14/04/22

Tangan Lurus Ketika Shalat

Tangan  lurus  ketika  berdiri  shalat  adalah disebut  irsal; sedangkan posisi tangan kanan di atas tangan kiri disebut takattuf, bersedekap.  Semua  mazhab  dalam  Islam  sepakat tentang  tidak  adanya  kewajiban  untuk  takattuf. Tetapi mereka  berbeda  pendapat  dalam  hal  tidak  wajibnya itu. Kelompok pertama berpendapat bahwa takattuf  itu hukumnya sunnat (mustahabbah) pada shalat wajib dan shalat sunnat.  Inilah  pendapat  mazhab  Hanafi, Syafii, Hanbali.

Menurut  Al-Nawawi,  ini  juga  pendapat  Abu  Hurairah, ‘Aisyah,  dan  sahabat-sahabat  lainnya.  Seperti  ini  juga sejumlah  tabi’in  seperti  Sa’id  bin  Jubayr,  Al-Nakh’i,  dan Abu  Mujallad. Sealiran  dengan  ini  juga  sejumlah  fuqaha seperti  Sufyan,  Ishaq,  Abu  Tsawr,  Dawud  dan  jumhur ulama (Al-Majmu’ 3: 313). Kelompok  kedua  menetapkan  boleh  (mubah)  dalam shalat  sunat,  tetapi  makruh  dalam  shalat  wajib.  Ibn  Rusyd meriwayatkan pendapat ini dari Imam Malik (Bidayat al-Mujtahid, 1:137). Menurut  Al-Nawawi,  dari  riwayat  Abd al-Hakim, Malik menyuruh takattuf; tetapi dari riwayat Ibn Qasim,  pendapat  Malik  itu  irsal.  Dan inilah yang lebih terkenal (Al-Majmu’, 3:312). Sayyid Murtadha melaporkan dari  Malik  dan Al-Layts bahwa keduanya berpendapat boleh takattuf karena lamanya berdiri dalam salat  sunnat (Al-Intishar 140). Kelompok  ketiga  menetapkan  boleh  memilih  antara takattuf  dan  irsal. Menurut Al-Nawawi, inilah pendapat Al-Awza’i. Kelompok keempat menetapkan  batalnya shalat  karena  bersedekap.  Inilah  kesepakatan  ulama mazhab  Ahlulbait  as.  Menurut  Al-Nawawi,  Abdullah bin  Al-Zubayr,  Al-Hasan  al-Bashri,  Al-Nakh’i.  Ibn  Sirin semuanya  melarang  bersedekap  (takattuf)  dan  menyuruh irsal.

Berikut ini adalah hadis-hadis tentang takattuf disertai dengan penilaian atas hadis tersebut. 

Pertama,  hadis  yang  diriwayatkan  Al-Bukhari dari  Ibn Hazm, dari  Sahl  bin  Sa’ad.  Ia berkata: Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas siku tangan  kirinya  dalam  shalat.  Kata  Abu  Hazm:  Aku  tidak kecuali ia menisbahkan kepada Nabi Muhammad saw (Ibn Hajar, Syarh Shahih  al-Bukhari  2:224).  Kata  Isma’il,  guru  Al-Bukhari: “yunmâ dzâlika” (dinisbahkan demikian) dan bukan “yanmi dzalika” (menisbahkan demikian). Ketika  Sahl  berkata  “orang-orang  diperintahkan”, kita  bertanya  siapa  yang  memerintahkan?  Nabi Muhammad saw atau sahabat-sahabat lainnya? Menurut Isma’il, ia dinishbahkan saja kepada Nabi saw. Ibn Hajar mengatakan bahwa kalau sahabat  berkata  begitu  pastilah  yang  memerintahkannya adalah Nabi Muhammad saw. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa para sahabat  “menyembunyikan” Nabi Muhammad saw, padahal untuk menjelaskan  perintah  syara’,  mereka pasti lebih terhormat dan lebih meyakinkan kalau mereka berkata: Nabi Muhammad saw memerintahkan kami. Mereka akan lebih bangga mengatakan apa yang didengarnya langsung dari Nabi saw. Kata Al-Suyuthi: “Para sahabat tidak memastikan itu dari Rasulullah  saw karena  kehati-hatiannya”  (Tadrib al-Rawi, 119.) Artinya, kuatir bahwa perintah itu bukan berasal dari Nabi saw, walaupun mereka yakin itu dari Nabi Muhammad saw.

Dalam Ushul Fiqh, kata “diperintahkan” itu bersifat mujmal. Karena itu menisbahkannya  kepada  Nabi  Muhammad saw memerlukan  dalil  lainnya,  supaya  bisa  dijadikan  hujjah. Abu  Hazm  tidak  menjelaskan  dalilnya. Karena  itu, hadis  ini  tidak  bisa  dijadikan  hujjah.  Apalagi  hadis  ini bertentangan  dengan  hadis-hadis  lain  yang  lebih  banyak tentang cara salat Nabi Muhammad saw (seperti yang akan disampaikan di bawah). Jika kita memperhatikan hadis Muslim tentang takattuf, Nabi Muhammad saw melakukannya bukan karena itu sunnah, tetapi  karena  Nabi  Muhammad saw  ingin  merapatkan  pakaiannya  ke tubuhnya.

Kedua,  hadis  yang  diriwayatkan Muslim dari Wail bin  Hujur:  Ia  melihat  Nabi  Muhammad saw mengangkat tangannya bertakbir ketika memasuki shalat. Kemudian ia menutupkan pakaiannya  dan  meletakkan  tangan  kanannya  di  atas tangan  kirinya.  Ketika  ia  mau melakukan ruku’ ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya. Kemudian ia mengangkat tangannya dan bertakbir dan ruku’ (Muslim, 1: 382, Bab 5, Kitab al-Shalat). Dalam  pengertian hadis ini, Nabi Muhammad saw mengambil ujung-ujung pakaiannya dan menutupkannya ke dadanya.  Jadi, tangan beliau yang kiri mengambil ujung baju sebelah kiri  dan menutupkannya  pada  tangan  sebelah  kiri yang memegang  ujung  pakaiannya  juga.  Beliau melakukannya karena pertimbangan praktis untuk merapatkan pakaian ke badannya karena kedinginan atau sebab-sebab lainnya. Tapi lepas dari masalah penafsiran, dalam sanad hadis Muslim  ini  ada  Hamam.  Jika  yang  dimaksud  adalah Hamam bin Yahya, maka Yahya bin al-Qaththan meremeh-kan  hadisnya.  Yahya  bin  Sa’id  tidak  mau  menerima kebanyakan hadis Hamam (Huda al-Sari 1:267). 

Walaupun Abu Hatim  menganggap dia tsiqat  (terpercaya),  dalam kaidah  ilmu  hadis  “yang  mencela  didahulukan  daripada yang memuji”. Ketika mentakhrij hadis yang bersumber dari Wail bin Hujur, dalam Sunan al-Baihaqi kita menemukan tiga jalan. Pertama  melewati  Hammam. Kedua  melewati Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin  Ja’far  yang  adalah  Ibn  Najih menurut  Ibn  Mu’in:  laysa  bi  sya’i. Menurut Al-Nasai: ditinggalkan  (matruk).  Waki’  bila  menemukan  hadisnya, mengecamnya dan mengatakan bahwa orang sudah sepakat tentang kedha’ifannya (Tahdzib al-Tahdzib 5:174). Ketiga melewati Abdullah bin Raja’i, yang menurut ‘Amr bin ‘Ali al-Falas: Ia banyak sekali salahnya dan tashhif (mengubah-ubah kalimat). Bukan hujjah (Huda al-Sari 1:437).

Ketiga, hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Mas’ud: Ia biasa melakukan salat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya. Kemudian ia melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Sunan al-Baihaqi 2:44, hadis 2327). Kita  mengetahui  bahwa  Abdullah  bin  Mas’ud  ter-masuk  orang-orang  pertama  yang  masuk  Islam.  Ia  mendapat  gelar “orang  yang  pertama  membacakan  Al-Quran kepada orang kafir setelah Rasulullah saw”. Sangat mengherankan  bahwa  ia  baru  belakangan  melihat  Nabi Muhammad saw meletakkan tangan  kanannya di atas tangan kirinya. Tapi di luar  masalah  penafsiran makna, hadis ini dha’if karena dalam sanadnya ada Hasyim bin Basyir, yang  terkenal melakukan tadlis. ***