15/04/22

Taqwa: Tujuan Ibadah Puasa [by KH Jalaluddin Rakhmat]

Awal surat Al-Baqarah bercerita tentang tiga kelompok manusia. Pertama, kelompok yang menerima seluruh ajaran Allah Swt, secara mutlak. Mereka disebut sebagai orang-orang taqwa, Al-Muttaqin. Mereka menerima Islam dalam seluruh dimensinya. Kedua, kelompok yang menolak ajaran Allah Swt secara mutlak pula. Mereka disebut orang-orang kafir. Mereka memusuhi Islam dalam segala dimensi, baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Ketiga, kelompok yang memiliki dua kepribadian. Pribadi yang satu adalah kepribadian Islam, ketika mereka berada ditengah-tengah kelompok Muslimin.

 Pribadi yang lain adalah kepribadian yang memusuhi Islam, ketika mereka  berada di tengah-tengah kelompok musuh kaum Muslimin. Mereka golongan Al-Munafiqun. Di dalam masyarakat ketiga golongan ini akan selalu ada sepanjang masa.

            Ketika Imam Husain as berangkat menuju Kota Kufah, atas undangan kaum Muslimin  melalui sebuah petisi yang ditanda tangani ratusan orang, ditengah jalan ia berjumpa dengan Farazdaq salah seorang penyair yang baru pulang  dari Kufah, Imam bertanya tentang keadaan para sahabatnya di Kufah yang memberikan petisi itu. Farazdaq berkata: “Hai mereka bersamamu tapi pedangnya menentang  kamu.” Itulah kelompok yang disebut Al-Munafiqun. Sayyidina Ali as mendefinisikan  orang-orang munafik secara sederhana, “Orang Munafik itu diluarnya indah tetapi didalamnya busuk.”

            Dari ketiga kelompok diatas yang paling banyak diceritakan  di dalam Al-Quran adalah kelompok orang munafik. Allah menyebutkan tanda-tanda orang taqwa pada lima ayat pertama  dari surat Al-Baqarah. Tanda-tanda itu adalah criteria untuk menentukan mana orang  yang termasuk  orang taqwa, kafir, atau munafik.  

            Lima tanda orang taqwa  itu adalah: Pertama, keimanan kepada yang Ghaib. Kedua, pengabdian kepada Allah Swt, antara lain dengan menegakkan shalat. Ketiga , perkhidmatan kepada sesama manusia . Keempat, kepercayaan kepada apa yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan nabi-nabi sebelumnya. Kelima, keimanan kepada hari kiamat. Apabila lima rukun taqwa itu kita penuhi, Tuhan berjanji akan memberi dua anugerah kepada kita; petunjuk dan kebahagiaan.

            Karakteristik pertama orang taqwa, yaitu beriman kepada yang Ghaib, merupakan keyakinan kepada seluruh rukun iman. Keimanan kita terhadap Al-Quran, misalnya, adalah keimanan kepada dimensi ghaib dari Al-Quran. Al-Quran itu tulisannya dhahir tapi tulisannya hakikatnya berasal dari hal yang ghaib. Yaitu tajaliyat Allah Swt. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa keimanan kepada yang ghaib adalah keimanan kepada Imam Mahdi.

            Lalu siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang percaya kepada yang ghaib?

            Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan saudara-saudarku.” Lalu seorang sahabat nabi bertanya, “Bukankah kami ini saudara-saudaramu? Nabi menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun yang kumaksud dengan saudara-saudaraku adalah kaum yang datang sesudahku kemudian beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah berjumpa denganku.” Kemudian Nabi membaca ayat, “Alladzina yu’minuna bil ghaib.” Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah (2):3). Merekalah orang-orang yang tidak pernah melihat Rasulullah Saw tetapi mereka beriman kepada beliau.

            Hadits ini menepis anggapan bahwa kaum muslimin yang terbaik adalah kaum muslimin yang tinggal sezaman dengan Rasulullah dan kaum muslimin yang paling jelek adalah orang yang datang diakhir zaman. Ini disebut dengan Teori Evolusi Regresif. Artinya, umat manusia berkembang kearah keburukan. Padahal dalam Al-Quran disebutkan, “Alladzi khalaqa Fa sawwa.” (Allah) yang menciptakan dan menyempurnakan. (QS.Al-A’la:2). Manusia berkembang kearah kesempurnaan, baik dari segi fisik maupun mental. Contohnya, dizaman Rasulullah, masih ada orang yang thawaf mengelilingi ka’bah dalam keadaan bertelanjang. Sekarang, betapa pun tidak bermoralnya seseorang, ia tidak akan thawaf dengan telanjang.

            Dalam Islam, perkembangan manusia adalah Evolusi Progresif. Makin lama makin baik, makin cerdas, dan makin berilmu. Menurut Imam Ja’far as, dalam salah satu doanya, ilmu manusia itu akan menjulang tinggi, kedamaian terbentang luas, iman dikuatkan, dan Al-Quran dibacakan. Hadits yang menceritakan  bahwa saudara-saudara  Rasulullah yang  ingin ia jumpai itu adalah orang-orang yang mengimani hal ghaib, diriwayatkan oleh banyak perowi hadits. Seperti Bukhari dalam kitab tarikhnya, Thabrani, Baihaqi, Al-Isfahani, Al-Ismaili,  dan Hakim. Sehingga para ahli hadits menyatalkan, “Semua hadits ini, meskipun lafadz-nya berbeda-beda, sepakat untuk menunjukkan bahwa seorang mukmin yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah adalah lebih utama dari pada sahabat Rasulullah yang pernah berjumpa dengan Rasulullah. Hadits ini merupakan hadits mutawatir, yang banyak diriwayatkan  oleh para sahabat maupun tabi’in. Dan menurut para ahli hadits, pada hadits mutawatir tidak berlaku kritik sanad.

            Ciri orang taqwa berikutnya adalah mempercayai Rasul dan Nabi-nabi sebelumnya. Ia mempunyai sikap menghormati agama-agama. Orang taqwa semestinya tidak fanatik, tidak suka dengan perpecahan. Orang taqwa itu tidak hanya “Yu’minuna bima unzil ilaika,” tetapi juga “Wama unzila min qablik.” (al-Baqarah (2):4). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mukmin itu percaya tidak ada perbedaan tentang prinsip-prinsip dakwah para nabi. Dilihat pokok-pokok masalahnya, tidak ada perbedaan diantara nabi-nabi itu. Semua nabi adalah pemberi petunjuk kepada umat manusia yang membawa kepada jalan yang lurus dan setiap nabi datang untuk menyempurnakan bimbingan akhlak ruhaniyah yang membawa manusia pada kesempurnaan yang sudah direncanakan.

            Orang taqwa sejati adalah orang yang tidak pernah menggunakan agama untuk menjadi sebab perpecahan dan kemunafikan. Orang taqwa percaya bahwa agama adalah wahana untuk mempertemukan anak-anak manusia. Kalau ada orang yang suka mempertentangkan ajaran-ajaran agama, apalagi sesama agama, orang itu pasti belum sampai pada derajat taqwa, sama halnya jika ada orang yang mencoba mencari perbedaan dan sangat sensitif untuk melihat perbedaan lalu menggunakannya untuk memecah belah umat. Orang taqwa adalah orang yang toleran pada orang seagama dan toleran pada pemeluk agama lain.

            Tanda orang taqwa yang kelima, adalah keyakinan kepada hari akhir. Menurut Al-Quran  keyakinan akan hari akhir ada hubungannya dengan keberanian seseorang berbuat dosa. Makin kurang keyakinan seseorang terhadap hari akhir, makin berani orang itu berbuat dosa. Orang-orang zalim sering mengikuti hawa nafsunya karena mereka kurang yakin terhadap hari akhir. Mereka tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan dan dihukum. Jika orang percaya pada hari akhir, ia akan lebih berhati-hati dalam menjaga dirinya. Dia akan mengumpulkan bekal buat perjalanan yang panjang.

            Alam dunia adalah alam persiapan untuk menuju alam akhirat yang kekal. Seperti halnya alam janin yang mempersiapkan tubuh untuk hidup di alam dunia. Kalau dialam janin terdapat cacat, ketika lahir ia akan menjadi orang yang cacat dan menderita sepanjang hidupnya. Jika hidup dialam dunia ini cacat, nanti kita akan dilahirkan lagi ke alam akhirat dalam keadaan cacat juga. Menurut Al-Quran, kalau orang itu sudah tidak begitu yakin terhadap hari akhir, dia akan tersesat  dari jalan Allah dan mengikuti hawa nafsunya.

            Dalam surat Shad (38) ayat 26, Allah berfirman,  “.....dan  janganlah  kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan,” Orang-orang  yang mengejar hawa nafsu itu sebenarnya lupa bahwa mereka nanti akan diperhitungkan diakhirat. Beruntunglah orang-orang yang dibukakan jendela alam akhirat. Seperti dalam kisah sufi Ibrahim bin Adham.

            Dikisahkan bahwa pada mulanya Ibrahim adalah seorang yang sangat senang minum minuman keras. Dia mempunyai anak yang sangat ia sayangi. Ketika ia minum, anak itu sering menepiskan tangan bapaknya supaya ia tidak jadi minum. Orang tuanya menganggap perbuatan anak itu hanya bercanda saja. Sampai pada suatu saat, anak itu meninggalkan dunia. Ibrahim gelisah dan menangis setiap hari. Tiba-tiba aklan sebuah mimpi, ia seakan-akan berada di alam akhirat, di Padang Mahsyar, ia dikejar-kejar oleh makhluk yang sangat menakutkan. Saat ia dikejar makhluk itu, muncul makhluk lain yang sangat indah menyelamatkannya. Kedua makhluk itu berkelahi. Tapi makhluk yang bagus itu lemah, ia kalah. Ibrahim lalu berlari lagi, kemudian ada teriakan dari arah bukit. Teriakan itu adalah teriakan anaknya. Anak itu datang untuk menghalangi monster jahat itu sehingga Ibrahim tidak jadi sampai ke neraka.

            Kemudian terjadilah percakapan antara Ibrahim dengan anaknya. “Siapa monster yang menakutkan itu?” anaknya menjawab, “Itulah minuman  keras yang bapak minum setiap saat.  Setiap bapak  melakukan maksiat, Bapak memperkuat makhluk yang menakutkan itu.

            Tapi Bapak terkadang juga berbuat baik. Hanya perbuatan baik Bapak itu lemah, ia tak sanggup  melawan kemaksiatan Bapak.”

            Ibrahim terbangun dari mimpinya. Begitu ia ingin meraih minuman keras, ia ingat bahwa setiap ia minum, ia memperkuat makhluk menakutkan itu. Akhirnya Ibrahim bin Adham kemudian menjadi seorang Sufi. Ia bertekad didalm hidupnya untuk selalu memperkuat  makhluk yang bagus itu. Ibrahim adalah contoh orang yang di bukakan  jendela  hari akhir.  Bila kita sering berdoa agar dikabulkan sedikit  saja jendela di hari akhir itu, meskipun sedikit, intipan ke alam ghaib itu dapat menambah keimanan kita terhadap akhirat. Apalagi jika sampai pada pengetahuan yang lebih luas lagi. ***

KH Jalaluddin Rakhmat adalah Ulama dan Cendekiawan Muslim, wafat 15 Februari 2021.