Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah (QS 33:21).
Syaikh Abdullah Anshari dalam kitab Manazil Sairin, menyandarkan al-raja’ pada ayat itersebut, yang menunjukkan bahwa melalui Rasulullah Saw seorang mukmin dapat berharap kepada Allah SWT.
Selanjutnya Syaikh menyatakan bahwa tahapan al-raja’ adalah tahap terlemah bagi murid karena padanya ada pertentangan dan ada penentangan. Mengapa dianggap tingkatan paling lemah bagi seorang murid? Karena seakan padanya ada ketidakrelaan terhadap apa yang ditetapkan al-Haqq pada dirinya. Di satu sisi ada pertentangan karena al-Haqq adalah penguasa mutlak yang berhak melakukan apa pun padanya. Jika dirinya menyadari hal ini maka tidak layak baginya untuk menginginkan agar al-Haqq berlaku sesuai keinginannya. Penentangan muncul karena seakan dia menginginkan hal lain dari yang ditetapkan al-Haqq atas dirinya.
Ar-raja’ adalah diamnya salik pada dorongan keinginan yang ada pada dirinya. Padanya hanya terdapat satu manfaat, yaitu berbicara dengan yang atas nama wahyu yang diturunkan (al-tanzil), sunnah, dan memasukkannya pada jalan pencari kebenaran.
Bahwa ar-raja’ keinginan akan kenikmatan, kelezatan dan keterlepasan dari kesulitan. Padahal hal ini bertentangan dengan upaya salik melepaskan diri dari dorongan dirinya. Namun demikian, manfaat yang ada pada ar-raja’ adalah kesesuaian dengan apa yang Al-Haqq beritakan pada kitabnya dan juga yang disampaikan Nabi-Nya.
Manfaat mendasar dari ar-raja’ adalah mendinginkan panasnya ketakutan dan rasa putus asa. Bahayanya ar-raja’, sekiranya melebihi batasnya dia akan menimbulkan rasa aman sebelum waktunya dan ini berbahaya. Tentang ini al-Quran menyatakan: "Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi" (QS 7:99).
Dalam tahapan ini ar-raja’ terbagi pada tiga. Pertama yaitu menumbuhkan kesungguhan dalam melakukan amal kebaikan, menerbitkan rasa nikmat dalam pelayanan, menghidupkan tabiat yang baik dan kemampuan meninggalkan hal yang dilarang. Pada tahap ini ar-raja’ merupakan hal yang akan berefek tumbuhnya keinginan untuk mencapai kedudukan mulia, sehingga muncul usaha yang sungguh-sungguh pada diri salik untuk melakukan beragam kebaikan, baik dalam ibadah maupun muamalah.
Dari hal ini kemudian muncul rasa nikmat dalam melakukan kebaikan tersebut karena membayangkan hasil yang akan didapat dari tindakan kebaikan yang dia lakukan. Sehingga perbuatan baik itu akhirnya menjadi tabiat alamiah pada diri salik dan kemudian mudah baginya untuk menghindar dari maksiat.
Kedua yaitu merupakan ar-raja’ para pelaku pelatihan jiwa (arbab al-riyadhah) yang telah sampai pada maqam, padanya tersifati dorongan yang kuat melepaskan kenikmatan, keharusan pemilikan pengetahuan dan terjauhkan dari batas-batas keterpisahan. Maksudnya bahwa dengan ar-raja’ ini maka para pelaku riyadhah harus memiliki keinginan untuk melakukan perjalanan ruhaniah yang jauh dan mereka telah meninggalkan daya tarik atau kelezatan duniawi. Sekali pun mereka melepaskan kehidupan duniawi, namun mereka mengetahui seluruh ketentuan syariat dan menjaganya dengan ketat. Yang dengan itu semua karena perpaduan antara keinginan melakukan perjalanan ruhaniah yang jauh, keketatan dalam meninggalkan kelezatan duniawi, dan ketaatan pada ketentuan syariat akan menjaga dirinya dari hal-hal yang menjerumuskan dirinya terpisah dari maqam kebersamaan (al-jami').
Ketiga yaitu merupakan tahapan pemilik hati (al-arbab al-qulub) yang memiliki ar-raja’ perjumpaan dengan al-Haqq, bersumber dari kerinduan kebersatuan (al-Isytiyaq), kekecewaan mendalam dan keterlepasan ikatan dengan makhluk. Karena telah terlepas dari upaya mengatasi beragam keburukan sifat, maka cahaya hatinya mulai memancar bersinar. Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang menjaga keikhlasan selama empat puluh hari akan memancar hikmah melalui hati menuju lisannya.”
Ketika sampai kedudukan ini mereka menjadi pemilik hati (arbab al-qulub). Ar-raja’ yang muncul tidak lain adalah perjumpaan dengan kekasih. Kerinduannya bukan hanya sekedar berjumpa (al-syauq), tetapi penyatuan mutlak (al-isytiyaq). Hatinya dipenuhi gelora yang merona, deritanya bukanlah kehilangan kelezatan dan kenikmatan dunia, tapi deritanya adalah menanggung kerinduan yang menyayat hatinya. Keindahan matanya memandang setiap bentuk tajjali al-Haqq. Bukan sekadar ar-raja’ untuk memiliki, tetapi yang ada adalah ar-raja’ untuk bersatu fana fillah. Tidak ada lagi yang dapat menenteramkan hatinya dan tak ada yang mampu menghilangkan dahaganya kecual Allah.
Karena itu, semua
selain-Nya hanyalah perangkat kekecewaan. Hatinya sudah dimiliki sehingga tak
ada lagi ruang baginya untuk diisi oleh makhluk-Nya. Tidaklah Allah jadikan
dua hati pada satu rongga dada (QS 33:4). ***
(Dr Kholid Al Walid adalah dosen filsafat STFI Sadra Jakarat dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
=> Belajar Tasawuf bisa Anda ikuti pada YouTube MISYKAT TV, setiap minggu jam 19.45-21.00 WIBB.