29/03/23

Manazil al-Sairin: Manzilah Kepatuhan (Ketundukkan)

"Dan beritakanlah berita gembira pada orang-orang yang patuh" (QS 22:34). Kepatuhan adalah adalah diam dalam ketertarikan karena kuatnya kerinduan. Sebagaimana firman Allah "...Merendahkan (berdiam) diri dihadapan Tuhan mereka" (QS 11:23). 

Karena itu, Syaikh berkata: Ketundukkan adalah awal dari Manzilah Ketenteraman (al-Thumaninah) yaitu masuknya jiwa pada rasa aman dari kembali dan terombang-ambing. Yaitu keadaan jiwa yang menjadi tenang setelah sebelumnya jiwa selalu kembali pada keburukan dan terombang-ambing di antara ketundukan dan dorongan nafsu.

Manzilah pertama adalah tenggelam dalam keterlibatan diri dari syahwat, memahami keinginan kelalaian dan dorongan keinginan kenikmatan. Bahwa dirinya telah mendapatkan cahaya ma'rifat atas keburukan pada setiap tindakan maksiat dan menyaksikan efek dari setiap dosa sehingga dirinya terpelihara untuk meninggalkannya. Bahwa kerinduannya untuk dekat dengan al-Haqq melepaskan dirinya dari kelalaian terhadap-Nya. Karena dorongan kerinduan akan selalu membuatnya mengingat diri-Nya. 

Kebersamaan bersama yang dirindukannya menimbulkan kenikmatan yang akan melepaskan keinginan duniawiah. Seperti bait doa Imam Ali Zainal Abidin, “Bagaimana mungkin aku dapat merasakan kenikmatan pada selain-Mu setelah aku merasakan manisnya cinta-Mu.” 

Pada tingkatan khusus adalah tidak mempertentangkan keinginan-Nya dengan sebab, tidak menjadikan hatinya takut karena penghalang, Tidak memutus jalan karena terjadinya fitnah. Yang dimaksud Syaikh pada tingkat Khusus ini: tidak mempertentangkan antara keinginan Allah dengan sebab yaitu Salik harus memiliki prasangka yang baik terhadap apapun yang ditetapkan Allah atas dirinya sekali pun hal itu menghancurkan dunianya.Karena mencari alasan atas setiap kejadian akan membawa hilangnya penerimaan dirinya atas ketetapan al-Haqq kepadanya. 

Apa pun peristiwa yang terjadi tidak membuat hatinya gundah karena dia yakin bahwa Allah tengah mengawasinya dan pikirannya hanya dia tujukan pada-Nya. Peristiwa apa pun yang terjadi tidak merubah fokus hatinya. Ketakutan-ketakutan yang muncul dihatinya pada sesuatu akan menyebabkan hatinya menjadi sempit dan beralih kepada selain-Nya. 

Tidak memutus jalan karena adanya fitnah bahwa hatinya tidak berpaling karena daya tarik.yang muncul baik dari harta, pasangan maupun anak-anaknya karena kesemuanya adalah fitnah yang akan mengganggu perjalanan ruhaniahnya. Cintanya hanya pada batas yang diperkenankan Tuhan untuk mereka. “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan” (QS 8:28). 

Pada tingkat yang paling khusus tidaklah berbeda antara pujian dan celaan, terus menerus melakukan untuk pemuka-pemuka tanpa dirinya, Buta dari segala kekurangan makhluk dari kedudukannya. Tidak lagi berbeda pujian dan celaan karena dirinya sudah berada pada keadaan fana' dan dirinya tidak lagi menaruh perhatian pada makhluk maka apa pun sikap yang ditunjukkan makhluk baginya tidak memiliki arti. 

"Sehingga kamu tidak lagi sedih apa yang hilang darimu dan tidak lagi bergembira apa yang datang kepadamu" (QS 57:23). Terus menerus melakukan untuk pemuka-pemuka, yaitu nama-nama yang bertajalli kepadanya bahwa setiap nama menjadi sumber bagi munculnya keragaman tajalli dan dirinya melakukan beragam tindakan sesuai dengan hakikat dari setiap nama tersebut. 

Buta dari segala kekurangan makhluk melalui derajatnya bahwa karena dirinya sudah menyaksikan dengan cahaya Allah maka apa pun bentuk yang perbuatan yang dilakukan makhluk baginya semua dilakukan untuk Allah dengan kapasitas mereka masing-masing. Setiap hamba memiliki derajat mereka masing-masing dihadapan Allah.[] 

Kholid Al-Walid adalah Dosen Filsafat STAI Sadra