17/03/22

Masalah "Kita" dalam Buku [by Munim Sirry]

Beberapa orang mempermasalahkan kata “kita” dalam buku saya yang distabilo Sdr. Nuruddin. Mereka bertanya, apakah “kita” termasuk saya (penulis)? Kata tersebut berada dalam paragraf yang berbunyi berikut: “Pertanyaannya kemudian adalah: Siapa/apa yang menjadi sasaran kritik dari teks-teks polemik Al-Quran ini? Pertanyaan ini terasa lebih penting lagi apabila kita amati bahwa Al-Qur’an ternyata mengarahkan kritiknya bukan pada ajaran ‘arus utama’ Yahudi dan Kristen. Pembacaan singkat atas Al-Qur’an dapat mengantarkan KITA pada kesimpulan bahwa Muhammad tidak memiliki informasi yang memadai atau salah paham tentang ajaran Yahudi dan Kristen.”

Kata “KITA” sengaja saya tulis dengan huruf besar karena itu yang dipersoalkan. Apakah penulis buku termasuk dalam “kita”? Kalimat di atas adalah terjemahan dari bahasa Inggris: “A cursory reading of the Qur’an could lead one to conclude that Muhammad was ill-informed about or had misunderstood Jewish and Christian doctrines” (lihat, Scriptural Polemics, hal. 46). Jika diterjemahkan literlek: “Pembacaan sepintas dapat menggiring seseorang pada kesimpulan….” Ketika saya baca terjemahan tersebut, saya tidak mempermasalahkan karena apakah kata “one” diterjemahkan “kita” atau “seseorang” tidak masalah. Sebab, masalahnya bukan pada kata “kita”, tapi pembacaan singkat atau pembacaan sepintas.

Tapi beberapa orang yang terbiasa memahami teks secara literlek menganggap kata “kita” berarti mencakup pendapat “saya” (penulis) tanpa memahami konstruksi kalimat. Wah, penulis mengatakan “kita” berarti dia termasuk yang berpendapat demikian. Di sinilah perlunya membaca dengan menggunakan akal agar mengerti atau memahami konstruksi bahasa. Jika kita (lagi-lagi, kita) membaca kalimat “Pembacaan singkat dapat (walaupun tidak mesti) mengantarkan kita pada kesimpulan…,” maka kata “kita” di situ mencakup siapapun, ya penulis, ya pembaca sendiri, dan ya siapapun. Makanya jangan baca (teks Qur’an) secara singkat alias spintas alias buru-buru. Bacalah dengan teliti dan cermat supaya tidak sampai kesimpulan tersebut.

Dalam gaya penulisan akademis (dan, saya kira, juga yang non-akademis), konstruksi kalimat semacam itu umum digunakan, dan dimaksudkan untuk mempermasalahkan kesimpulan seseorang. Dalam hal ini, kesimpulan bahwa Nabi tidak memiliki informasi yang memadai atau al-Qur’an salah paham soal ajaran Kristen. Dan itu pula yang saya permasalahkan. Yakni, bahwa siapapun yang membaca teks al-Qur’an secara spintas/cepat atau terburu-buru dapat tergiring pada kesimpulan yang salah itu.

Kalau menggunakan kalimat sehari-hari, maka berbunyi seperti: “Oh kalian menganggap Nabi tidak memiliki informasi yang memadai atau al-Qur’an salah paham soal ajaran Kristen itu karena kalian membaca teks-teks al-Qur’an secara terburu-buru, alias tidak teliti. Siapa pun yang baca terburu-buru dan tidak cermat memang bisa terjerembat ke dalam kesimpulan semacam itu. Maka, bacalah secara serius dan cermat dong! Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan.” Maksudnya begitu.

Maka, dalam empat paragraf berikutnya saya diskusikan pandangan sejumlah sarjana yang saya anggap tidak teliti membaca ayat-ayat al-Qur’an sehingga berkesimpulan seperti disebutkan di atas. Kemudian, pada paragraf berikutnya saya mengajukan pendapat saya pribadi, diawali dengan kalimat “Penulis berpendapat bahwa….,” seperti saya sudah tulis dalam status facebook sebelumnya.

Saya mengapresiasi kesan Dr. Zaprulkhan bahwa buku saya memang tidak mudah dipahami. Mungkin benar adanya, terutama buku “Polemik Kitab Suci” dan yang terbaru “Rekonstruksi Islam Historis.” Yang pertama ialah terjemahan disertasi, dan kedua ditulis sebagai kelanjutan dari buku “Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis.” Karena yg kedua buku lanjutan, maka level pembahasannya ditingkatkan sedikit. Tapi, saya juga mendengar banyak komen pembaca yang tidak kesulitan memahami buku tersebut. Saya kira kuncinya satu: Baca pakai otak! ***

Munim Sirry