01/04/23

Smith dan Orientalisme [by Munim Sirry]

Pendekatan personalis Wilfred Cantwell Smith bukan hanya dilatari oleh sikap simpati terhadap obyek kajian (dalam hal ini: Islam), melainkan juga kritik terhadap pandangan hegemonik Barat yang menempatkan Islam sebagai sesuatu yang statis. Kita tahu, pandangan hegemonik tersebut disorot tajam oleh Edward Said dalam karya fenomenalnya “Orientalism,” yang terbit pertama kali tahun 1972. 

Kesuksesan buku “Orientalisme” Said tak boleh diremehkan. Kesarjanaan Barat sekarang akan berbeda jika Said tidak melancarkan kritiknya. Dengan menggunakan pisau analisa Michel Foucault “knowledge/power”, Said mengkonstatir bahwa kalangan orientalis mempelajari Timur dengan tujuan untuk menguasainya. Orientalisme, bagi Said, tak lebih dari instrumen kekuasaan (Barat). Dengan kata lain, pengetahuan telah dimanipulasi untuk mendukung penaklukan dan penguasaan. 

Bagian yang mendominasi kritik Said atas orientalisme ialah soal representasi. Yakni, bagaimana dunia Timur digambarkan sedemikian rupa sehingga layak untuk dikuasai. Misalnya, Timur (orient) digambarkan tidak berubah dan tunggal: Hanya ada satu agama (Islam), satu komunitas (Muslim), satu mindset (Arab), dan seterusnya. Juga, kaum orientalis melakukan stereotyping. Yakni, orang-orang Arab dan Muslim digambarkan tidak rasional. 

Dimensi lain dari dunia Timur yang dipresentasikan kalangan orientalis, kata Said, ialah mereduksi Timur dan Barat sebagai dua entitas yang berbeda dan bertolak-belakang. Barat maju, Timur terbelakang. Barat rasional dan progresif, Timur spiritual dan mandeg. Said menyebut esensialisme kalangan orientalis, di samping kecenderungan generalisasi, sebagai problem akut dalam cara Barat merepresentasikan dunia Timur (orient). 

Menariknya ialah semua problem orientalisme yang dikritik Edward Said di atas merupakan sasaran kritik Wilfred Cantwell Smith juga. Dengan menggeser orientasi kajian dari dogma agama yang statis menuju keberagamaan orang (person) yang mengimani, Smith bermaksud memperlihatkan bahwa agama itu dinamis dan tidak statis. Menilik dogma-dogma agama dari sudut pandang historis, kata Smith, akan tampak bahwa dogmapun sebenarnya tidak statis. Proses fiksasi dogma terjadi secara bertahap. Apa yang menjadi norma pada suatu masa belum tentu demikian adanya pada masa yang lain. 

Bill Graham, profesor Qur’anic studies dari Harvard, membuat observasi menarik bahwa kesarjanaan Smith yang mengkritik kecenderungan reduksionisme dan esensialisme kaum “orientalis” memberi legitimasi bagi argumen Said, namun diabaikan oleh Said. Kita tidak tahu kenapa Said tidak menyinggung kesarjanaan Smith. Apakah dia tidak mengetahuinya? Sulit mencari alasan bahwa Said tidak mengenalnya, sebab karya-karya Smith sudah menjadi perbincangan kesarjanaan jauh sebelum Said menebitkan “Orientalisme”-nya. 

Alasan yang paling mungkin ialah Said sengaja mengabaikannya karena kesarjanaan Smith tidak sejalan dengan paradigma tentang orientalisme yang hendak dikritiknya. Said hendak melukiskan orientalisme sebagai disiplin keilmuan yang tunduk di bawah ketiak penjajah, sementara Smith mengkritik penjajahan. Pada tahun 1943, Smith menerbitkan buku pertamanya, berjudul “Modern Islam in India.” Buku ini berasal dari disertasinya yang ditolak di Universitas Cambridge karena mengandung kritik keras terhadap perjajahan Inggris di India. 

Seperti saya sebutkan, Smith akhirnya menulis disertasi tentang “Majalah al-Azhar” yang dipertahankan di Universitas Princeton. Kesarjanaan dan sepak terjang Smith yang simpatik terhadap Islam dan kaum Muslim tidak selaras dengan imajinasi “orientalisme” yang ingin dilukiskan Edward Said. Yakni, bahwa orientalisme itu buruk dan jahat! Berbeda dengan gambaran Said, orientalis Smith justeru mendirikan Institute of Islamic Studies di McGill dengan visi mempertemukan kesarjanaan Timur dan barat, Muslim dan non-Muslim. 

Di sini tampak betapa Said bersikap selektif dalam memilih data dan argumentasinya. Dia secara tidak adil menyeleksi orientalis Barat untuk diserang, dan mengabaikan orientalis lain, seperti Smith, yang tidak selaras dengan tujuannya. Kecamannya terhadap kesarjanaan Barat yang memukulrata itu didasarkan pada seleksi kesarjanaan Barat yang sempit. 

Saya tidak bermaksud mengkritik Edward Said secara berlebihan. Tapi, Said juga merupakan korban dari kritiknya sendiri. Dia mengkritik kalangan orientalis karena menggambarkan Timur sebagai tunggal (unitary) dan tidak berubah (unchanging), namun dia sendiri merepresentasikan kesarjanaan Barat secara monolitik. Hal itu dilakukannya dengan tidak mempertimbangkan atau meng-exclude sarjana-sarjana tertentu yang tidak memenuhi gambarannya tentang kesarjanaan Barat yang hegemonik. 

Saya sepenuhnya sadar dengan kontribusi Said yang “mengingatkan” sarjana-sarjana Barat agar tidak memasuki “wilayah terlarang.” Yakni, menggadaikan ilmu demi kepentingan politik kekuasaan. Dalam bahasa al-Qurannya, supaya tidak “yasytaruna bi-ayatillah tsamanan qalilan” (menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah!). Juga, pengaruh penting “Orientalisme” Said bagi kajian postcolonial dan feminisme. Namun demikian, argumen-argumen Said yang cenderung menyapurata tidak dapat dijustifikasi. 

Cara Said mengabaikan kesarjanaan Smith memperlihatkan sisi problematik dari kritik-kritiknya terhadap orientalisme. (Saya ingin melihat bagaimana kawan-kawan Saidian bereaksi terhadap kritik ini, yang tentu bukan kritik baru!) Terlepas dari kontribusinya yang tak tertandingi, hemat saya, Said menyajikan orientalisme secara karikatural. 

Saya akan mengakhiri catatan ini dengan mengilustrasikan bagaimana Smith mengkritik kecenderungan kajian ketimuran (oriental studies) di kalangan para orientalis. Dalam artikelnya berjudul “The Place of Oriental Studies in A Western University” (kedudukan kajian ketimuran di universitas Barat), terbit tahun 1956, Smith menjelaskan bahaya yang mengancam dari model kajian ketimuran yang terlibat untuk mendukung dominasi kekuasaan atas dunia timur, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural.

Artikel ini awalnya berasal dari pidato yang disampaikan di hadapan kaum orientalis yang tergabung dalam paguyuban “American Oriental Society.” Smith menulis: “We shall have failed in our task as orientalists if our society continues to imagine that the problem is how we in the West can deal with the Orient. The practical problem is rather how man throughout the world can deal with the fact that he is separated from his neighbor by a cultural frontier” (Kita akan gagal dalam tugas kita sebagai orientalis jika komunitas kita [kaum orientalis] masih terus membayangkan bahwa problem [yang kita hadapi] ialah bagaimana kita di Barat hendak berurusan dengan Timur. Problem yang sebenarnya ialah bagaimana orang di seluruh jagad ini mengatasi kenyataan bahwa ia secara kultural terpisah dari tetangganya). 

Bukankah “peringatan” Smith atas kerja-kerja orientalis itu paralel dengan kritik Said? Dan Smith menyampaikannya lebih dari satu dekade sebelum buku “Orientalisme” terbit. 

Nanti kita lanjutkan dengan gagasan Smith yang lain. Selamat menikmati akhir pekan, kawan-kawan. *** 

artikel dari FB Munim Sirry