16/03/22

Tradisi Intelektual Islam Klasik [by Munim Sirry]

Di antara karakteristik tradisi intelektual Islam klasik yang paling saya suka ialah keterbukaan dan fairness (berlaku adil) dalam menyikapi pandangan ulama-ulama lain. Saya kira ini kunci dari kemajuan ilmu pengetahuan di masa-masa kecemerlangan perabadan Islam, sehingga disebut oleh seorang penulis sebagai “peradaban teks”. 

Kedua karakteristik itu terlihat dari cara mereka menyajikan pandangan yang beragam dalam karya-karya mereka. Kalau kita baca kitab tafsir, seperti Jami’ al-bayan karya Tabari, maka keterbukaan dan sikap fairness begitu nyata. Karya Tabari yang berjilid-jilid itu sebagian besarnya adalah riwayat pandangan ulama-ulama lain, yang sebagian besar dia tolak. Biasanya, setelah menyajikan pendapat ulama sebelumnya secara penuh tanpa judgement, dia menuliskan pendapatnya di bagian akhir dengan hanya 2-3 baris, paling panjang satu paragraf. Dan, biasanya, dia memulai dengan mengatakan “wal ashahhu ‘indi” (pandangan yang menurut saya paling benar). 

Itulah adab intelektual yang diwariskan masa keemasan peradaban Islam. Dengan cara demikian, maka pembaca tafsirnya akan mendapatkan perspektif yang kaya. Dan dengan cara itu, karyanya mengilhami lahirnya karya-karya lain yang tak terhitung jumlahnya. Itulah peradaban keilmuan Islam. 

Karakteristik serupa kita temukan dalam hampir semua disiplin tradisional Islam, terutama fiqih dan usul fiqih. Mereka yang belajar kitab fiqih akan tahu bahwa hampir tak ada satu masalah kecuali terjadi perbedaan pendapat. Di kemudian hari muncul genre tersendiri yang disebut “ikhtilaf al-fuqaha” (perbedaan pandangan di kalangan para fuqaha). 

Saya pernah menekuni bidang usul fiqih dan ketika sekolah di Pakistan saya menulis tesis master dalam bidang ini (menggunakan bahasa Arab). Di bidang ini, perbincangan intelektual begitu hidup. Ketika membaca al-Risalah-nya imam Syafi’i, misalnya, saya kagum dengan caranya menyajikan pandangan interlokutornya yg kadang justeru lebih kuat — menurut saya — dibandingkan pandangan imam Syafi’i sendiri. 

Begitulah sikap jujur secara intelektual yg diperlihatkan ulama-ulama kita terdahulu. Betapa jauhnya situasi keilmuan kita saat ini dari akhlaq intelektual mereka. ***

Munim Sirry