Awal surat Al-Baqarah bercerita tentang tiga kelompok manusia. Pertama, kelompok yang menerima seluruh ajaran Allah Swt, secara mutlak. Mereka disebut sebagai orang-orang taqwa, Al-Muttaqin. Mereka menerima Islam dalam seluruh dimensinya. Kedua, kelompok yang menolak ajaran Allah Swt secara mutlak pula. Mereka disebut orang-orang kafir. Mereka memusuhi Islam dalam segala dimensi, baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Ketiga, kelompok yang memiliki dua kepribadian. Pribadi yang satu adalah kepribadian Islam, ketika mereka berada ditengah-tengah kelompok Muslimin.
Pribadi yang lain adalah kepribadian yang
memusuhi Islam, ketika mereka
berada di tengah-tengah kelompok musuh kaum Muslimin. Mereka golongan Al-Munafiqun.
Di dalam masyarakat ketiga golongan ini akan selalu ada sepanjang masa.
Ketika Imam Husain as berangkat menuju Kota Kufah, atas
undangan kaum Muslimin melalui sebuah
petisi yang ditanda tangani ratusan orang, ditengah jalan ia berjumpa dengan
Farazdaq salah seorang penyair yang baru pulang
dari Kufah, Imam bertanya tentang keadaan para sahabatnya di Kufah yang
memberikan petisi itu. Farazdaq berkata: “Hai mereka bersamamu tapi
pedangnya menentang kamu.” Itulah
kelompok yang disebut Al-Munafiqun. Sayyidina Ali as mendefinisikan orang-orang munafik secara sederhana, “Orang
Munafik itu diluarnya indah tetapi didalamnya busuk.”
Dari ketiga kelompok diatas yang paling banyak
diceritakan di dalam Al-Quran adalah
kelompok orang munafik. Allah menyebutkan tanda-tanda orang taqwa pada lima
ayat pertama dari surat Al-Baqarah.
Tanda-tanda itu adalah criteria untuk menentukan mana orang yang termasuk
orang taqwa, kafir, atau munafik.
Lima tanda orang taqwa
itu adalah: Pertama, keimanan kepada yang Ghaib. Kedua,
pengabdian kepada Allah Swt, antara lain dengan menegakkan shalat. Ketiga
, perkhidmatan kepada sesama manusia . Keempat, kepercayaan kepada apa yang diturunkan
kepada Rasulullah Saw. dan nabi-nabi sebelumnya. Kelima, keimanan kepada
hari kiamat. Apabila lima rukun taqwa itu kita penuhi, Tuhan berjanji akan
memberi dua anugerah kepada kita; petunjuk dan kebahagiaan.
Karakteristik pertama orang taqwa,
yaitu beriman kepada yang Ghaib, merupakan keyakinan kepada seluruh rukun iman.
Keimanan kita terhadap Al-Quran, misalnya, adalah keimanan kepada dimensi ghaib
dari Al-Quran. Al-Quran itu tulisannya dhahir tapi tulisannya hakikatnya
berasal dari hal yang ghaib. Yaitu tajaliyat Allah Swt. Sebagian
mufassir menjelaskan bahwa keimanan kepada yang ghaib adalah keimanan kepada Imam
Mahdi.
Lalu siapa yang dimaksud dengan
orang-orang yang percaya kepada yang ghaib?
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda, “Alangkah rindunya aku
untuk berjumpa dengan saudara-saudarku.” Lalu seorang sahabat nabi
bertanya, “Bukankah kami ini saudara-saudaramu? Nabi menjawab, “Kalian
adalah sahabat-sahabatku. Adapun yang kumaksud dengan
saudara-saudaraku adalah kaum yang datang sesudahku kemudian beriman kepadaku
padahal mereka tidak pernah berjumpa denganku.” Kemudian Nabi membaca
ayat, “Alladzina yu’minuna bil ghaib.” Orang-orang yang beriman
kepada yang ghaib (Al-Baqarah (2):3). Merekalah orang-orang yang tidak pernah
melihat Rasulullah Saw tetapi mereka beriman kepada beliau.
Hadits ini menepis anggapan bahwa
kaum muslimin yang terbaik adalah kaum muslimin yang tinggal sezaman dengan
Rasulullah dan kaum muslimin yang paling jelek adalah orang yang datang diakhir
zaman. Ini disebut dengan Teori Evolusi Regresif. Artinya, umat manusia
berkembang kearah keburukan. Padahal dalam Al-Quran disebutkan, “Alladzi
khalaqa Fa sawwa.” (Allah) yang menciptakan dan menyempurnakan.
(QS.Al-A’la:2). Manusia berkembang kearah kesempurnaan, baik dari segi fisik
maupun mental. Contohnya, dizaman Rasulullah, masih ada orang yang thawaf
mengelilingi ka’bah dalam keadaan bertelanjang. Sekarang, betapa pun tidak bermoralnya
seseorang, ia tidak akan thawaf dengan telanjang.
Dalam Islam, perkembangan manusia
adalah Evolusi Progresif. Makin lama makin baik, makin cerdas, dan makin
berilmu. Menurut Imam Ja’far as, dalam salah satu doanya, ilmu manusia itu
akan menjulang tinggi, kedamaian terbentang luas, iman dikuatkan, dan Al-Quran
dibacakan. Hadits yang menceritakan
bahwa saudara-saudara Rasulullah
yang ingin ia jumpai itu adalah
orang-orang yang mengimani hal ghaib, diriwayatkan oleh banyak perowi hadits.
Seperti Bukhari dalam kitab tarikhnya, Thabrani, Baihaqi, Al-Isfahani,
Al-Ismaili, dan Hakim. Sehingga para
ahli hadits menyatalkan, “Semua hadits ini, meskipun lafadz-nya berbeda-beda,
sepakat untuk menunjukkan bahwa seorang mukmin yang tidak pernah berjumpa
dengan Rasulullah adalah lebih utama dari pada sahabat Rasulullah yang pernah
berjumpa dengan Rasulullah. Hadits ini merupakan hadits mutawatir,
yang banyak diriwayatkan oleh para
sahabat maupun tabi’in. Dan menurut para ahli hadits, pada hadits mutawatir
tidak berlaku kritik sanad.
Ciri orang taqwa
berikutnya adalah mempercayai Rasul dan Nabi-nabi sebelumnya. Ia mempunyai sikap
menghormati agama-agama. Orang taqwa semestinya tidak fanatik, tidak
suka dengan perpecahan. Orang taqwa itu tidak hanya “Yu’minuna bima unzil ilaika,”
tetapi juga “Wama unzila min qablik.” (al-Baqarah (2):4). Ayat ini
menunjukkan bahwa orang yang mukmin itu percaya tidak ada perbedaan tentang
prinsip-prinsip dakwah para nabi. Dilihat pokok-pokok masalahnya, tidak ada
perbedaan diantara nabi-nabi itu. Semua nabi adalah pemberi petunjuk kepada
umat manusia yang membawa kepada jalan yang lurus dan setiap nabi datang untuk
menyempurnakan bimbingan akhlak ruhaniyah yang membawa manusia pada
kesempurnaan yang sudah direncanakan.
Orang taqwa sejati adalah orang yang
tidak pernah menggunakan agama untuk menjadi sebab perpecahan dan kemunafikan.
Orang taqwa percaya bahwa agama adalah wahana untuk mempertemukan anak-anak
manusia. Kalau ada orang yang suka mempertentangkan ajaran-ajaran agama, apalagi
sesama agama, orang itu pasti belum sampai pada derajat taqwa, sama halnya jika
ada orang yang mencoba mencari perbedaan dan sangat sensitif untuk melihat
perbedaan lalu menggunakannya untuk memecah belah umat. Orang taqwa
adalah orang yang toleran pada orang seagama dan toleran pada pemeluk agama
lain.
Tanda orang taqwa yang kelima,
adalah keyakinan kepada hari akhir. Menurut Al-Quran keyakinan akan hari akhir ada hubungannya
dengan keberanian seseorang berbuat dosa. Makin kurang keyakinan seseorang terhadap
hari akhir, makin berani orang itu berbuat dosa. Orang-orang zalim sering
mengikuti hawa nafsunya karena mereka kurang yakin terhadap hari akhir. Mereka
tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan dan dihukum. Jika orang percaya
pada hari akhir, ia akan lebih berhati-hati dalam menjaga dirinya. Dia akan
mengumpulkan bekal buat perjalanan yang panjang.
Alam
dunia adalah alam persiapan untuk menuju alam akhirat yang kekal. Seperti
halnya alam janin yang mempersiapkan tubuh untuk hidup di alam dunia. Kalau
dialam janin terdapat cacat, ketika lahir ia akan menjadi orang yang cacat dan
menderita sepanjang hidupnya. Jika hidup dialam dunia ini cacat, nanti kita
akan dilahirkan lagi ke alam akhirat dalam keadaan cacat juga. Menurut
Al-Quran, kalau orang itu sudah tidak begitu yakin terhadap hari akhir, dia
akan tersesat dari jalan Allah dan
mengikuti hawa nafsunya.
Dalam surat Shad (38) ayat 26,
Allah berfirman, “.....dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan,”
Orang-orang yang mengejar hawa nafsu itu
sebenarnya lupa bahwa mereka nanti akan diperhitungkan diakhirat. Beruntunglah
orang-orang yang dibukakan jendela alam akhirat. Seperti dalam kisah sufi
Ibrahim bin Adham.
Dikisahkan bahwa pada mulanya
Ibrahim adalah seorang yang sangat senang minum minuman keras. Dia mempunyai
anak yang sangat ia sayangi. Ketika ia minum, anak itu sering menepiskan tangan
bapaknya supaya ia tidak jadi minum. Orang tuanya menganggap perbuatan anak itu
hanya bercanda saja. Sampai pada suatu saat, anak itu meninggalkan dunia.
Ibrahim gelisah dan menangis setiap hari. Tiba-tiba aklan sebuah mimpi, ia
seakan-akan berada di alam akhirat, di Padang Mahsyar, ia dikejar-kejar oleh
makhluk yang sangat menakutkan. Saat ia dikejar makhluk itu, muncul makhluk
lain yang sangat indah menyelamatkannya. Kedua makhluk itu berkelahi. Tapi
makhluk yang bagus itu lemah, ia kalah. Ibrahim lalu berlari lagi, kemudian ada
teriakan dari arah bukit. Teriakan itu adalah teriakan anaknya. Anak itu datang
untuk menghalangi monster jahat itu sehingga Ibrahim tidak jadi sampai ke
neraka.
Kemudian terjadilah percakapan antara
Ibrahim dengan anaknya. “Siapa monster yang menakutkan itu?” anaknya
menjawab, “Itulah minuman keras yang
bapak minum setiap saat. Setiap
bapak melakukan maksiat, Bapak
memperkuat makhluk yang menakutkan itu.
Tapi
Bapak terkadang juga berbuat baik. Hanya perbuatan baik Bapak itu lemah, ia tak
sanggup melawan kemaksiatan Bapak.”
Ibrahim terbangun dari mimpinya.
Begitu ia ingin meraih minuman keras, ia ingat bahwa setiap ia minum, ia
memperkuat makhluk menakutkan itu.
Akhirnya Ibrahim bin Adham kemudian menjadi seorang Sufi. Ia bertekad didalm hidupnya untuk selalu memperkuat makhluk yang bagus itu. Ibrahim adalah contoh
orang yang di bukakan jendela hari akhir. Bila kita sering berdoa
agar dikabulkan sedikit saja jendela di
hari akhir itu, meskipun sedikit, intipan ke alam
ghaib itu dapat menambah keimanan kita terhadap akhirat. Apalagi jika sampai
pada pengetahuan yang lebih luas lagi. ***
KH Jalaluddin Rakhmat adalah Ulama dan Cendekiawan Muslim, wafat 15 Februari 2021.