Di kalangan sarjana Barat kontemporer, kontribusi Wilfred Cantwell Smith lebih menonjol dalam bidang perbandingan agama ketimbang studi Islam. Hal itu dapat dipahami karena dari 13 karnyanya hanya 3 buku yang secara khusus berbicara tentang Islam, dan 1 buku berupa kumpulan tulisan. Dalam karya masterpiece-nya “The Meaning and End of Religion” yang terbit tahun 1963, Islam (hanya) didiskusikan dalam 1 bab dari 8 bab. Bab ke-4 buku itu berjudul “The Special case of Islam.”
Dalam dua catatan (satu ini dan satu lagi berikutnya), saya akan memetakan gagasan Smith tentang Islam, kemudian akan dilanjutkan dengan refleksi tentang kontribusinya dalam bidang perbandingan agama dan dialog antaragama. Walaupun tulisan berseri tentang Smith kemungkinan akan sampai 8 atau 9 status Fb, saya tetap berlaku tidak adil terhadap gagasan-gagasannya sangat kaya.
Trajektori pemikiran Smith memang bergeser dari yang semula menggandrungi studi Islam menuju kajian agama-agama. Tiga buku pertamanya, yang akan menjadi fokus refleksi ini, secara khusus menyorot Islam: “Modern Islam in India” (1943), “Pakistan as an Islamic State” (1951), dan “Islam in Modern History” (1957). Perhatiannya kemudian bergeser untuk memikirkan ulang proyek intelektual tentang fenomena “agama” (religion) dan akhirnya berlabuh pada kajian perbandingan dan pluralisme agama.
Fenomena agama menyita perhatian Smith sejak tahun 1960-an, yang diawali dengan “The Faith of Other Men” (1962) dan “The Meaning and End of Religion” (1963). Tentu saja, Smith tidak sama sekali meninggalkan Islam. Bahkan, bisa dikatakan, ketertarikannya pada perbandingan dan pluralisme agama tumbuh dari, dan berpijak pada, karya-karya awalnya tentang Islam.
Misalnya, ketika menyebut Islam sebagai “kasus khusus” (special case) dalam “The Meaning and End of Religion,” tujuannya ialah untuk menegaskan bahwa tak ada agama yang bersifat statis. Agama terefleksi dalam tradisi keimanan yang dinamis. Bahkan Islam yang tampak berbeda (khusus) karena telah ditetapkan dalam sumber-sumber utama (al-Quran dan hadis), dalam kenyataannya agama ini juga merupakan sesuatu yang dikonstruksi dan direkonstruksi oleh penganutnya dalam sejarahnya yang panjang dan dalam pengalaman keseharian, yang disebutnya sebagai “cumulative tradition.”
Nah, sebelum berbicara tentang karya-karyanya dalam perbandingan agama, status ini akan melihat beberapa isu menarik dari fase awal kajian Smith tentang Islam. Saya berharap status berikutnya akan mendiskusikan pemikiran Islam Smith yang menyebar dalam karya2-nya pasca tahun 1950-an yang menyorot tema-tema inti dalam kajian agama-agama.
Saya akan mengidentifikasi tiga isu menarik – dan saling terkait – dari pemikiran Smith awal. Pertama, mendekati Islam secara simpatik. Gagasan-gagasan Smith seperti terlihat dalam “Modern Islam in India” atau “Islam in Modern History” didasari oleh keinginan untuk membangun jembatan yang memungkinkan dialog dengan kalangan Muslim dapat dilakukan.
Salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh Smith ialah “no statement about a religion is valid unless it can be acknowledged by that religion's believers” (suatu pernyataan tentang agama hanya bisa dikatakan valid manakala diakui oleh kalangan yang mengimani agama itu). Prinsip ini dinyatakannya dalam artikel “Comparative Religion: Whither and Why?” yang terbit tahun 1959.
Dan Smith mengamalkan prinsip ini dalam kesarjanaan tentang Islam. Dia mengaku membiasakan diri bertanya dahulu kepada kawan Muslimnya sebelum menerbitkan tulisan tentang Islam. Dia menyadari dirinya menulis sebagai seorang Kristen. Tak ada orang yang bisa sepenuhnya terhindar dari “prejudice” dan bias ketika menulis tentang imannya ataupun iman orang lain.
Berikut saya kutipkan kata Smith: “It has been my custom to publish things having to do with Islam only after first submitting them, if feasible, for critique and comment to Muslim friends, so as to have their reaction” (Sudah menjadi kebiasaan saya untuk menerbitkan tulisan tentang Islam setelah terlebih dahulu menyerahkan [naskah] kepada kawan-kawan Muslim untuk mendapatkan kritik dan komentar. Jadi, saya tahu apa reaksinya). Dengan cara itu, dia dapat menjalin komunikasi dan persahabatan.
Ciri kedua dari tulisan Smith fase awal ialah memperlakukan Islam sebagai tradisi yang hidup (living tradition). Sebenarnya ini juga kritik terhadap kesarjanaan Barat di zamannya yang cenderung melihat Islam dan Timur sebagai monomen kaku yang tak berubah. Kesarjanaan Barat yang tidak bersahabat dan hegemonik, seperti disebutkan dalam status sebelumnya, dikritik keras oleh Edward Said dalam “Orientalism”-nya. Dan kesarjanaan Smith merupakan alternatif terhadap apa yang dikritik Said itu.
Untuk memperlihatkan bahwa Islam merupakan agama dinamis, Smith mengeksplorasi dua hal. Di satu sisi, Islam perlu dilihat dalam rentang sejarahnya yang panjang. Kita tak akan paham mengapa Islam mengambil bentuk seperti yang kita saksikan sekarang jika kita tak tahu sejarahnya. Dalam bukunya “Islam in Modern History” (lihat SS) Smith menulis: “an understanding of current events in the Muslim world involves an understating of their Islamic quality” (memahami persoalan dunia Islam saat ini perlu melibatkan pemahaman tentang kualitas ke-Islam-an mereka yang cenderung diabaikan). Saya baru tahu bahwa versi Indonesia buku ini (Islam dalam sedjarah modern) terbit dalam 2 jilid tahun 1962 dan 1964. Keren!
Di sisi lain, Smith mengeksplorasi berbagai tren dan isu yang menyertasi perkembangan dunia Muslim di zaman modern untuk menunjukkan bahwa bukan hanya agama (Islam) dapat berubah. Modernitas pun demikian. Smith mengidentifikasi empat kekuatan yang muncul di dunia Islam dan menimbulkan pergulatan tersendiri: Liberalisme, nasionalisme, apologetik, dan dinamisme. Empat kekuatan itu muncul sebagai reaksi terhadap dampak modernisasi. Beberapa bab akhir buku “Islam in Modern History” menyorot berbagai krisis dan pergulatan di negara-negara Muslim, seperti Arab, Turki, Pakistan, dan India.
Aspek ketiga, masih terkait dengan dampak modernisasi (dan kolonialisasi), ialah soal peran sosial agama (Islam). Terutama dalam buku pertamanya, “Modern Islam in India,” Smith mengekspresikan ekspektasinya tentang Islam sebagai kekuatan sosial untuk mendobrak ketidakadilan yang dibawa oleh kolonialisme dan modernisme. Sub-judul dari buku itu ialah “A Social Analysis” yang menggambarkan fokus perhatian Smith.
Jika Anda punya kesan Smith muda sebagai seorang sosialis, itu memang benar adanya. Buku itu dimaksudkan untuk melihat perkembangan sosial dan politik di kalangan masyarakat Muslim di India di bawah pengaruh modernisasi. Maka, pertanyaan kunci yang diajukan Smith ialah: Peran apa yang dimainkan Islam dalam konstelasi tersebut?
Dalam buku yang berasal dari disertasinya yang ditolak di Cambridge itu Smith melihat Islam sebagai kekuatan ideologis. Tanpa sungkan dia mengekspresikan kekecewaannya bahwa berbagai arus gerakan Islam di India saat itu, seperti kelompok-kelompok liberal, tak memenuhi ekspektasinya. Misalnya, dia mengkritik “Islam liberal” yang dikembangkan oleh Amir Ali yang, menurut Smith, tak memiliki semangat untuk mewujudkan spirit anti-ketidakadilan yang diajarkan al-Quran dan Baginda Nabi dalam praktik nyata.
Demikianlah beberapa butir pemikiran Smith pada fase awal kesarjanaannya tentang Islam. Membaca karya-karyanya yang awal, saya merasakan kegetiran dan kegeramannya. Di satu sisi, dia getir dengan situasi dunia Islam yang sumpek dan berjuang melepaskan diri dari krisis pasca kolonialisasi dan, di sisi lain, geram dengan gambaran gelap yang kerap ditayangkan pengamat Barat. Di antara getir-geram itu terbersit keyakinan Smith bahwa Islam punya modalnya sendiri untuk berkembang.
Dalam status berikutnya saya akan ulas lanjutan pandangannya tentang Islam dalam fase ketika dia mulai bergelut dengan studi agama-agama. Setelah itu, kita diskusikan gagasannya tentang fenomena “agama” dan dialog antaragama. Selamat beraktivitas. ***
artikel dari FB Munim Sirry