Ketertarikan (al-Raghbah) lebih bersifat hakiki di atas harapan. Harapan adalah keinginan yang ingin diwujudkan sedangkan ketertarikan adalah jalan ruhani untuk mewujudkan. Harapan adalah sesuatu yang masih bersifat keinginan dan terwujudnya hanyalah bersifat kemungkinan. Sedangkan ketertarikan objeknya sudah jelas dan telah ditempuh untuk meraih objek tersebut.
Pada manzilah awal ketertarikan adalah ketertarikan yang muncul dari ilmu dan melahirkan kesungguhan dalam upaya penyaksian, salik terpelihara dari ketertarikan yang meruntuhkan dirinya, dan menjaga pemiliknya dari mengambil hal-hal yang bersifat keringanan.
Yang dimaksud pada
manzilah ini bahwa pemilik ketertarikan karena pengatahuan ketentuan syariah
dan ketentuan batiniah maka ketertarikan untuk mendapatkan penyaksian batiniah
dan hal ini melahirkan kesungguhan yang luar biasa bagi dirinya untuk
melepaskan segala sesuatu yang menghalangi mewujudkan ketertarikannya tersebut.
Karena ketertarikannya tersebut hilang segala ketertarikannya pada selainnya
dan menjaga dirinya dari kesia-siaan. Karena ketertarikan yang luar biasa maka
salik tidak lagi sekadar ingin mengambil hal-hal yang boleh tetapi yang
seharusnya dia lakukan.
Manzilah kedua
ketertarikan bagi mereka pemilik maqom dengan melihat seluruh usaha yang
dilakukan tidak lebih sebagai benih. Kesungguhan yang ada tidak lebih sebagai
hal yang tidak memiliki nilai, upaya menanggalkan selain dari tujuannya kecuali
semata petunjuk. Menurut Syaikh bahwa para pemilik maqom mereka sudah tidak
lagi melihat bahwa upaya kerasnya selama ini memiliki arti karena tak berarti
dengan tajalli yang disaksikannya. Mengingat keagungan tajalli itu sendiri
begitu dahsyatnya. Karenanya usaha dan pengorbanan yang demikian banyak yang
dilakukannya tidak lebih adalah kebaikan yang dilakukan al-Haqq terhadap
dirinya. Hasil dari upaya mewujudkan keinginannya bukanlah dari dirinya, tapi
Allah lah yang menggerakkannya sehingga upaya mencapai tujuan tersebut adalah
tindakan Tuhan dalam upaya ruhaniahnya.
Manzilah ketiga untuk
ketertarikan para ahli syuhud, mendapat kemuliaan bersama pemilik ketakwaan,
terkandung padanya kesungguhan dalam kebaikan (al-naqiyyah). Tidak ada lagi
ketakwaan melebihi batas tersebut. Ahli syuhud pada tingkat ini adalah syuhud
hakiki bukan sekadar syuhud Af'ali/Makhluki. Bahwa ketertarikannya tidak lagi
bersifat individual, kesadarannya bahwa seluruh apa yang ada tidak lain adalah
wajah dan tajjali-Nya. Keberadaan dirinya adalah bagian penyempurnaan semua
yang ada. Pada tingkat ini seluruh kesungguhan telah terlampaui karena mereka
adalah Shohibul Manzilah dan bukan Ahwal. Sehingga semua bagian dari apa yang
muncul dari dirinya adalah hakikat kebaikan itu sendiri. Ketakwaan dalam makna
keterjagaan dirinya dalam hakikat penyaksian telah terlampaui sehingga yang
terjadi dirinya berada dalam perjalanan diantara dan bersama al-Haqq (Safar
Ketiga).[]
Dr Kholid Al-Walid
adalah dosen filsafat STAI Sadra, Jakarta