07/04/23

Smith and Proyek Rethinking Agama [by Munim Sirry]

Setelah tiga karya pertamanya yang berbicara tentang Islam, sejak tahun 1960-an Wilfred Cantwell Smith mulai “merambah jalan baru” (pinjam frasa bang Fachry Ali) mendedah istilah-istilah kunci dalam studi agama. Misalnya, kata “faith”, “belief”, “religion”, “religious truth”, “religious tradition”, “religious experience”, dan seterusnya. Kesarjanaannya beranjak dari studi Islam menuju studi agama-agama, dari seorang Islamisis (ahli Islam) menjadi comparativis (ahli perbandingan agama). 

Yang pertama dilakukannya ialah revisi radikal terhadap konsep “agama” (religion) itu sendiri. Proyek ini dikembangkan dalam karya magnum opus-nya yang berjudul “The Meaning and End of Religion,” terbit tahun 1963. Saya akan meringkas butir-butir pikiran Smith dalam buku ini, kemudian menganalisis ke mana arah dari gagasannya yang menyarankan supaya kata “religion” (agama) tidak lagi digunakan. Seperti diduga, mempersoalkan istilah agama bukan akhir dari gagasan Smith. Saya kira ada yang lebih subtil. 

Tentu saja, gugatan Smith terhadap istilah “agama” yang memang radikal perlu dipahami dalam konteksnya. Dalam bab 2 buku “The Meaning and End of Religion”, Smith menelusuri secara sangat jeli sejarah penggunaan istilah “religion” (agama). Dia melacak dari zaman Lucretius dan Cicero, Bapak-bapak gereja awal, hingga Arnobius, Jerome dan St. Agustinus. Setelah meneliti fenomena zaman abad pertengahan, dia menganalisis penggunaannya di zaman modern, khususnya sejak masa Pencerahan, seperti tergambar dalam diskursus Ficino, Luther atau Zwingli. Terus terang, penelusuran historis yang dilakukannya cukup impresif! 

Dari pelacakan itu, Smith mengidentifikasi pergeseran konotasi dari agama. Misalnya, semula agama diasosiasikan dengan wahyu kemudian bergeser ke kebenaran hingga akhirnya menjadi system kepercayaan yang organik. Berkat pengaruh Darwin terhadap berbagai disiplin keilmuan, beberapa sarjana mulai mendiskusikan asal-muasal agama. Misalnya, Durkheim dengan elementary forms-nya. 

Pada awal abad 20, terjadi pergeseran dari penekanan pada aspek historis dari agama ke soal-soal spiritualitas atau aspek-aspek transenden, seperti tergambar dalam karya Rudolf Otto atau Joachim Wach. Maka, di mata mereka, esensi agama dipahami sebagai respons manusia terhadap realitas tertinggi atau super being (apapun namanya). Dengan kata lain, esensi utama dari agama ialah adanya “yang suci” (sacred atau holy). 

Nah, Smith bermaksud mempersoalkan pendekatan esensialis terhadap agama. Seperti saya tulis sebelumnya, Talal Asad benar ketika dia mengatakan bahwa Smith “was the first to argue against essentialist definition of religion” (orang pertama yang mempersoalkan definisi agama yang bersifat esensialis). 

Persoalannya, kata Smith, agama itu tidak bisa didefinisikan. Setiap definisi hanya cocok dengan karakteristik agama orang yang mengajukan definisi itu. Kata agama biasanya digunakan untuk menggambarkan satu atau lebih dari empat hal berikut: (1) kesalihan personal, (2) sistem yang ideal, (3) fenomena empiris yang dapat diobservasi, dan (4) menyangkut apa saja. Dengan menyebut komponen ini, Smith hendak menegaskan betapa tidak konsistensinya penggunaan kata “agama” itu. 

Memang, solusi yang ditawarkan Smith sangat radikal: Buang kata itu ke tong sampah. Sebagai gantinya, dia menyusulkan dua istilah: “cumulative tradition” dan “faith.” Dia mendiskusikan dua istilah itu dalam bab 6 dan 7, setelah bab sebelumnya (bab 5) memperlihatkan betapa tidak memadainya istilah “agama.” 

Yang dimaksud dengan “cumulative tradition” ialah keseluruhan data obyektif yang terhimpun dari kehidupan keagamaan kaum beriman dalam rentang sejarahnya yang panjang, baik berupa mitos, rumah ibadah, aturan moralitas, paham teologis, dll. yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara “faith” (iman) merujuk pada pengalaman atau respons seseorang terhadap Yang Transenden. 

Dua konsep kunci itu, kata Smith, dapat menghindarkan kita dari oversimplikasi terhadap pengalaman dan tradisi agama yang sangat kaya dan terus berkembang. Jika pun kata “religion” masih akan digunakan, katanya, jadikan kata sifat, bukan kata benda. Jadi, bukan “agama”, melainkan “tradisi agama” atau “pengalaman agama” atau “seni agama” dan seterusnya. 

Nah, apakah gugatan Smith hanya berhenti di situ? Cukup bertujuan menyingkirkan kata “agama”? Lalu, setelah kata “agama” tdk lagi digunakan, apa proyek Smith berikutnya? 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada pertanyaan lain yang perlu dijawab walaupun sepintas: Apakah Smith berhasil? Jawabnya “ya” dan “tidak.” Iya dalam arti bahwa gagasannya itu cukup berpengaruh pada kalangan sarjana yang bergelut dengan definisi agama. Tesis utama Smith bahwa tak ada definisi universal tentang “agama” diamini oleh banyak sarjana. Berbagai ekspresi dikemukakan: “definisi ini muncul di Barat” (Ninian Smart), “kata agama itu bikinan para sarjana” (Jonathan Smith), dan seterusnya. 

Namun demikian, Smith gagal untuk menyakinkan banyak sarjana, termasuk mereka yang mengamini tesis utamanya, bahwa istilah “agama” sebaiknya dihilangkan saja. Kenyataannya, mereka masih menggunakan istilah “agama”, dan walaupun mengakui keterbatasannya mereka juga masih mengajukan definisinya sendiri-sendiri, sambil mengkritik definisi pihak lain. 

Saya kira, mungkin saya salah, sasaran tembak Smith bukan soal berguna-tidaknya istilah agama. Dilihat dari karya-karya berikutnya, visi utamanya ialah membangun saling pemahaman (mutual understanding) antar-umat lintas agama. Smith merupakan seorang sarjana yang begitu bergairah menjalin keharmonisan hidup antar-umat berbeda agama yang perlu dimulai dari saling memahami satu sama lain. 

Konsep “agama” yang didefinisikan dengan menekankan pada esensi-esensi tertentu dianggapnya sebagai penghalang. Penjelasannya begini: Jika kita menerima suatu definisi tentang agama (yang berisikan doktrin-doktrin tertentu, seperti keesaan Tuhan), lalu apa implikasinya kalau kita mengatakan “agama lain”? Bagi Smith, pernyataan “agama lain” mengasumsikan agama lain itu menegasikan keesaan Tuhan, karena “lain” dari agama yang kita terima. 

Jadi, konsep “agama” dapat mendistorsi keyakinan tentang Tuhan, karena – by implication – membedakan antara satu agama dan agama orang lain. Dan itu, menurut Smith, menciptakan problem serius bagi upaya meningkatnya saling pengertian. Dengan demikian, penyebutan “agama lain”, misalnya, turut berperan membuat jarak antara satu komunitas dan komunitas agama lain. 

Apakah implikasi dari istilah “agama” yang dibayangkan Smith terlalu berlebihan? Mungkin. Dalam status Fb berikutnya, saya akan merefleksikan peran Wilfred Cantwell Smith sebagai teolog yang bergelut dengan isu-isu pluralisme agama. Have a blessed Friday! *** (sumber artikel dari FB Munim Sirry)