Elemen sangat penting yang Allah lengkapi manusia dengannya adalah akal. Akal merupakan daya berfikir yang ada pada diri manusia, berfikir adalah proses dari tidak tahu menjadi tahu. Bagi filosof, akal merupakan diferensial (pembeda) dari seluruh makhluk lainnya. Tanpa akal ini, manusia tidak lebih dari binatang sebagai "jismun mutaharrikun bil irodah" (raga yang bergerak dengan keinginan).
Akal berasal dari bahasa Arab العقل yang bermakna mencegah المنع atau juga mengikat, tunggangan utama orang-orang Arab itu onta dan ketika parkir agar ontanya tidak ngeloyor mereka ikat lutut salah satu kaki depannya sehingga onta tidak bergerak dan duduk.
Dari sini pula kisah ikat kepala orang-orang Arab yang disebut 'eql' itu dimulai. Salah satu raja dari Bani Saud punya hobby bermain burung elang, tapi ketika burung itu diterbangkan sorban kepalanya selalu lepas dan membuatnya marah. Penasihatnya yang cukup jeli melihat pengikat onta dan dengan segera dia ambil kemudian dilekatkan ke kepala raja hingga sorban itu tak lagi terjatuh. Raja yang merasa mendapatkan 'penemuan besar abad ini' mewajikan orang sekitarnya menggunakannya dan jadilah tradisi baru dalam memakai sorban di Arab. Kabar burungnya begitu.
Dalam bentuk subjek, al-aqil (العاقل) yang bermakna "rang yang memiliki kemampuan mencegah hawa nafsu menguasainya."
Al-Qur'an menyebutkan kemampuan-kemampuan dengan beberapa kata 'berakal (یعقلون), berfikir (یتفکرون), mengambil pelajaran (یتدبرون)، memperhatikan (یراؤن), menyaksikan (ینظرون), dan membahas (یبحثون).
Dahulu di era jahiliyah, menurut Toshiiko Itsuzu, orang-orang Arab menggunakan istilah akal untuk yang memiliki kemampuan praktis seperti beternak, memahat batu atau juga dukun. Tetapi al-Qur'an mengisyaratkan akal dalam banyak fungsi bukan hanya sekedar berfikir rasional, tapi mengambil pelajaran dari beragam peristiwa itu juga merupakan fungsi akal. Memahami rahasia dari alam semesta itu juga fungsi akal.
Bahkan melalui Nabi Ibrahim as mengajak masyarakatnya untuk mengenal Allah SWT melalui logika akal :
فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ
Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”
(Al-An‘ām [6]:78)
Melalui bukti logis bahwa sesuatu yang terbatas mustahil menjadi Tuhan, Nabi Ibrahim as memperkenalkan Allah SWT Zat yang mutlak kepada masyarakatnya. Bukti akal yang logis tidak mungkin dibantah. Entah mereka beragama atau tidak. Selama mereka manusia maka aqal pasti ada bersama mereka.
Karunia Allah SWT yang begitu dahsyat pada diri manusia ini telah mengantarkan manusia memiliki peradaban yang luar biasa, menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi yang tak terkira. Dari sekadar bergerak cepat di darat hingga terbang di udara. Dari mengarungi lautan hingga berselancar di dunia maya. Apa yang diinginkan Allah SWT dengan memberi akal pada manusia? Agar manusia mampu menyingkap jejak-jejak Allah SWT diseluruh lekuk alam semesta dan diri manusia itu sendiri sehingga menjadi sangat jelas Hakikat Allah SWT dihadapan manusia.
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dialah Al-Haqq". (Fuṣṣilat [41]:53)
Bahkan ketika Allah SWT mengawali penciptaan, Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku mencintai untuk dikenali maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan sehingga Aku dikenal".
Aqal mengantarkan manusia dari jejak-jejak Allah SWT yang tersembunyi di alam semesta hingga hakikat diri-Nya yang tak terbatas. From physics to beyond of metaphysics. *** (bersambung)
Dr Kholid Al-Walid adalah Dosen Filsafat STAI Sadra Jakarta dan Pengasuh Kajian Tasawuf MISYKAT TV