22/03/23

kenapa sih harus ada ujian?

 Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.

*Oleh: Ustadz Miftah F. Rakhmat*
*(Ketua Dewan Syura IJABI)*

“Bi, kenapa sih harus ada ujian?” 
Semalam sebelum hari H Ujian Sekolah, Ali anakku masih juga mempertanyakannya. 

“Ujian itu bukan hanya untuk anak-anak. Tapi juga buat guru. Supaya Sekolah tahu sejauh apakah guru-guru telah mengajarmu?”
“Ya, kalau begitu kenapa tidak seperti kuis harian saja? Kan bisa juga. Kenapa harus UN?” Kritis juga Ali mempertanyakannya.

“Karena yang diuji,” jawabku sambil mencari cara, “adalah Sekolah seluruh Indonesia. Pemerintah ingin kita berlomba dengan negara lain, agar nilai kita cukup baik bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.” Akhirnya, kukeluarkan juga penjelasan yang memaksakan itu.

Ya, kenapa harus ada ujian? Bukan kali itu saja Ali bertanya. Ia sudah pernah bertanya sebelumnya. Mungkin tidak ada jawaban yang cukup memuaskan. Pernah, saya beri analogi tentang games, permainan yang sering dimainkannya. Ibarat level ia naik terus dan terus. Menghadapi ragam tantangan. Dan kini, Ujian Akhir seperti bertanding melawan bos di level tertentu. Bila kau taklukkan, kau akan naik ke level berikutnya. Tapi, sepertinya Ali masih belum puas.

Bukan hanya kau Nak, seumur hidup orangtuamu dan orang-orang dewasa di sekitarmu akan juga bertanya, “Mengapa ada ujian?” Tidak bisakah kita belajar tanpa diuji? Tidak bisakah kita hidup tanpa dicoba? Mengapa tidak bermain saja, dan menikmati dunia ini apa adanya.

Masih dalam perbincangan semalam itu, saya katakan pada Ali, “Kebahagiaan dan kenikmatan manusia itu bertingkat. Waktu kecil, kau suka memasukkan apa saja ke mulutmu, dan kau bahagia.” Dan Ali segera mengeluarkan bantal yang tengah dikulumnya. “Lalu, kau bahagia kalau keinginanmu terpenuhi. Kalau kau mau sesuatu dan kau diberi. _Emotional happiness_. Dan nanti, kebahagiaanmu naik lagi, _Intellectual happiness_. Kau bahagia karena memahami sesuatu yang membuatmu berarti, yang menjadikan hidupmu penuh makna. Dan itu hanya kau peroleh melalui ilmu, melalui belajar, melalui ujian.”

Anak-anakku sudah tahu. Kata mereka, “_It’s hard talking to you, Bi_.” Sulit katanya bicara denganku. Apapun yang mereka tanyakan, aku kembalikan pada keadaan mereka saat itu. 

“Lalu, mengapa Tuhan ciptakan kita?” Ali membelokkan pertanyaan. Saya juga sudah menjawab itu sebelumnya. Jawaban saya selalu sama: “Karena Tuhan mencintai kita.” Tapi kali ini saya tambahkan, “Dan tahukah kau, cara Tuhan mencintai kita?” 

“Bagaimana Bi?”
“Dengan memberikan kita ujian.”  Lagi-lagi ujian.

Ya, Ali mesti tahu. Ujian yang dihadapinya kini adalah ujian menjawab pertanyaan. Kelak, ia akan tahu ujian yang sesungguhnya. Ujian hati, perasaan dan pikiran. Ujian disalahpahami dan mungkin dipinggirkan. Bukankah sebuah riwayat mengatakan, “Jika Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, ia akan mengujinya.” 

Sehari sebelum Ali dan kawan-kawannya ujian, di Kampus SMA Plus Muthahhari diadakan Diseminasi Karya Ilmiah dari Dr. Erba, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Disertasi doktoralnya meneliti SMA Plus Muthahhari. Sebuah sekolah, menurut penelitiannya, yang mengembangkan nilai empati sebagai intisari pendidikan karakternya. Dan empati sangat dibutuhkan negeri kita sekarang ini, karena ia tergerus oleh kesetiaan pada kelompok, pada pendapat, pada kandidat dalam pilkada. Empati itu hilang pada orang beda kelompok, beda pendapat, beda pilihan dalam pilkada.

Dr. Jalaluddin Rakhmat yang menjadi pembanding Dr. Erba Yanti berkisah tentang pengalamannya mengikuti acara internasional di Basel. Ia ditanya wartawan siapakah di antara makhluk tuhan yang mempesona kita. Dr. Jalaluddin menjawab, “Anak-anak.” Mengapa? Karena nilai empati mereka yang tinggi. Bila ada satu anak menangis, anak lain akan ikut menangis tanpa bertanya siapa orangtuanya, etnis apakah dia, bagaimana keyakinannya, siapa jagoan pilkadanya. Anak-anak punya empati yang sangat tinggi.

Empati itu tergerus, hilang manakala kita dengan mudah membagi pengelompokan. Ada aku dan kamu. Ada kita dan mereka. Diskusi di sosial media memperkuat pemisahan itu. Hampir jarang diskusi berniat saling memahami. Kebanyakan yang terjadi justru saling menghakimi. Broadcast fitnah disebar, berita hoax beredar. Makin kencang, makin deras, makin tak berperasaan. 

Dan dua hari sebelum Ali ujian, di SMA Plus Muthahhari digelar Syukuran Kelulusan. Sudah 23 angkatan diantarkan almamater itu. Sudah 3000 lebih alumni sekolah-sekolah itu. Mereka berprestasi mengabdi di bumi pertiwi. Dr. Jalaluddin Rakhmat berpesan, mengingatkan kutipan dari seorang filsuf Jerman, “Apa yang tidak menjatuhkanmu, akan membuatmu lebih kuat.”

Saya kira, itulah makna ujian, Ali. Jika aku boleh berterus terang. Untuk menjadikanmu lebih kuat. Karena Allah Ta’ala mencintai orang-orang yang ditempa dalam ujian. Sungguh, manusia diciptakan _dalam kesulitan demi kesulitan_. (QS. Al-Balad [90]:4) Mengapa? Agar kita saling tolong menolong _dalam kesabaran dan kasih sayang _(QS. Al-Balad [90]:17). Ujian datang agar kau temukan keindahan, sahabat dan saudaramu dalam kesabaran dan kasih sayang. Mereka yang akan tetap tegar di sampingmu meski musuh garang menantimu. Mereka yang akan tetap bersamamu meski dunia salah mengartikanmu. Mereka yang akan tetap mengasihimu, apa pun yang terjadi kepadamu. Ujian akan memisahkanmu dari mereka yang gagal menjadi insan pengasih, gagal menjadi manusia penyabar, gagal menjadi orang dewasa yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan. Mereka akan kehilangan empati. Dan sungguh, itu kerugian teramat nyata.

Kau gagal dalam ujian bila kau tertawa di atas penderitaan orang. Kau gagal dalam ujian bila kau senang menyakiti sesama. Kau gagal dalam ujian bila kau hakimi orang lain tanpa memberi mereka kesempatan bersuara.

_You see_, Ali. Ujianmu adalah menjawab soal pilihan. Ujian kehidupan adalah mempertanggungjawabkan pilihan yang kau ambil itu. “Dan tahukah kau apa yang Tuhan inginkan darimu?”

“_I don’t know_,” jawab Ali.
“Tuhan ingin agar kau bermanfaat bagi sesama. Tuhan ingin agar kau menebar cinta. Tuhan ingin agar kau berbuat baik pada sesama. Tahukah kau bagaimana caranya untuk itu?”

“_I don’t know_,” jawab Ali. Tapi saya yakin dalam batin ia sudah menerka.
“Kau bisa jadi guru, kau berikan muridmu ilmu. Kau bisa jadi dokter, kau sembuhkan orang sakit. Kau bisa jadi ilmuwan, kau berikan dunia temuan yang berharga. Kau bisa jadi seniman, kau berikan sesama manusia bahagia. Kau bisa jadi apa saja… tentu, makin tinggi kau belajar, makin luas juga peluang kau membahagiakan sesama. Semoga kau bisa, jadilah orang yang memberikan manfaat yang belum pernah ada selama ini di dunia…”

“_Is that even possible?_” tanya Ali. Kali ini, dia serius.
“Tentu saja,” jawab saya, “_And it’s for you to figure out the way…_” 

Selamat ujian anakku. Allah Ta’ala mencintai usahamu. Aku setuju denganmu, sistem ujian kita masih menilai hasil akhir. Bukan upaya yang ditempuh melaluinya. Seakan-akan kita semua siap bila Tuhan juga menilai kita dari hasil akhir. 

Ya Allah, Engkau Mahaadil, yang kau minta dari kami usaha. Hasil sepenuhnya di tanganMu. Menghadapi berbagai ujian dalam hidup ini, kami akan berusaha. KepadaMu Ya Allah, kami serahkan segalanya. 

Dan itulah ujian terakhir dalam hidup ini: belajar untuk menyerahkan segalanya kepadaMu.

Kuatkan kami untuk itu, Ya Rabbana.

@miftahrakhmat