Tangan lurus ketika berdiri shalat adalah disebut irsal; sedangkan posisi tangan kanan di atas tangan kiri disebut takattuf, bersedekap. Semua mazhab dalam Islam sepakat tentang tidak adanya kewajiban untuk takattuf. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal tidak wajibnya itu. Kelompok pertama berpendapat bahwa takattuf itu hukumnya sunnat (mustahabbah) pada shalat wajib dan shalat sunnat. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Syafii, Hanbali.
Menurut Al-Nawawi, ini
juga pendapat Abu
Hurairah, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya.
Seperti ini juga sejumlah
tabi’in seperti Sa’id
bin Jubayr, Al-Nakh’i,
dan Abu Mujallad. Sealiran dengan
ini juga sejumlah
fuqaha seperti Sufyan, Ishaq,
Abu Tsawr, Dawud
dan jumhur ulama (Al-Majmu’ 3: 313).
Kelompok kedua menetapkan
boleh (mubah) dalam shalat
sunat, tetapi makruh
dalam shalat wajib.
Ibn Rusyd meriwayatkan pendapat
ini dari Imam Malik (Bidayat al-Mujtahid, 1:137). Menurut Al-Nawawi,
dari riwayat Abd al-Hakim, Malik menyuruh takattuf;
tetapi dari riwayat Ibn Qasim,
pendapat Malik itu irsal. Dan inilah yang lebih terkenal (Al-Majmu’,
3:312). Sayyid Murtadha melaporkan dari
Malik dan Al-Layts bahwa keduanya
berpendapat boleh takattuf karena lamanya berdiri dalam salat sunnat (Al-Intishar 140). Kelompok ketiga
menetapkan boleh memilih
antara takattuf dan irsal. Menurut Al-Nawawi, inilah
pendapat Al-Awza’i. Kelompok keempat menetapkan
batalnya shalat karena bersedekap.
Inilah kesepakatan ulama mazhab
Ahlulbait as. Menurut
Al-Nawawi, Abdullah bin Al-Zubayr,
Al-Hasan al-Bashri, Al-Nakh’i.
Ibn Sirin semuanya melarang
bersedekap (takattuf) dan
menyuruh irsal.
Berikut ini adalah hadis-hadis tentang takattuf disertai dengan penilaian atas hadis tersebut.
Pertama, hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Hazm, dari Sahl bin Sa’ad. Ia berkata: Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas siku tangan kirinya dalam shalat. Kata Abu Hazm: Aku tidak kecuali ia menisbahkan kepada Nabi Muhammad saw (Ibn Hajar, Syarh Shahih al-Bukhari 2:224). Kata Isma’il, guru Al-Bukhari: “yunmâ dzâlika” (dinisbahkan demikian) dan bukan “yanmi dzalika” (menisbahkan demikian). Ketika Sahl berkata “orang-orang diperintahkan”, kita bertanya siapa yang memerintahkan? Nabi Muhammad saw atau sahabat-sahabat lainnya? Menurut Isma’il, ia dinishbahkan saja kepada Nabi saw. Ibn Hajar mengatakan bahwa kalau sahabat berkata begitu pastilah yang memerintahkannya adalah Nabi Muhammad saw. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa para sahabat “menyembunyikan” Nabi Muhammad saw, padahal untuk menjelaskan perintah syara’, mereka pasti lebih terhormat dan lebih meyakinkan kalau mereka berkata: Nabi Muhammad saw memerintahkan kami. Mereka akan lebih bangga mengatakan apa yang didengarnya langsung dari Nabi saw. Kata Al-Suyuthi: “Para sahabat tidak memastikan itu dari Rasulullah saw karena kehati-hatiannya” (Tadrib al-Rawi, 119.) Artinya, kuatir bahwa perintah itu bukan berasal dari Nabi saw, walaupun mereka yakin itu dari Nabi Muhammad saw.
Dalam Ushul Fiqh, kata “diperintahkan” itu bersifat mujmal.
Karena itu menisbahkannya kepada Nabi Muhammad
saw memerlukan dalil lainnya,
supaya bisa dijadikan
hujjah. Abu Hazm tidak
menjelaskan dalilnya. Karena itu, hadis
ini tidak bisa
dijadikan hujjah. Apalagi
hadis ini bertentangan dengan
hadis-hadis lain yang
lebih banyak tentang cara salat
Nabi Muhammad saw (seperti yang akan disampaikan di bawah). Jika kita
memperhatikan hadis Muslim tentang takattuf, Nabi Muhammad saw
melakukannya bukan karena itu sunnah, tetapi
karena Nabi Muhammad saw
ingin merapatkan pakaiannya
ke tubuhnya.
Kedua, hadis yang diriwayatkan Muslim dari Wail bin Hujur: Ia melihat Nabi Muhammad saw mengangkat tangannya bertakbir ketika memasuki shalat. Kemudian ia menutupkan pakaiannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika ia mau melakukan ruku’ ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya. Kemudian ia mengangkat tangannya dan bertakbir dan ruku’ (Muslim, 1: 382, Bab 5, Kitab al-Shalat). Dalam pengertian hadis ini, Nabi Muhammad saw mengambil ujung-ujung pakaiannya dan menutupkannya ke dadanya. Jadi, tangan beliau yang kiri mengambil ujung baju sebelah kiri dan menutupkannya pada tangan sebelah kiri yang memegang ujung pakaiannya juga. Beliau melakukannya karena pertimbangan praktis untuk merapatkan pakaian ke badannya karena kedinginan atau sebab-sebab lainnya. Tapi lepas dari masalah penafsiran, dalam sanad hadis Muslim ini ada Hamam. Jika yang dimaksud adalah Hamam bin Yahya, maka Yahya bin al-Qaththan meremeh-kan hadisnya. Yahya bin Sa’id tidak mau menerima kebanyakan hadis Hamam (Huda al-Sari 1:267).
Walaupun Abu Hatim menganggap dia tsiqat (terpercaya),
dalam kaidah ilmu hadis
“yang mencela didahulukan
daripada yang memuji”. Ketika mentakhrij hadis yang bersumber dari Wail
bin Hujur, dalam Sunan al-Baihaqi kita menemukan tiga jalan. Pertama melewati
Hammam. Kedua melewati Abdullah bin
Ja’far. Abdullah bin Ja’far yang
adalah Ibn Najih menurut
Ibn Mu’in: laysa
bi sya’i. Menurut Al-Nasai: ditinggalkan (matruk). Waki’
bila menemukan hadisnya, mengecamnya dan mengatakan bahwa
orang sudah sepakat tentang kedha’ifannya (Tahdzib al-Tahdzib 5:174). Ketiga melewati
Abdullah bin Raja’i, yang menurut ‘Amr bin ‘Ali al-Falas: Ia banyak sekali
salahnya dan tashhif (mengubah-ubah kalimat). Bukan hujjah (Huda al-Sari
1:437).
Ketiga, hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Mas’ud: Ia biasa
melakukan salat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya.
Kemudian ia melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya
(Sunan al-Baihaqi 2:44, hadis 2327). Kita
mengetahui bahwa Abdullah
bin Mas’ud ter-masuk
orang-orang pertama yang
masuk Islam. Ia
mendapat gelar “orang yang
pertama membacakan Al-Quran kepada orang kafir setelah Rasulullah
saw”. Sangat mengherankan bahwa ia baru belakangan
melihat Nabi Muhammad saw meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Tapi di luar masalah penafsiran makna, hadis ini dha’if karena
dalam sanadnya ada Hasyim bin Basyir, yang
terkenal melakukan tadlis. ***