15/03/22

BAYI-BAYI TUMBUH [by Kuswaidi Syafiie]

Masa-masa ketika kita masih bayi adalah masa-masa kesucian sekaligus kepolosan. Gerak-gerik kita waktu itu sama sekali tidak tersentuh oleh dosa-dosa. Juga tidak berkelindan dengan pahala. Karena di saat-saat yang lazimnya sangat membahagiakan bagi orang-orang tua itu kita belum terbebani sedikit pun oleh taklif dalam agama Islam.

Di masa-masa itu gerakan-gerakan kita adalah gerakan-gerakan kemalaikatan yang terlaksana secara otomatis. Begitu alamiah. Begitu sederhana. Waktu itu kita terlampau lugu untuk berurusan dengan pilihan-pilihan. Tidak ada asumsi, pun tidak ada persepsi pada diri kita. Episode nasib baru dimulai. Lembaran umur baru dibuka.

Hal yang paling menakjubkan di masa-masa itu adalah adanya rasa penasaran dan perhatian yang begitu kuat terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Semua jadi menarik. Semua jadi menyenangkan. 

Kita memang tidak bisa mengingat dengan baik masa-masa yang masih orisinal itu. Akan tetapi kalau kita dengan seksama mengamati bayi-bayi yang kita jumpai, dulu pastilah kita tidak jauh berbeda dengan mereka.

Seandainya rasa penasaran dan perhatian terhadap segala sesuatu itu tetap terbetot pada diri kita walaupun kita sudah meninggalkan masa-masa bayi jauh di waktu-waktu silam, tentu kita akan tetap saja bergairah mengamati segala sesuatu yang kita hadapi. "Paradigma" bayi sungguh penting untuk sebisa mungkin dipertahankan pada fase-fase umur setelahnya.

Dan karena kita sudah tidak lagi hidup di masa-masa bayi, maka secara ideal dapat dipastikan bahwa kita sudah tidak lagi tertarik terhadap  aneka rupa dan berbagai macam bentuk. Akan tetapi ketertarikan dan perhatian kita itu mesti lebih tertuju kepada dimensi-dimensi spiritual yang bertahta di balik setiap rupa dan bentuk, di balik segala penciptaan dan kehendak Tuhan terhadap semesta.

Kini, ketertarikan dan perhatian itu mesti kita fokuskan pada kreasi-kreasi Allah Ta'ala pada diri kita sendiri, juga pada berbagai macam makhlukNya di luar diri kita. Sebab, bukankah diri ini merupakan jalan terbentang yang menuju kepada hadiratNya? Bukankah pula segala sesuatu yang berada di luar diri secara hakiki merupakan "pengantar" yang mengindikasikan "alamatNya"?

Kita bisa merenungkan diri sendiri secara mendalam. Bagaimana kita bisa menjadi wujud? Dari mana sebenarnya kita ini datang? Di manakah asal-usul kita yang hakiki? Bagaimana bisa kita datang ke panggung dunia yang serba gaduh, penuh cingcong dan fana ini? 

Sama sekali kita ternyata tidak terlibat dalam lika-liku proses wujud kita yang sekarang sedang kita rasakan dan nikmati ini. Seujung rambut pun tidak terlibat. Sungguh, betul-betul merupakan makhluk yang baru kita ini.

Seutas firman Allah Ta'ala mengungkapkan kepada kita tentang fase gua garba hakiki di mana di dalamnya kita tidak saja bukanlah apa-apa atau siapa-siapa, tapi sama sekali tidak ada sebutannya karena betul-betul belum mengalami wujud: "Sungguh, telah datang kepada manusia suatu masa dari bentangan waktu di mana mereka belum menyandang sebutan sama sekali," (QS. Al-Insan: 1).

Dalam kitab tafsir sufistiknya yang sangat spektakuler, Syaikh Muhyiddin Ibn 'Arabi  (1165-1240) mengungkapkan bahwa jauh sebelum manusia mengejawantah dan mengalami wujud mereka sesungguhnya hanyalah merupakan "konsep" yang meringkuk di dalam samudra ketakterhinggan ilmu Allah Ta'ala. Akan tetapi karena belum menjadi bagian dari realitas, belum bisa dijamah dan ditelaah secara empiris, mereka sama sekali belum tersentuh oleh sebutan. Tidak ada idiom "manusia, orang, aku, engkau, dia, kita, kami, mereka, kamu dan kalian."

Terhadap "konsep" dalam samudra ilmu Ilahi itulah "kun fayakun" hadiratNya diberlakukan dengan sejumlah proses dan tahapan untuk mewujudkan manusia yang konkret yang terdiri dari dimensi lahir dan batin sebagaimana yang kita kenal sekarang.

Dengan pemahaman yang demikian, menyaksikan diri dan sesama sesungguhnya berarti menyelami kedalaman samudra ilmu Ilahi. Karena konsepnya jelas bahwa al-'ilmu tabi'un lil ma'lum, ilmu itu pasti sesuai dengan obyeknya. Artinya adalah bahwa "konsep" Allah Ta'ala tentang manusia sebelum munculnya manusia pastilah tidak melenceng dari realitas manusia yang menjadi pemandu perjalanan dan sejarah hidup ini.

Sungguh sangat menakjubkan kreasi Ilahi yang bernama manusia itu. Telinganya dilubangi oleh Allah, lalu bisa mendengar. Matanya dicekungkan sedikit, lalu bisa melihat. Diciptakanlah otak dan di "dalamnya" disemayamkan kemampuan untuk berpikir yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk yang lain. Diciptakanlah hati dan diberi kesanggupan yang sangat luar biasa sehingga ia bahkan sanggup menampung hadiratNya.

Takjub terhadap kemahaanNya di dalam membaca dan merenungi diri sendiri adalah membuka-buka kitab keilahian yang akan menunjukkan kepada kita berbagai macam jalan yang akan mengantarkan kita kepada "alamat" Allah Ta'ala.

Jika cahaya dan spektrum keilahian telah menyala pada diri kita, maka apa saja yang berada di luar diri secara otomatis akan menjadi aneka panorama kehadiran hadiratNya. Sungguh, sangat mengagumkan sekaligus menyenangkan. Wuallahu a'lamu bish-shawab. ***