Prinsip la syarqiyah wa la gharbiyah bukan berarti Islam ilmiah anti metodologi Barat-Timur. Tapi membawa paradigma baru dalam ranah Islamic studies. Yaitu paradigma das sollen, nilai ideal, yang diterapkan pada kajian akademik. Karena, selama ini, kajian Islam baik yang dilakukan oleh sarjana revisionis yang sekuler maupun sarjana tradisionalis yang dogmatis berparadigma das sein. Kajiannya mbuled pada apa yang terjadi, bukan pada apa yang seharusnya terjadi. Sedangkan apa yang terjadi seringkali dipengaruhi oleh banyak aktor yang bersaing dan saling berebut kuasa untuk tampil di panggung sejarah. Dan pada akhirnya hanya pemenang yang, walau bukan sosok ideal, berhasil menuliskan sejarahnya. Yang kalah, tak ada tempat baginya dalam lembaran sejarah.
Karena tidak ideal, penguasa berusaha mengidealisasikan dirinya dengan menyewa para penulis bayaran. Hasilnya, menyebarlah karya sejarah tentang sosok penguasa yang dipoles ideal. Bukan yang ideal beneran. Pada tahap selanjutnya sosok tersebut diglorifikasi sebagai penguasa ideal penyelamat umat Islam. Sejarah model ini oleh sarjana revisionis barat disebut sebagai salvation history yang penuh dengan mitos sejarah, bukan fakta sejarah. Haram mengkritik penguasa yang diglorifikasi. Siapa yang mengkritiknya kepadanya disematkan berbagai gelar yang membuat merinding bulu roma ini bila mendengarnya. Upaya idealisasi yang dipaksakan ini melahirkan dokumentasi sejarah yang kontradiktif yang menjadi sasaran kritik sarjana revisionis.
Sedemikian kontradiktifnya sampai mereka putus asa untuk dapat mendamaikannya yang pada akhirnya terpaksa menerimanya, karena tak ada pilihan lain kecuali sumber yang kontradiktif tersebut. Disini letak kelemahan sarjana revisionis barat: tidak menemukan sumber lain dari sejarah keselamatan yang kontradiktif. Maka mazhab post-revisionis lahir untuk menemukan sumber lain sebagai rujukan dalam membaca sejarah Islam awal. Apakah sumber alternatif tersebut memenuhi standar akademik? Dalam buku al-Muawiyat, secara jelas dan gamblang saya bahas sangat detail. Poin yang ingin saya sampaikan di sini bahwa sarjana post-revisionis mazhab ciputat selangkah lebih maju daripada sarjana revisionis barat. Narsis ya.
Kritik sarjana revisionis terhadap sumber sejarah tradisional Islam yang acak-adul menandakan kalau Islam-penguasa bukanlah Islam yang ideal. Maka tugas Islam ilmiah mencari nilai ideal (sejarah) Islam melalui sumber sejarah sosial atau sejarah oposisi atau sejarah non elitis.
Setelah kita temukan sumber sejarah non elitis. Langkah selanjutnya mengolah data yang ditemukan tersebut dengan memakai metodologi yang lazim dipakai oleh sarjana revisionis dalam membaca warisan sejarah masa lalu mereka, yaitu historical critical method (HCM). Dengan metode ini sarjana barat mampu mengidentifikasi kepalsuan dogma trinitas dalam bible. Dengan metode yang sama, Islam ilmiah mampu menemukan kepalsuan dogma keagamaan Islam tradisional yang dibangun berlandaskan data-data yang ditulis dalam sumber tradisional yang probkematik tersebut. Satu diantaranya kepalsuan dogma keadilan sahabat.
Saya jelaskan dulu apa itu metode kritik sejarah yang kita pakai. Metode ini mulai berkembang di di jerman sekitar abad ke delapan belas, meski akarnya sudah muncul sejak abad ke-14 sampai abad ke-16 saat sekelompok sarjana humanis italia dan prancis mengadobsi prespektif baru dalam membaca warisan peradaban mereka. Oleh penganut humanisme modern, metode ini dipakai untuk membaca sumber sejarah dan agama mereka. Yaitu Bible dan pasca Bible.
Dengan prinsip analogi sebagai teori utamanya, kritik sejarah berarti bahwa kita tidak menerima apa yang ditulis oleh sumber sejarah secara taken for granted, tanpa menyoal otentitasnya sebagai upaya untuk mencari-tahu apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu. Sebaliknya, kita harus cerewet menyoal setiap data yang disuguhkan berdasarkan sejumlah asumsi dasar tentang fungsi sosial manusia. Manusia itu kapan dan dimana saja memiliki sikap yang sama. Bila penguasa jaman now senang pada sejarah yang mendukung mereka, demikian juga penguasa jaman old. Dan untuk mendukung kekuasaannya biasanya mereka memalsukan sumber doktrin agama yang mereka anut dgn menyewa tenaga ahli. Atau membuat yuriprudensi hukum yang mendukungnya. Pada masyarakat kristen sumber itu adalah bible dan tafsirnya atau disebut dengan pasca-bible. Pada komunitas yahudi adalah taurat dan oral-taurat atau mitsna. Dan pada komunitas Islam adalah alqur'an dan (oral) hadis sebagai pentafsir al-Qur'an.
Dengan memakai teori analisa konten, sarjana filologi dari Italia, Lorenzo Valla (1457), menyimpulkan bahwa bahasa latin telah mengalami banyak perubahan sejak masa keemasan literasi romawi pada abad pertama masehi. Perubahan tersebut terus berkelanjutan dari masa ke masa. Coba bayangkan evolusi bahasa indonesia modern dari sejak jaman old. Kasusnya sama, kan? Demikian juga bahasa arab dan bahasa dunia lainnya. Satu kata yang sama dimaknai secara berbeda di waktu dan tempat yang berbeda.
Saya kasih satu contoh. Kata hijrah yang sekarang lagi ngetrend di kalangan artis dan kelompok elit dari sisi ekonomi tapi miskin ilmu agama. Hijrah dimaknai sebatas perubahan penampilan. Dari yang tadinya nggak berjanggut menjadi berjanggut lebat. Dari yang tadinya suka pake kaos berubah selalu pake jubah atau paling tidak baju koko. Padahal baju koko budaya China yang komunis, ateis yang anti tuhan, menurut mereka, sih. Dari yang tadinya istri satu, setelah hijrah tambah istri. Itu, kan, yang dimaksud hijrah? Padahal makna kata hijrah dalam alqur'an-hadis bukan yang jamak dipahami di jaman now.
Hijrah adalah berimigrasi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada jaman nabi orang Islam yang pindah dari mekkah ke Madinah disebut muhajir. Gerak pindah tempat tersebut disebut dgn hijrah. Meski telah hijrah ke madinah masih banyak para imigran mekkah waktu itu yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan jahiliyah yang mereka lakukan di negri asal mereka, mekkah. Seperti kebiasaan mabuk atau minum khamar yang terus mereka lakukan walaupun sudah hijrah ke Madinah.
Seperti dilaporkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya bahwa diantara yang diharamkan pada periode Mekkah adalah minum khamar. Tapi karena para imigran Mekkah masih terus minum meski sudah berhijrah ke Madinah dan mereka yang gemar mabuk itu belakang hari menjadi penguasa maka ayat al-Quran dibelokkan dari makna yang sesungguhnya, dibuatlah teori pengharaman khamar dilakukan secara bertahap. Awalnya khamar belum diharamkan.
Al-Baqarah 219 hanya menyebut bahwa khamar mengandung dosa dan manfaat. Tapi dosanya lebih besar. Fihi itsmun wa manafi'. Pengharaman baru terjadi setelah turunnya Al-Maidah 90. Padahal imam Al-Jashshash dalam Ahkamul Qur'an menyebut bahwa Al-Baqarah 219 sudah mengandung tahrim al-khamr. Tapi karena para imigran Mekkah yang oleh sarjana tradisional Islam disebut sahabat tidak bisa meninggalkan kebiasaan lamanya maka al-Qur'an turun berkali-kali menegaskan keharamannya.
Al-Maidah 90 adalah pengharaman dengan tekanan keras yang disertai ancaman. Al-tahrim bi al-tasydid al-baliigh. Tahukah siapa dia yang setelah hijrah masih terus minum? Kelak tokoh sahabat ini menjadi penguasa Islam dan kebiasaannya minum khamar tersebut tidak bisa ia tinggalkan bahkan di saat kritis ketika ajal hendak menjemput. Seorang tokoh sahabat saja yang konon berilmu tinggi saat sudah berhijrah masih tetap melanggar aturan tuhan, apalagi seorang artis yang minim ilmu agama. Agama tidak segampang itu dipahami, bro. Makanya perlu banyak buku, bukan cuma baca status, drun.
Itulah makna kata hijrah yang sesungguhnya. Pergeseran makna sebuah kata biasanya dimotivasi oleh kepentingan tertentu yang seringkali dilakukan untuk mendukung sebuah ide baru yang coba dikomersilkan. Intinya, mau jualan pake bungkus agama. Udah gitu ajah.
Kita sekarang kembali ke topik kita tentang evolusi bahasa latin yang menjadi bahasa bible. Sarjana filologi penerus Valla, Desiderius Erasmus of Roterdam (1536) menduplikasi kerja valla kedalam tradisi Yunani. Erasmus menganalisa banyak teks berbahasa Yunani dan membandingkannya dengan manuskrip yang paling tua. Menurutnya, banyak terjadi kesalahan penulisan kata dan makna bahkan tambahan dari penulis belakangan. Saat membuat edisi baru berbahasa asli yunani dari perjanjian baru, Erasmus berhasil menemukan satu ayat dalam bible berbahasa latin dan seringkali dipakai untuk mendukung dogma trinitas sama sekali tidak ada dalam naskah asli Yunani.
Bila Valla memakai HCM dalam membaca peradaban Roma. Dan Erasmus memakainya untuk membaca peradaban Yunani. Maka Islam ilmiah memakainya untuk membaca warisan peradaban Islam, dan berhasil menemukan bahwa doktrin keadilan sahabat yang selama ini menjadi dogma agama Islam tradisional tidak didukung oleh ayat alqur'an maupun hadis nabi yang asli. Konsep itu dibuat untuk mendukung para penguasa yang diidealkan yang dibuat oleh para ulama istana. Sama seperti kepalsuan doktrin trinitas dalam Bible yang dibuat untuk mendukung hegemoni agamawan-politisi. Dengan teori analisa konten terbukti bahwa makna sahabat dalam pemahaman sarjana tradisional Islam mengalami reduksi makna yang jauh dari pemaknaan alqur'an dan hadis nabi. Pereduksian makna tersebut terjadi dalam upaya mempromosikan ideologi baru yang berbeda dengan ideologi muhammad. Ideologi apa? Dengan jelas dan disertai bukti yang tidak terbantahkan, al-Muawiyat berhasil membongkar kepalsuan ideologi keadilan sahabat. Silahkan rujuk ke situ saja.
Kalau begitu, apa beda madzhab revisionis dengan post-revisionis? Bedanya, tuh, ada di sini. Madzhab post-revisionis mengambil materi kajiannya dari sumber tradisional yang mereka kritik, karena mereka tidak menemukan sumber lain kecuali hanya itu. Islam ilmiah karena kewajiban metodologis mengambil materinya selain dari sumber tradisional yang tak lain adalah sejarah penguasa, juga dan ini poin pembedanya, dari sejarah oposisi yang tidak mereka temukan. Lalu membandingkannya atau meramunya dengan materi yang ditemukan dalam sumber tradisional tersebut dengan memakai metode abductive. Kerja akademik seperti ini berat. Biar Islam ilmiah saja yang melakukannya. Sarjana Islam tradisional apalagi yang sedang hijrah-hijrahan, pasti tak akan mampu. Ini adalah jihad akbar akademik ibaratnya seperti menyusun kepingan-kepingan puzzle yang berserakan menjadi satu gambar yang utuh. Dengan metodologi ilmiah seperti itu, Islam ilmiah mampu menampilkan wajah bangunan Islam awal yang sama sekali berbeda dengan wajah Islam-penguasa yang diterima secara taken for granted oleh sarjana Islam dan dikritisi secara membabi-buta oleh sarjana revisionis.
Intinya, Islam ilmiah memakai metodologi sarjana revisionis juga, bila perlu, metode tradisional Islam dalam membaca sumber sejarah oposisi yang tidak mereka temukan dan meramunya dengan materi yang ada dalam sumber tradisional yang mereka kritik. Inilah titik pembeda sarjana revisionis dengan post-revisionis. Kombinasi metodologis seperti itu berhasil menampilkan wajah Islam yang berbeda dengan wajah Islam-penguasa serta mampu menemukan banyak kejutan-akademik yang mustahil ditemukan baik oleh sarjana revisionis apalagi sarjana tradisional Islam. Bila temuan itu sesuai dengan salah satu paham tertentu, hal itu terjadi karena konsekwensi logis dari kerja akademik yang ilmiah, bukan karena kecenderungan ideologis. Jadi paham, kan, drun. ***
Muhammad Babul Ulum adalah doktor bidang hadis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta