision,wish), dan hati tidak mampu menyelami ilmunya dalam lautan pikirannya. Maka kembali orang-orang yang terhalau, dan mereka bersedih hati. Ketika orang-orang berakal, orang-orang fasih dan para khatīb memenuhi seruannya, manusia masuk ke dalam agamanya dengan nama syariatnya. Dengannya ia memanggil para pemimpin yang berani di seluruh negeri dan tempat yang menerima seruannya. Sebabnya adalah kalimatnya. Tampaklah padanya ḥujjahnya di daratan dan lautan, di lembah dan di gunung-gunung. Pada setiap siang dan malam, lima kali disebut berulang-ulang di dalam adzān dan iqāmat, agar setiap saat diperbarui sebutannya dan supaya dikenal iḥwālnya.”
Maka Ibnu Abil-‘Awjā’ berkata: “Biarkan sebutan Muḥammad s.a.w., akalku menjadi bimbang (worried, anxious) dan hilang pikiranku tentang iḥwālnya. Ia menyampaikan kepada kami tentang sebutan asal yang kami tuju. Kemudian ia menyebutkan permulaan segala sesuatu. Ia mengira bahwa itu terjadi dengan ketidaksengajaan (accidentally). Tiada penciptaan dan tiada pengaturan (arrangement, control). Melainkan segala sesuatu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur. Atas dasar ini dunia selalu ada dan akan tetap ada.”
KEDUA.
Perbincangan Al-Mufadhdhal dengan Ibnu Abil-‘Awjā’.
(Al-Mufadhdhal berkata): Maka aku tidak dapat menguasai (have control over one’s feelings) diriku karena kemarahan dan kemurkaan (fury, rage, anger). Lalu aku berkata: “Wahai musuh Allah, engkau mengingkari agama Allah. Engkau mengingkari Pencipta Yang Maha Suci, yang menciptakanmu dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yang memberikan kepadamu rupa yang sempurna, dan yang mengubah iḥwālnya hingga sampai pada batas tertentu.”
“Kalau engkau merenungkan dirimu, dan sanubarimu (one’s inner self) mengatakan yang benar padamu, niscaya engkau dapati dalil-dalil Rubūbiyyah dan bukti-bukti penciptaaan tegak (uphold) pada dirimu. Kesaksian-Nya dalam ciptaanmu adalah jelas. Dan bukti-bukti kebenaran-Nya bagimu adalah benar-benar tampak.” Ia berkata: “Wahai Fulān, jika engkau termasuk ahli kalam, maka kami akan berbicara padamu. Jika kuat ḥujjahmu, maka kami akan mengikutimu. Jika engkau bukan dari kelompok mereka, maka aku tidak akan berbicara padamu. Jika engkau termasuk sahabat Ja‘far bin Muḥammad ash-Shādiq, tidaklah demikian engkau berbicara pada kami. Tidaklah dengan dalil seperti dalilmu, beliau mengadu argumen dengan kami. Beliau mendengar pembicaraan kami lebih dari yang engkau dengar. Tiada perkataan kotor dalam pembicaraan kami. Tidaklah melampaui batas dalam jawaban kami, karena beliau sangat lembut dan tenang. Beliau adalah orang yang berakal dan cerdas. Ketidaktahuan tidak pernah menyentuhnya. Tidak pula kecerobohan (indecency,impropriety) dan ketergesa-gesaan (hastiness) menghampirinya. Beliau mendengarkan perkataan kami, memperhatikan dan membahas ḥujjah kami. Hingga apabila kami mencurahkan alasan kami dan kami kira telah dapat meyakinkannya, beliau membantah ḥujjah kami dengan perkataan yang sederhana dan penjelasan yang ringkas, yang mematahkan ḥujjah dan memutuskan alasan. Kami tidak mampu menjawabnya. Jika engkau termasuk di antara sahabatnya, maka berkatalah seperti perkataannya.”
KETIGA.
Sebab Pendiktean kepada Al-Mufadhdhal.
(Al-Mufadhdhal berkata:) Maka aku keluar dari masjid dalam kesedihan dan memikirkan bencana yang menimpa Islam dan pemeluknya dari kelompok ateis ini. Aku menemui tuanku, Imam Jafar Shadiq as. Ketika melihatku sedang berduka, beliau bertanya: “Apa gerangan yang terjadi padamu?” Maka aku ceritakan apa yang aku dengar dari dua orang pengikut ajaran Dahriyyīn (44) dan jawaban yang aku berikan pada keduanya. Beliau berkata: “Wahai Mufadhdhal, pasti aku sampaikan kepadamu tentang kebijakan Pencipta Yang Maha Agung dan Maha Suci nama-Nya dalam penciptaan alam, binatang buas, binatang melata, burung, singa dan seluruh yang bernyawa dari kelompok binatang, tumbuh-tumbuhan, (55) pohon-pohon yang berbuah, pohon-pohon yang tidak berbuah dan berbiji, sayur-sayuran, serta dedaunan yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan. Semua itu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Mengenali-Nya menenangkan hati orang-orang yang beriman dan membingungkan orang-orang yang ingkar. Datanglah kembali kepadaku besok pagi.”
KEEMPAT.
Pertemuan Pertama.
(Al-Mufadhdhal berkata:) Maka aku keluar darinya dengan perasaan senang dan bahagia. Malam itu terasa amat panjang bagiku karena menanti apa yang beliau janjikan kepadaku. Ketika hari esok tiba dan memasuki waktu pagi, maka aku minta izin untuk masuk menemuinya. Aku berdiri di hadapannya. Maka beliau memerintahkanku duduk. Aku pun duduk. Kemudian beliau bangun menuju satu kamar yang kosong. Aku pun ikut bangun. Beliau berkata: “Ikutilah aku.” Maka aku mengikutinya. Beliau masuk ke kamar itu. Aku pun ikut masuk di belakangnya. Beliau duduk dan aku pun duduk di sampingnya. Beliau berkata: “Wahai Mufadhdhal, jika aku adalah kamu, maka aku akan merasakan malam ini begitu panjang, karena menunggu apa yang aku janjikan kepadamu.”
Aku menjawab: “Tentu, wahai Tuanku.”
Beliau berkata lagi: “Wahai Mufadhdhal, Allah s.w.t. itu ada tanpa ada sesuatu sebelum-Nya. Dia kekal tanpa ada akhir bagi-Nya. Bagi-Nya segala pujian atas apa yang dikaruniakan kepada kami, dan syukur atas apa yang dianugerahkan kepada kami. Dia telah mengkhususkan kami dengan ilmu beserta seluruh ketinggiannya dan kedudukan tinggi dengan seluruh kemuliaannya. Dia memilih kami dari seluruh ciptaan dengan ilmu-Nya. Dia menjadikan kami sebagai para muhaymin (66) atas segenap makhluk dengan hikmah-Nya.”
Aku bertanya: “Wahai tuanku, bolehkah aku menuliskan apa yang engkau jelaskan.” Aku telah menyiapkan alat-alat tulis itu.
Beliau menjawab: “Lakukanlah, wahai Mufadhdhal!”
KELIMA.
Ketidaktahuan Orang-orang yang Ragu terhadap Sebab Penciptaan dan Maknanya.
Orang-orang yang ragu tidak mengetahui sebab dan makna penciptaan. Pemahaman mereka sempit untuk mengkaji manfaat dan hikmah pada apa yang diciptakan Pencipta Yang Maha Suci dan yang Dia ciptakan berupa berbagai ciptaan-Nya yang ada di daratan, lautan, lembah dan ngarai (chasm,gorge). Dengan kesempitan ilmu, mereka menuju kekufuran. Dan dengan kelemahan nalar (logical reasoning), mereka keluar menuju pendustaan (lying) dan kedurhakaan (rebelliousness). Hingga mereka mengingkari penciptaan segala sesuatu. Mereka menganggap hal itu tercipta tanpa kesengajaan (delibererateness,doing something on purpose), tiada penciptaan, pengaturan dan kebijakan (wisdom, policy) dari Pengatur dan Pencipta. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Allah memerangi mereka di mana saja mereka mengingkari kebenaran. Di dalam kesesatan dan pengingkaran, mereka seperti orang buta yang memasuki sebuah rumah yang telah dibangun dengan sebaik-baiknya dan sebagus-bagusnya. Dihampari rumah itu dengan kasur (mattress) yang sangat baik dan mempersonakan. Di dalamnya tersedia perlengkapan (supply) makan dan minum, pakaian serta segala hal yang diperlukannya. Segala sesuatu ditempatkan pada tempatnya dengan tersusun rapi. Mereka mulai menoleh ke kanan dan ke kiri. Mereka mengelilingi rumah itu ke depan dan ke belakang. Tetapi penglihatan mereka tertutup. Mereka tidak dapat melihat bangunan rumah itu dan apa yang tersedia di dalamnya. Kadang-kadang salah seorang di antara mereka merusakkan sesuatu yang telah tersimpan pada tempatnya dan tersedia bagi kebutuhannya. Tetapi ia tidak mengetahui arti semua itu, untuk apa disediakan dan mengapa dijadikan seperti itu? Maka ia mencaci (scorn,jeer at, ridicule, swear at) dan mencerca (deride, censure, reprimand, revile) rumah itu dan pembuatnya. Demikianlah ihwal pengingkaran mereka. Mereka mengingkari penciptaan dan buktinya. Maka ketika otak mereka kosong dari pengetahuan sebab dan ‘illat sesuatu, mereka mulai mengelilingi alam ini dalam kebingungan. Mereka tidak memahami apa yang sempurna penciptaannya, bagus buatannya dan baik keadaannya. Kadang-kadang salah seorang di antara mereka bergantung pada sesuatu yang tidak diketahui sebabnya dan tidak dipahami kebutuhan terhadapnya. Tetapi ia segera mencaci dan menyifatinya dengan kemustahilan dan kesalahan, seperti orang yang dihadapkan kepadanya al-Manāniyyah (77) yang kufur dan ditampakkan secara terang-terangan kepadanya yang ingkar, yang murtad dan durhaka, serta yang lainnya dari ahli kesesatan yang menyibukkan diri mereka dengan ketaatan pada tuhan mereka dengan hal-hal yang mustahil. Maka layaklah bagi orang yang Allah karuniai dengan makrifat, petunjuk agama dan taufik-Nya untuk mengkaji keteraturan dalam penciptaan makhluk, dan bergantung pada apa yang diciptakan baginya berupa keteraturan yang serasi dan perhitungan yang pasti dengan dalil-dalil yang menunjukkan pada Pencipta semua itu. Hal itu adalah agar ia memperbanyak pujian kepada Allah, Maulanya atas hal itu. Dan hendaklah ia menjaga dan memperbanyaknya, karena Dia Yang Maha Agung nama-Nya berfirman: “Sesungguhnya jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku), niscaya Aku tambahkan kepadamu (kenikmatan-Ku). Tetapi jika kalian kufur (atas nikmat-Ku), maka azab-Ku sangatlah pedih.” (14:7).
Catatan:
- 1). Ia adalah Abū Ja‘far azh-Zhāhiriy. Al-Kasyiy menyebutkan ihwalnya yang menunjukkan pujian yang besar dan juga celaan. Disebutkan bahwa ia meriwayatkan dari sumber-sumber yang dipercaya dari ahli ilmu yang adil. Semua riwayat-riwayat itu cacat dan memiliki kelemahan. Tetapi kebanyakan ahli hadits menguatkan dan mempertahankannya, dan mencela ahli hadits yang melemahkannya. Kesepakatan para ulama menunjukkan bahwa riwayat itu memiliki kekuatan. Syaikh al-Mufīd menyebutnya sebagai orang kepercayaan Imām al-Kāzhim a.s., ahli wara‘ ahli ilmu dan ahli fiqih dari pengikutnya. Sebagaimana Syaikh, di dalam al-Ghaybah, memasukkannya ke dalam wakil-wakil yang dicintai, yang tidak menyimpang. Bahkan mereka mengikuti ajaran para Imam. Dan di dalam al-Khilāfah disebutkan bahwa ia adalah seorang yang buta. Ia wafat pada tahun 220 H. ↩
- 2). Riwayat hidup al-Mufadhdhal ditulis secara terpisah di dalam al-Muqaddimah. ↩
- 3). Ia adalah ‘Abd-ul-Karīm bin Abil-‘Awjā’, pengasuh Ḥammād bin Salamah, berdasarkan penuturan Ibn-ul-Jawziy, dan termasuk murid al-Ḥasan al-Bashriy. Al-Baghdādiy menyebutkan bahwa ia adalah penganut paham Mānawiyyah yang percaya pada penitisan (perpindahan jiwa – reinkarnasi) ruh dan cenderung pada madzhab paham madzhab Rāfidhah. Al-Baghdādiy menyebutkan juga bahwa ia adalah penganut paham Qadariyyah. Pernyataan seperti itu dikutip juga di dalam Syarḥ Sīrah Māniy, Wasīlah lid-Da‘wah, dan Tasykīk-un-Nāsi fī ‘Aqā’idihim. Ia berbicara mengenai ta‘dīl dan tajwīr, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Bayrūniy. Dari sini jelaslah bahwa Ibnu Abil-‘Awjā’ adalah seorang zindiq, dan terkenal dengan sebutan itu. Ia sering terlibat perdebatan dengan Imām Shādiq a.s., dan Imām a.s. selalu mematahkan argumen-argumennya. Ia dipenjarakan oleh penguasa Kūfah, Muḥammad bin Sulaymān. Kemudian ia dibunuh pada zaman al-Manshūr, pada tahun 155 H. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dibunuh pada tahun 160 H pada zaman kekuasaan al-Mahdiy. Ihwalnya disebutkan di dalam Tārīkh-uth-Thabarī, juz III hlm. 375 cet. Leiden; Fihrist Ibn-in-Nadīm, hlm. 338; al-Farqu Bayn-al-Firāq, hlm. 255 cet. Muhammad Badr; Dā’irat-ul-Ma‘ārif-il-Islāmiyyah, juz I hlm. 81; Iḥtijāj-uth-Thabrasiy, hlm. 182-183 cet. Najaf; dan Maqūlah-nya al-Hind, hlm. 123. ↩
- 4). Yaitu ateis yang berpendapat bahwa alam ini ada secara azali dan abadi. ↩
- 5). Al-‘Athaf-ut-Tasyrīkiy di sini mengungkapkan pendapat Imām Shādiq a.s. mengenai tumbuh-tumbuhan, dan bahwasanya ia memiliki ruh. Dengan kata lain, tumbuhan itu memiliki daya reaksi terhadap rangsangan (iritabilita) dan gerakan. Ini belum terungkap dalam kajian ilmiah kecuali pada akhir abad ke-18 Masehi. Orang pertama yang berpendapat bahwa tumbuhan memiliki reaksi terhadap rangsangan, menjadi layu oleh racun dan mati jika terkena arus listrik, adalah Bisha, seorang fisiolog Perancis, wafat tahun 1802 M (‘Ajā’ib-ul-Khalq, Zaydan, hlm. 193). Teori ini ditegaskan dengan adanya sebagian bunga yang mekar pada siang hari dan kuncup di malam hari (at-Tārīkh-uth-Thabī‘iy, hlm. 625). Seorang ilmuwan India, Alser Jafadas Buz, menemukan sebuah atat untuk mengetahui gerakan tumbuhan dan rangsangan terhadap pengaruh dari luar seperti bangun dan tidur. Ilmuwan ini mendirikan sebuah lembaga yang besar di Kalkuta untuk mengkaji gerakan tumbuhan dan reaksinya terhadap panas, dingin, gelap dan terang. Beberapa pasal di dalam at-Tārīkh-uth-Thabī‘iy karya Doktor Ya‘qub Sharuf, hlm. 49 – menjadi terkenal adanya sebagian tumbuhan yang memangsa serangga dan binatang kecil lainnya, terdapat pula bunga yang dapat tertawa dan menangis – pada edisi ke-1020 tahun ke-26 majalah al-Halāk. Ditulis juga di situ pembahasan mengenai tumbuhan yang malu, yang berukuran menakjubkan, yang berbentuk teko, yang memangsa lalat, perkawinannya dan sebagainya. Dan di dalam mukadimah buku Kāzhim al-Muzhaffar (Dunyā an-Nabāt), dicantumkan satu pasal mengenai tabiat tumbuhan dan gerakannya. ↩
- 6). Muhaymin adalah orang yang dipercaya, amanat dan jujur. ↩
- 7). Al-Manāniyyah atau Al-Mānawiyyah adalah sahabat-sahabat seorang hakim di Persia. Māniy bin Fātik, yang muncul pada zaman Sābūr (raja kedelapan dari Dawlah Sāsāniyyah). Madzhabnya adalah campuran antara Majusi dan Kristen. Akidahnya ini diikuti oleh banyak orang. Sebagian besar dari mereka hidup pada periode awal Dinasti ‘Abbāsiyyah. Kemudian pemikiran-pemikiran mereka tersebar ke Eropa dan beberapa daerah di Asia. Māniy adalah seorang rahib di Harān, lahir sekitar tahun 215 M. Ia dibunuh oleh Bahrām bin Harmuz. Lihat al-Milalu wan-Nihal karya asy-Syahristāniy, juz II, hlm. 81; Murūj-udz-Dzahab, juz I, hlm. 155; al-Fihrist, hlm. 456; Ma‘rab Syāhnāmeh, juz II, hlm. 71; Al-Farqu Bayn-al-Firāq, hlm, 162 dan 207; al-Atsār-ul-Bāqiyyah karya al-Bayrūniy, hlm. 207; Tārīkh-ul-Fikr-il-‘Arabiy karya Ismā‘īl Mazhhar, hlm. 39; dan Ḥurriyyah al-Fikr karya Salamah Mūsā, hlm. 55. ↩