13/03/22

Belajar Tasawuf: Ketundukan [by Kholid Al Walid]

Allah SWT berfirman: Belum tibalah saatnya bagi orang-orang beriman untuk menundukkan hatinya mengingat Allah (QS 57:16). Ketundukan adalah diri yang merasa kecil atau tubuh yang merendah untuk menganggungkan atau karena rasa takut. Ketundukan adalah rasa rendah karena keagungan zat yang dihadapi akibat rasa takut atau rasa yang cinta timbul. 

Pada tingkat yang pertama adalah kerendahan dihadapan perintah, penerimaan terhadap hukum atau ketetapan dan ketidak berartian dihadapan penyaksian al-Haqq Kerendahan dihadapan perintah yaitu penghambaan (al-Taabud) diri dihadapan perintah Tuannya sehingga tidak lagi mempertanyakan sebab dari perintah tersebut kepadanya.

Alkisah Iblis hendak bertaubat dan menghadap kepada Musa a.s.: "Ya Musa mintakan pada Allah agar menerima taubatku." Kemudian Allah berfirman pada Musa a.s.: "Ya Musa perintahkan dia untuk sujud dikuburan Adam."

Setelah Musa a.s mengabarkan perintah Allah, Iblis menjawab: "Ketika Adam dalam keadaan hidup saja aku tidak mau sujud padanya apalagi setelah dia mati. Bagaimana kalau aku gantikan dengan sujud kepada Allah hingga hari kiamat?" 

Mendengar hal itu Allah berfirman kepada Musa a.s: "Ya Musa beribadahlah kepada-Ku sebagaimana yang Aku inginkan jangan beribadah kepada-Ku sebagaimana yang engkau inginkan." 

Penerimaan pada ketetapan dan hukum adalah menerima setiap ketetapan dan hukum dengan prasangka yang baik dan tidak mengeluh karenanya serta menunjukkan kekurangan diri dihadapan setiap ketetapan tersebut. Malu dan merasa diri yang lemah dan tidak berartinya diri serta menjaga sikap diri karena kesadaran bahwa dirinya tengah disaksikan al-Haqq. Sebagaimana hadis tentang Ihsan "Engkau menyembah-Nya seakan-akan engkau menyaksikan-Nya sekiranya engkau tidak menyaksikan-Nya maka sesungguhnya Dialah yang menyaksikanmu." Demikianlah ketundukan dalam makna awam, tingkat pemula. 

Sementara ketundukan pada tingkat Khusus adalah melihat cela diri pada setiap kebaikan dan amal yang dilakukan, memandang kelebihan pemilik kelebihan dan merasakan rasa fana'. Yang dimaksud adalah memperhatikan betapa tidak sempurnanya kebaikan dan amal yang dikerjakan. Betapa tidak bernilai hal tersebut dibandingkan dengan anugerah yang tanpa batas dari al-Haqq.

Imam Ali Zainal Abidin as dalam munajatnya, "Ilahi diriku tenggelam dalam samudera anugerah-Mu." Melihat betapa kemuliaan yang ada pada diri orang lain jauh melebihi dirinya dan memuliakan mereka karena kemuliaan itu bahkan tidak lagi melihat pada dirinya ada kemuliaan yang patut dia muliakan. Ketika para sahabat menyaksikan bangkai anjing mereka berkata, "Betapa buruknya bangkai itu." Rasulullah Saw berkata, "Betapa putihnya giginya." Dan merasakan rasa fana' karena kesadaran tajalli Ilahi yang terjadi sehingga terbitlah cahaya penyaksian yang menyebabkan dirinya tidak lagi melihat dirinya. 

Kemudian, tahapan yang paling khusus dari Ketundukan adalah menjaga kemuliaan ketika terjadi Penyaksian, Penyucian al-Waqt dari pusat penyaksian makhluk dan melepaskan diri penyaksian kemuliaan. Bahwa ketika terjadi Penyaksian betapa pesona yang luar biasa. 

Salik haruslah menahan dan menjaga dirinya dari mengeluarkan pernyataan-pernyataan Syatahat. Rahasia hendaklah dijaga sebagai Ketundukkan pada Kemuliaan al-Haqq. Ketika rahasia diungkap maka cawan tak akan mampu lagi menampung curahan Ilahi. Melepaskan diri dari pandangan manusia dan menjauhkan diri dari pemuliaan manusia terhadap dirinya. Bahkan, menunjukkan kelemahan dan kerendahan dirinya serta menyembunyikan setiap karamah yang ada pada dirinya. Tidak menyaksikan kecuali semata penyaksian terhadap al-Haqq karena ketundukkan dirinya terhadap kemuliaan dan keutamaan al-Haqq. Karena menyaksikan dan memperhatikan selain al-Haqq dihadapan al-Haqq adalah keburukan. *** (Dr Kholid Al Walid adalah dosen filsafat STFI Sadra dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

=> Belajar Tasawuf bisa Anda ikuti pada YouTube MISYKAT TV, setiap minggu jam 19.45-21.00 WIBB.